tirto.id - Berpeci hitam, berkemeja biru langit, sembari memegang sebuah poster, pada debat Pilkada DKI Jakarta putaran kedua itu Sandiaga Uno menjelaskan strateginya memajukan unit usaha kecil dan menengah (UMKM). “Saya mengerti, pengusaha itu dipersulit dalam permodalan. Oleh karena itu, dengan program OK OCE yang kami dorong, kami ingin memberikan kredit khusus bagi perempuan.”
Tepat ketika Sandiaga menyebut kata “OK OCE”, dia menunjukkan gimmick 3 jari yang oleh keduanya disebut sebagai salam OK OCE. Tidak hanya dalam debat, salam ini selalu menyertai kampanye Anies-Sandi. Apapun pertanyaannya, jawabannya Anies-Sandi selalu diakhiri dengan salam OK OCE.
Cara melakukannya sederhana, cukup tempelkan ujung jari – biasanya tangan kanan – jempol dan telunjuk sehingga menyerupai lingkaran lalu biarkan tiga jari lainnya terbuka. Praktis, dengan gimmick ini Anies-Sandi tidak hanya mampu mengampanyekan program OK OCE, tapi juga memopulerkan nomor urutnya, tiga.
Baca juga: Janji-janji Anies-Sandiaga Saat Kampanye
Baik gimmick tiga jari – bentuk melingkar antara jempol dan telunjuk mengindikasikan angka nol – dan angka nol sebagai sebuah nilai nominal itu sendiri memang memiliki keterkaitan erat dengan Anies-Sandi. Mereka memiliki program penyediaan rumah dengan DP nol persen.
Meski kerap dikritik karena dinilai tidak realistis, tetapi Anies-Sandiaga menilai program ini bisa terlaksana asalkan ada kemauan dan keberpihakan kepada masyarakat Jakarta.
Menariknya, angka nol dengan berbagai variasi penyebutannya kerap disebut para politikus sebagai representasi program yang disebut pro-rakyat. Misalnya biaya kesehatan dan pendidikan gratis – yang tidak lain adalah sebutan lain dari nol rupiah.
Nol dari Lembah Babilonia
Nol tidak muncul begitu saja. Dibanding bilangan lainnya, nol ditemukan belakangan. Ia berkembang, dari konsep filosofis mengenai ketiadaan sampai penggunaan praktis dalam perhitungan saham di bursa efek hingga jual beli beras di Pasar Induk Jatinegara. Bilangan nol juga menjadi dasar dalam membangun bilangan dalam matematika.
“Tanpa nol, bilangan negatif dan imajiner mungkin tidak memiliki makna, dan akan mustahil untuk menyelesaikan persamaan kuadrat yang menjadi andalan perkembangan matematika terapan,” ujar Brendan Borrell dalam suatu artikel bertajuk "Zero".
Meski proses menghitung sudah dikenal manusia sejak ribuan tahun lalu, tetapi sejarah nol dimulai sejak era Babilonia. Fungsi nol sebagai placeholder diketahui telah digunakan oleh orang-orang Babilonia. Pada 1800 SM orang-orang Babilonia menggunakan nol guna membedakan, misalnya, antara 212 dan 2012 atau antara 10 dan 1000.
Robert Kaplan, dalam The Nothing That Is: A Natural History of Zero, melacak simbol nol sebagai placeholder itu. Ia disimbolkan dengan sepasang goresan miring dan digunakan untuk mewakili suatu ruang kosong antara bilangan versi Babilonia.
Dengan adanya nol, orang-orang Babilonia (dan juga umat manusia saat ini) mengerti bahwa 30 itu lebih besar dari 3, dan 100000 lebih besar dari 100. Bahkan, menurut Borrell, jika nol tidak digunakan sebagai placeholder, operasi aritmatika yang paling sederhana pun, membutuhkan alat bantu seperti sempoa dalam perhitungannya.
Sunyata, Belajar Mengosongkan Pikiran
Di India, nol berkembang dengan cara yang unik. Dalam The Crest of the Peacock, Non-European Roots of Mathematics, George Gheverghese Joseph mengatakan konsep nol pertama kali muncul di negeri hindustan itu sekitar tahun 458 M. Ia muncul dalam konsep filosofis "sunya" yang dalam Sansekerta berarti "tiada" atau "kosong". Kata ini berakar dari kata "svi" yang berarti "hampa".
Turunan dari dua definisi tersebut menjelma dalam kata "sunyata", salah satu ajaran Buddhisme mengenai kekosongan atau mengosongkan pikiran seseorang dari kesan dan pemikiran.
“Berangkat dari filosofi (tersebut), kami pikir dari situ penggunaan bilangan untuk persamaan matematika dikembangkan. Kami mencari jembatan antara filsafat India dan matematika,” ujar Annette van der Hoek, peneiliti Indiologis koordinator penelitian Zero Project.
Baca juga: Negara Religius Berprestasi Rendah dalam Sains & Matematika
Di India, konsep nol sebagai bilangan yang memisahkan antara bilangan positif dan negatif dikembangkan seorang astronom bernama Brahmagupta sekitar abad ke-7 M. Menurut Kaplan, Brahmasphuṭasiddhanta yang disusun oleh Brahmagupta adalah buku pertama yang menyebut nol sebagai bilangan.
Astronom itu membeberkan cara bilangan nol dioperasikan terhadap bilangan positif dan negatif. Charles Seife, dalam Zero: The Biography of a Dangerous Idea, mengakui warisan yang ditinggalkan oleh Brahmagupta.
“Nol memiliki nilai spesifik, sebuah posisi di dalam garis bilangan. Karena nol sama dengan 2 dikurang 2, maka nol mesti ditempatkan di antara 1 (2 dikurang 1) dan -1 (2 dikurang 3),” sebut Seife.
Baca juga: Fibonacci Membuat Angka India-Arab Populer di Eropa
Tidak hanya operasi penjumlahan dan pengurangan. Brahmagupta juga memberi aturan pada operasi perkalian dan pembagian terkait bilangan nol. Menurutnya nol dibagi nol sama dengan nol, tentu ini pemahaman ini jauh berbeda dengan pemahaman matematika mengenai bilangan setelah wacana Kalkulus berkembang.
Nol pun terus berkelana. Nils-Bertil Wallin dari Yale Global mencatat, pada 773 bilangan nol "mencapai" kota Baghdad. Peradaban Islam mengadopsi nol sekaligus sistem angka India. Dari situ, pada abad ke-12 sistem angka India-Arab masuk ke Eropa lewat karya ilmuwan Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi.
Namun sistem angka India-Arab baru populer di Eropa pada abad ke-13 setelah Leonardo "Fibonacci" da Pisa meluncurkan bukunya Liber Abaci. Melalui buku tersebut Fibonacci tidak hanya mengenal sistem angka India-Arab tetapi juga penggunaannya secara praktis dalam perdagangan.
Meski sudah populer, status nol masih terancam. Wallin menceritakan pemerintah Italia waktu itu mencurigai hal-hal yang berasal dari Arab, termasuk sistem angkanya. Pedagang pun menggunakan sistem angka India-Arab secara sembunyi-sembunyi.
Dimulai Dari Nol
Memasuki abad ke-17, nol menjadi bagian penting dalam "Koordinat Cartesian" yang dikembangkan oleh Rene Descartes. Ia bersama dengan konsep ketiadaan pun ditelaah lebih lanjut melalui Kalkulus yang dikembangkan oleh Isaac Newton dan Gottfried Wilhem Liebniz. Konsep ini kemudian menjadi dasar dalam fisika, rekayasa, hingga ekonomi keuangan.
"Konsep ketidakhinggaan sekarang menjadi sentral fisika modern: keseluruhan alam semesta dipandang ‘zero sum game," ujar pegiat Zero Projects, Peter Gobets.
Pada 1874 metematikawan Jerman, Georg Cantor, mengonsepkan Teori Himpunan untuk pertama kali. Himpunan didefinisikan segala koleksi benda-benda tertentu yang dianggap sebagai satu kesatuan. Apabila diibaratkan sebagai sebuah benda, himpunan bisa dianggap sebagai tas.
Konsep bilangan pun dikonstruksi menggunakan teori himpunan. Pertama, didefinisikan terlebih dahulu konsep himpunan kosong, yakni himpunan yang tidak memiliki anggota apapun. Ada apa di dalam tas kosong? Tentu tidak ada. Namun, dari hal tersebut semua konsep matematika dibangun.
Matematikawan menyebut bilangan 0 didefinisikan himpunan kosong. Sedangkan 1 didefinisikan himpunan yang beranggotakan sebuah himpunan kosong – tak lain 0 itu sendiri. Lalu, bilangan 2 didefinisikan himpunan yang beranggotakan 0 dan 1. Kemudian, bilangan 3 didefinisikan himpunan yang beranggotakan 0, 1, dan 2.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS