tirto.id - “Bagaimana bisa kita–sebagai sebuah spesies dan masyarakat–menjadi amat akrab dan bergantung pada angka?” pertanyaan ini menyeruak dalam kepala matematikawan Keith Devlin selama bertahun-tahun.
Pertanyaan Devlin di muka berujung pada kegetolannya menelusuri jejak sistem angka yang secara universal digunakan saat ini–sistem angka India-Arab. Awalnya sistem ini berkembang di wilayah yang sekarang dikenal sebagai India. Bangsa Arab kemudian mengadopsinya. Pada abad ke-12 sistem angka India-Arab masuk ke Eropa lewat karya ilmuwan Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi.
Baca juga:Simbol-simbol Ilmu Hitung dari Warisan al-Qalasadi
Namun, dalam The Man of Numbers: Fibonacci's Arithmetic Revolution, Devlin menjelaskan pada abad ke-13 hanya segelintir orang Eropa yang tahu dan mengerti sistem angka tersebut. Mereka terutama adalah kalangan akademisi yang berkecimpung di bidang matematika. Sementara itu dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam perdagangan, sistem angka India-Arab hampir tidak dikenal.
“Pedagang mencatat data numerik mereka menggunakan sistem angka Romawi dan melakukan perhitungan dengan prosedur jari yang cukup rumit atau dengan sempoa mekanis,” ujar Devlin yang saat ini menjadi direktur lembaga penelitian H-Star Insitute di Stanford University.
Pola tersebut berangsur-angsur berubah setelah seorang anak perwakilan resmi pedagang Republik Pisa (saat ini masuk dalam wilayah Italia) di Afrika bagian utara menerbitkan sebuah buku berjudul Liber Abaci. Anak tersebut tidak lain adalah Leonardo Fibonacci.
Berguru Pada Orang-Orang Arab
Laki-laki yang dikenal juga dengan nama Leonardo da Pisa (Leonardo dari Pisa) itu lahir pada 1170 dan diperkirakan meninggal setelah 1240. Matematikawan sekaligus sejarawan sains Italia Baldassarre Boncompagni dalam Della Vita e delle Opere di Leonardo Pisano, matematico del secolo decimate, menjelaskan nama Fibonacci adalah singkatan dari 'Filliorum Bonacci' atau mungkin 'Fillius Bonacci' yang dapat diartikan sebagai 'anak dari keluarga Bonacci'.
R. B. McClenon, dalam Leonardo of Pisa and his Liber Quadratorum, mengisahkan pada akhir abad ke-12 Fibonacci pergi ke Afrika bagian utara guna menemani ayahnya. Di sana dia mengunjungi pasar besar di Mesir dan Asia Minor, pergi ke Suriah dan kemudian kembali lagi ke Konstantinopel dan Yunani.
Ia tidak puas jika hanya melirik ke pemandangan aneh dan baru yang menemuinya. Di sana dia juga mempelajari dengan seksama adat-istiadat setempat, dan terutama mencari petunjuk dalam sistem perhitungan yang jamak digunakan oleh pedagang setempat yang notabene bangsa Arab. Saat berada di Bugia (sekarang masuk dalam wilayah Aljazair) ayahnya juga mendorong Fibonacci untuk menerima pengajaran di sekolah akuntansi.
“Dia mengenali keunggulan (sistem angka India-Arab itu) atas sistem angka Romawi yang digunakan di Barat, dan karena itu memutuskan untuk mempelajari sistem angka India-Arab secara menyeluruh dan bertekad menulis sebuah buku yang menjelaskan kepada orang Italia tentang penggunaan dan aplikasinya,” ungkap McClenon.
Baca juga:Negara Religius Berprestasi Rendah dalam Sains & Matematika
Tekad itu terwujud. Pada 1202 Fibonacci menerbitkan buku Liber Abaci. “Sembilan angka India antara lain: 9 8 7 6 5 4 3 2 1. Dengan sembilan angka tersebut dan dengan tanda 0, yang orang-orang Arab menamakannya Zephir (asal-usul kata Zero; nol) untuk setiap angka yang ditulis seperti itu, sebagaimana akan dijabarkan di bawah ini,” sebut Fibonacci dalam paragraf pembuka Liber Abaci.
Sejarawan spesialis kajian Eropa Abad Pertengahan, Frances Carney Gies, membeberkan tujuh bab pertama Liber Abaci membahas notasi serta menjelaskan prinsip nilai tempat. Posisi suatu angka menentukan apakah itu satuan, puluhan, ratusan, dan seterusnya. Fibonacci juga menunjukkan penggunaan angka dalam operasi aritmetika.
Dalam buku itu Fibonacci mengenalkan sistem angka India-Arab dengan lebih membumi. Dia menerapkan penggunaannya untuk masalah praktis seperti penghitungan marjin keuntungan, barter, perubahan uang, konversi bobot dan ukuran, kemitraan, dan bunga. Karena itu, karya Leonardo ini pun kemudian menjadi pondasi penulisan buku-buku dasar akuntansi, perbankan, asuransi dan pembukuan ganda di Pisa abad ke-13.
Namun Devlin mengamati edisi pertama Liber Abaci adalah buku padat dan rinci. Akibatnya buku tersebut sulit dipahami orang rata-rata. Akhirnya Leonardo merilis versi sederhana dari buku tersebut untuk menjangkau lebih banyak kalangan pedagang di Pisa.
"Selanjutnya, beberapa dekade setelah Liber Abaci muncul, ada 1.000 orang atau lebih yang berbeda yang menulis buku teks aritmetika praktis," sebut Devlin kepada NPR, "Orang biasa yang ingin mendirikan bisnis–dan tidak memiliki banyak uang untuk membayar orang untuk melakukan pembukuannya–pun dapat melakukannya sendiri."
Aritmatika dasar dengan sistem angka India-Arab mungkin tampak sederhana hari ini, tetapi Devlin mengatakan bahwa perkenalannya ke dunia ini sebanding dengan penemuan komputer.
"[Fibonacci] adalah Steve Jobs atau Bill Gates. Ini adalah revolusi komputer yang kita jalani di tahun 1980an, dan kesejajarannya sebenarnya luar biasa," kata Devlin.
Setelah Liber Abaci
Sejumlah teks matematika yang disusun oleh orang Eropa menggunakan sistem angka India-Arab banyak bermunculan setelah terbitnya Liber Abaci. Pada 10 Desember 1478 sebuah buku berjudul Aritmetica di Treviso terbit di Treviso, sebuah kota dekat Venesia. Buku yang tidak mencantumkan nama pengarangnya ini memiliki tebal 52 halaman berisi penjelasan perhitungan aritmetika perdagangan.
Kemudian Piero Borghi menerbitkan edisi yang lebih lengkap dari buku tersebut. Buku Borghi pun menjadi yang paling laku. Buku tersebut naik dicetak sampai 15 edisi, dua di antaranya terbit pada 1400-an dan yang edisi terakhir terbit pada 1564.
Fillipo Calandri menulis buku Pitagora aritemetice introductory. Buku itu dicetak di Florence pada 1491. Sebuah manuskrip juga ditulis oleh gurunya Leonardo da Vinci, Benedetto da Firenze pada 1463. Buku tersebut berjudul Tratto d'abacho. Buku-buku di atas diikuti oleh terbitan lainnya.
Baca juga:Abdus Salam, Ilmuwan Ahmadiyah yang Diabaikan Negara Muslim
Meskipun Liber Abaci secara umum merupakan terbitan pertama, tetapi hanya satu buku yang merujuk kepada Leonardo Fibonacci yakni Summa de arithmetica geometria proportioni et proportionalità (Semua yang diketahui tentang Aritmetika, Geometri, Proporsi, dan Proporsionalitas) yang disusun oleh Luca Pacioli. Buku tersebut dicetak di Venesia pada 1494.
"Dan karena kita mengikuti sebagian besar Leonardo da Pisa, saya bermaksud untuk mengklarifikasi sekarang bahwa setiap ucapan yang disebutkan tanpa nama pengarangnya dikaitkan dengan Leonardo,” sebut Pacioli.
Baru pada abad ke-18 peran vital Leonardo da Pisa alias Fibonacci diungkap oleh matematikawan cum sejarawan sains Italia Pietro Cossali.
Saat itu Cossali rajin mempelajari Summa dalam rangka menyusun bukunya Origine, transporto in Italia, primi progressi in essa dell-algebra (terbit dalam dua edisi, 1797 dan 1799). Karena penasaran dengan rujukan singkat Pacioli terhadap "Leonardo da Pisa," Cossali mulai mencari manuskrip yang ditulis Fibonacci.
Dalam buku yang dinilai sebagai buku sejarah matematika profesional pertama yang ditulis di Italia tersebut, Cossali menyimpulkan bahwa Liber Abaci adalah saluran utama "transmisi ke Italia" dari aritmetika dan aljabar modern. Metode baru itu menyebar lebih dulu dari kampung halaman Leonardo di Pisa melalui Tuscany (khususnya Florence) lalu ke seluruh Italia (terutama Venesia) dan akhirnya sampai ke seluruh Eropa.
Bergantung Pada Angka
Dalam buku ini juga Fibonacci menyebutkan konsep yang kelak dikenal disebut oleh Leonardo da Vinci sebagai ‘deret Fibonacci’ atau ‘Golden Ratio’. Konsep tersebut diilhami dari pertanyaan Fibonacci soal anak kelinci.
“Seorang pria tertentu menaruh sepasang kelinci (jantan dan betina) di sebuah tempat yang dikelilingi oleh dinding. Berapa banyak pasang kelinci yang bisa lahir dari pasangan itu dalam setahun jika diasumsikan mulai dari bulan kedua pada setiap bulannya masing-masing pasangan menghasilkan sepasang kelinci baru?”
Selain Liber Abaci, pada 1220 Fibonacci menerbitkan buku Practica geometriae. Dalam buku ini dia mengembangkan delapan bab teorema yang didasarkan pada karya matematikawan Yunani Kuno Euclid berjudul Elements dan On Divisions of Figures.
Sedangkan pada 1225, terbit Liber quadratorum. Buku ini, bersama buku Flos, a Letter to Magister Theodor, dinilai sebagai mahakarya Fibonacci. Buku ini diilhami dari permasalahan yang diberikan Raja Romawi Suci Friedrich II mengenai masalah matematika yang ditinggalkan matematikawan Yunani abad ke-3 Diophantus. Buku ini juga menjabarkan teorema-teorema kongruensi bilangan.
Baca juga:Filsafat Ampuh Tingkatkan Nilai Matematika dan Literasi Anak
Jika Leonardo da Pisa tidak menulis Liber Abaci, sulit membayangkan kehidupan manusia modern saat ini sesak dengan angka. Kala terjaga dari tidur, tangan biasanya menyambar ponsel guna melihat pesan yang masuk atau untuk sekadar melihat jam. Saat pergi ke tempat kerja menyetir kendaraan bermotor, tatapan mata pun sulit berpaling dari angka yang ditunjuk jarum speedometer. Saat mau tidur, jam alarm pun disetel.
Kehidupan tanpa angka berarti pula hidup tanpa laporan pasar saham, skor pertandingan sepakbola termutakhir, dan takaran beras yang mesti dimasak setiap hari. Lebih jauh, Devlin menunjukkan pengaruh angka dalam kehidupan kita pada level sistemik.
“Derajat kebergantungan masyarakat modern terhadap angka secara jelas terbukti dengan adanya kelesuan finansial global pada 2008 ketika kepercayaan berlebihan terhadap prediksi yang disediakan matematika tingkat lanjut dan pasar kredit mengantar pada runtuhnya sistem keuangan global,” ujar Devlin.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Maulida Sri Handayani