tirto.id - Riset yang dilakukan sejumlah akademisi di Leeds Becket University (LBU), West Yorkshire, Inggris, yang baru-baru ini diterbitkan di Jurnal Intelligence, menyatakan bahwa semakin religius sebuah negara semakian rendah pula prestasi para peserta didik di bidang sains dan matematika. Artinya, siswa-siswa di negara yang dihuni mayoritas penduduk yang mengaku agnostik atau ateis rata-rata memiliki catatan prestasi yang lebih baik dalam kedua bidang tersebut.
Profesor Ilmu Psikologi di LBU Gijsbert Stoet dan Profesor di Departemen Ilmu Psikologi Universitas Missouri David Geary menyusun penelitiannya dengan melakukan perbandingan. Caranya dengan mengukur performa akademik responden di 76 negara lewat catatan prestasi di Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dengan tingkat religiositas, dengan memakai World Values Survey dan European Social Survey.
Hasilnya menunjukkan lima negara paling tak religius alias paling sekuler, terutama di bidang pengajaran dan pendidikan, adalah Republik Ceko, Jepang, Estonia, Swedia, dan Norwegia. Dalam data TIMMS 2015, anak-anak di Republik Ceko usia 9-10 tahun memiliki skor 528, sementara Jepang meraih skor 593, Swedia memperoleh skor 540, dan Norwegia 538. Khusus untuk Estonia, data terakhir tahun 2003 memiliki skor 552.
Di sisi seberang, lima negara paling religius, terutama di bidang pengajaran dan pendidikannya, adalah Qatar, Indonesia, Mesir, Yordania, dan Tunisia. Menurut catatan TIMMS 2015, skor prestasi untuk bidang sains dan matematika Qatar sebesar 436, Indonesia 397, Mesir 371, dan Yordania 426. Khusus untuk Tunisia, catatan terakhir dalam TIMSS adalah tahun 2011 dengan skor 359. Kelimanya rajin mengisi posisi bawah TIMMS maupun PISA.
Temuan pokok profesor Stoet dan Geary adalah adanya hubungan negatif yang kentara antara menghabiskan waktu untuk pendidikan agama di sekolah menengah pertama (SMP) maupun di sekolah menengah atas (SMA). Temuan mereka mengindikasikan peserta didik di negara dengan tingkat religiositas tinggi mendapat skor buruk dalam bidang sains karena ketidakcocokan antara teori evolusi dan kepercayaan tradisional mereka.
Stoet menjelaskan, Arab Saudi berada di tingkat ke-72 untuk tingkat religiositas tapi skor matematikanya -18 pada 2004. Arab Saudi bagi Stoet adalah negara yang relatif stabil dan tidak dilanda konflik sipil yang parah. Mereka bahkan menggratiskan banyak kesempatan meraih pendidikan. Namun, ada faktor lain yang membuat pencapaian sains dan matematika Arab Saudi anjlok, yakni jam-jam pelajarannya tiap minggu didominasi oleh pendidikan berbasis agama.
Indonesia Religius, Singapura Jenius
Indonesia adalah salah satu negara yang mendapat titel sebagai salah satu negara paling religius dari banyak lembaga. Selain dari World Values Survey dan European Social Survey, hasil serupa terlihat dalam riset WIN/Gallup International yang dipublikasikan pada 2015. WIN/Gallup Internasional menyurvei kurang lebih 64.000 responden dari 65 negara. Hasilnya diukur memakai persentase: semakin tinggi persentasenya semakin religius negara tersebut.
Indonesia memiliki persentase 82 persen untuk orang yang mengaku religius dan 15 persen mengaku bukan orang religius, dan sisanya tidak tahu. Indonesia bersanding dengan negara religius di Asia Tenggara lain seperti Thailand yang memuncaki ranking dengan persentase masyarakat religius mencapai 94 persen, Filipina (86 persen), maupun Malaysia (72 persen).
Kondisi di Indonesia makin menguatkan hasil penelitian Stoet dan Geary sebab prestasi di bidang sains maupun matematika tergolong rendah. Dalam PISA 2015, skor sains Indonesia adalah 403, matematika 386, dan membaca 297. Ranking sains di urutan 62, matematika 63, dan membaca 64, dari total 70 negara yang disurvei PISA. Ini artinya Indonesia selalu masuk urutan 10 besar terbawah. Terlebih jika berkaca pada pencapaian PISA pada 2012, ranking sains, matematika, dan membaca Indonesia adalah 64, 65, 61 dari 65 negara.
Indonesia tentu kalah jauh dengan Singapura, tetangga kecilnya di seberang. Singapura termasuk negara sekuler yang memisahkan antara negara dan agama dan tak membolehkan partai politik berbasis agama. Tak ada komunitas tertentu yang menggunakan agama untuk mendikte urusan negara.
Meski sekuler, bukan berarti Singapura anti-agama. Singapura menjamin masing-masing pemeluk agama untuk menjalankan keyakinannya dengan tenang tanpa perlu merisak kestabilan masyarakat dan ruang publik. Riset Pew Research pada 2014 bahkan menempatkan Singapura sebagai negara dengan keragaman agama paling tinggi di dunia. Walaupun menjadi negara sekuler, wajah masyarakat sesungguhnya cukup agamis. Yang menarik, perkara agama tak bercampur dengan dunia pendidikan siswa-siswa di Singapura.
Dalam sebuah laporan Strait Times tahun lalu disebutkan makin banyak generasi muda Singapura yang menjauhi kehidupan beragama. Namun, dalam iklim toleransi yang tinggi, hal ini tak menjadi masalah serius. Ateisme dan agnostik kini menjadi perkara yang tak menakutkan maupun mengkhawatirkan sebab penghormatan di Singapura tak hanya dilakukan antar-umat beragama, tapi juga kepada umat non-beragama. Orang-orang Singapura lebih suka menyalurkan energinya untuk belajar keras, dan semaksimal mungkin menghindari konflik SARA.
Dalam etos belajar yang luar biasa tinggi, pencapaian Singapura dalam ranking TIMMS terbilang menakjubkan. Prestasi TIMSS matematika Singapura pada 1995, 2003, dan 2011 untuk kelas empat selalu di posisi pertama dunia. Hanya sekali mereka turun ke posisi dua, kalah dari Hong Kong, pada 2007. Sementara untuk kelas 8, Singapura berjaya di urutan pertama dunia pada 1995, 1999, dan 2003. Pada 2007 mereka terpelanting di urutan ke-3 dan pada 2011 di urutan 2.
Prestasi luar biasa juga ditorehkan Singapura dalam catatan TIMSS bidang sains. Setelah terpuruk di urutan 10 pada 1995, pada 2003 Singapura berhasil melesat jauh menempati posisi pertama dunia TIMSS kategori kelas empat. Posisi pertama bisa dipertahankan hingga tahun 2007, tapi pada 2011 Singapura agak tergelincir ke posisi 2.
Sedangkan untuk kategori kelas delapan, Singapura sukses merebut posisi pertama pada 1995, 2003, 2007, dan 2011. Pada 1999 Singapura lengah dan pindah sementara ke posisi dua, kalah dari Taiwan di posisi pertama.
Sekularisme, Kunci Majunya Ilmu Pasti?
Gijsbert Stoet mengatakan jika pendidikan sains matematika adalah kunci peradaban masyarakat modern. Penelitiannya menyugestikan bahwa pendidikan dua bidang itu akan kuat dalam sebuah negara jika memakai pendekatan sekularisme. Ia kemudian mengkritik kebijakan baru pemerintah Inggris yang ingin mengucurkan lebih banyak dana ke sekolah-sekolah berbasis agama.
“Kesuksesan sekolah dan pendidikan secara umum akan menghasilkan masyarakat yang produktif dan standar kehidupan yang lebih berkualitas. Dengan hubungan negatif yang kuat antara religiositas dan performa peserta didik, pemerintah semestinya dapat meningkatkan standar kualitas pendidikan dengan cara menjaga agama di luar sekolah dan kebijakan-kebijakan pendidikan,” katanya.
Persoalannya, menurut Stoet, sederhana. “Ketika anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu mereka tentang agama, mereka akan menghabiskan lebih sedikit waktu pada hal-hal lain."
Sikap ini bukan berarti Stoet anti-agama. Ia percaya sekolah bisa mengajarkan agama dengan cara menggali beragam manfaat dari cerita yang ada pada kitab suci. Namun, ia menekankan ada perbedaan antara belajar tentang agama dan indoktrinisasi iman. Belajar tentang agama pun mesti secukupnya saja tanpa menghabiskan waktu si anak agar bisa belajar sains dan matematika dengan maksimal.
“Sekolah harus mengajarkan tentang agama," kata Stoet kepada The Independent, "tetapi saya tidak menyarankan sekolah juga mengajarkan perkara keyakinan.”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan