tirto.id - Kekeringan yang terjadi selama musim kemarau tahun ini adalah buah kegagalan manusia menjaga alam.
Minggu pertama di bulan November sudah hampir usai. Hujan mulai turun dengan intensitas rendah tapi pompa air di rumah Wiwied, 57 tahun belum juga berfungsi normal. Kekeringan membuatnya harus membeli air galon isi ulang untuk memenuhi kebutuhan air selama sebulan ini.
“Satu galon itu Rp7 ribu, 4 galon cuma bisa buat masak seminggu. Belum yang buat mandi, itu beli juga,” tuturnya kepada Tirto.
Kondisi ini tak hanya dirasakan Wiwied. Hampir semua tetangganya mengalami hal yang sama. Rumah Wiwied memang berada di Ciputat, kawasan yang kualitas airnya kurang begitu bagus karena daerah itu bekas rawa-rawa. Air di rumahnya biasa hanya digunakan untuk mandi dan cuci piring karena berbau magnesium.
Wiwied dan para tetangganya selama ini berlangganan air yang dibeli dari tukang air keliling. Satu jeriken air isi 10 liter dihargai Rp4 ribu, saat kondisi normal dalam dua minggu ia biasa membeli delapan jeriken untuk masak. Artinya ia cukup mengeluarkan Rp32 ribu dalam dua minggu saat air tanahnya penuh.
Tapi selama musim kemarau ini, Wiwied harus menambah pengeluaran untuk membeli air tambahan. Tukang air keliling langganannya bahkan sudah tidak berjualan selama dua minggu terakhir. Kabarnya sumur milik si tukang juga ikut kering akibat kemarau panjang. Akhirnya, Wiwied terpaksa membeli semua kebutuhan air dari depot isi ulang.
“Malah kemarin di sini ada hajatan piring lauknya nggak bisa dicuci saking susah air,” ceritanya.
Jika dihitung, untuk kebutuhan masak saja, selama musim kemarau ini ia harus mengeluarkan Rp56 ribu per dua minggu, lebih mahal 24 ribu dibanding kondisi normal. Itu belum juga dihitung kebutuhan air harian untuk mandi dan cuci piring. Kadang, jika mesin pompanya tak mengalir, ia terpaksa membeli air dari depot yang sama.
Menunggu Hujan di Penghujung Bulan
Awal November hujan dengan intensitas rendah sudah mulai turun. Namun sisa kekeringan dari musim kemarau kemarin belum juga terhapus hujan. Dilansir dari CNN Indonesia, pada Agustus lalu Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut 92 persen wilayah Indonesia dilanda kemarau.
Ada beberapa wilayah mengalami hari tanpa hujan ekstrem, yaitu tidak ada hujan hingga lebih dari 60 hari seperti di seluruh Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Cerita serupa Wiwied nyatanya terjadi di banyak wilayah. Bahkan untuk wilayah perkotaan seperti Jakarta Utara pun mengalami kekeringan pada bulan Juli dan Agustus dan berdampak pada kualitas air sumur.
Lalu di warga Tasikmalaya pun masih mendapat bantuan air bersih dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Tasikmalaya hingga Minggu, (3/11/2019). Seperti diberitakan Antara hampir seluruh kecamatan di wilayah tersebut mengalami kekeringan.
Bahkan pada kemarau tahun ini, BPBD Kota Tasikmalaya sudah menghabiskan hampir tujuh juta liter air bersih. Jumlah tersebut setara tiga kali lipat distribusi air bersih pada bencana kekeringan tahun 2018 yang membutuhkan air sebanyak 2,3 juta liter.
“Saat ini belum ada serapan air ke dalam tanah karena hujannya masih rendah,” kata Kepala Pelaksana BPBD Kota Tasikmalaya Ucu Anwar.
Meski penetapan status darurat kekeringan sudah berakhir 31 Oktober 2019, rencananya BPBD Kota Tasikmalaya akan tetap menyalurkan air bersih sampai sumur-sumur warga kembali teraliri air. Kemarau tahun ini memang lebih kering dibanding tahun sebelumnya karena ada siklus iklim El Nino pada akhir 2018.
Dampak lain dari kemarau 2019 selain membikin masyarakat kekurangan air bersih, lahan pertanian pun ikut kering. Kombinasi keduanya menjadi ancaman gagal panen bagi wilayah-wilayah pertanian tadah hujan. Sementara itu BMKG mengumumkan awal musim hujan baru jatuh di akhir bulan November hingga awal Desember nanti.
Kekeringan dan Banjir yang Selalu Berulang
Baru musim kemarau tahun ini Wiwied merasakan payahnya mencari air untuk kebutuhan masak, mandi, cuci, dan kakus. Sudah 25 tahun lebih Wiwied tinggal di Ciputat. Meski kemarau panjang, air tanahnya tetap mengalir walau sedikit. Ia sempat mengira, pengaspalan di jalan depan rumahnya menyebabkan air sumurnya surut.
"Mungkin ya, karena resapannya jadi dikit," pikir ibu rumah tangga itu.
Tebakan Wiwied mungkin saja benar, karena selain faktor cuaca dan iklim seperti El Nino, perubahan bentang alam juga berpengaruh terhadap surutnya air. Prinsip siklus air mengemukakan bahwa total jumlah air di dunia pada dasarnya adalah tetap sama meski mengalami pergeseran variasi, waktu, dan intensitas.
Namun dalam prosesnya terdapat gerakan daur hidrologi dari laut ke atmosfer, atmosfer ke tanah, dan kembali ke laut. Agar porsi air untuk konsumsi makhluk hidup mencukupi kebutuhan maka siklus tersebut harus dikelola dengan baik. Apalagi saat ini dunia semakin tua dan jumlah pohon penyimpan cadangan air semakin berkurang.
“Tinggal bagaimana manusia mengelola agar siklus ini agar memberi manfaat maksimal dan tidak jadi bencana,” ungkap Ignasius DA Sutapa, Peneliti Utama Bidang Teknologi Kimia dan Lingkungan Pusat Penelitian Limnologi LIPI, dikutip dari laman resmi LIPI.
Meski air merupakan sumber daya alam yang bisa diperbarui, tak semua jenis air di dunia bisa dikonsumsi. Air tawar hanya berjumlah sekitar tiga persen dari jumlah total air dunia. Sebanyak 2 persen dari total air tawar dunia berada di kutub utara dan selatan, dalam bentuk glesyer.
Air tawar pada tanah dan permukaan—yang bisa digunakan penduduk dunia—hanya mengambil porsi sebanyak satu persen dari total air. Sebanyak 97 persen air di dunia merupakan air laut yang tidak bisa dikonsumsi. Negara kita memang punya ketersediaan air cukup banyak, sekitar 15.000 meter kubik per kapita per tahun.
Jumlah tersebut masih di atas rata-rata dunia yang hanya 8.000 meter kubik per kapita per tahun. Namun, faktanya proporsi ketersediaan air tidak merata di tiap daerah. Jawa dan Bali hanya punya 7 persen total ketersediaan air nasional. Padahal, pulau ini dihuni lebih dari 60 persen penduduk Indonesia.
Pengelolaan siklus air yang buruk akan menimbulkan bencana lain, misalnya banjir usai kekeringan. Kondisi inilah yang biasa kita hadapi setiap tahun. Apalagi saat ini daerah resapan air berkurang secara signifikan karena pembangunan dan pengaspalan.
Akibatnya ketika musim hujan tiba terjadilah banjir karena air tak terserap, dan langsung kembali ke laut. Hal itu sekaligus membikin cadangan air berkurang dan memicu kekeringan di musim kemarau. Defisit ketersediaan air permukaan dan air tanah kemudian diperparah dengan eksploitasi air berlebihan akibat pertambahan jumlah penduduk dan pemakaian yang tidak efisien.
“Hampir 98 persen bencana alam merupakan bencana hidrometeorologi, berhubungan dengan air," jelas Sutapa.
Ia mengatakan penanganan bencana kekeringan dapat dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama tentu saja mengatasi kekeringan dengan cara cepat misal dengan melakukan pengeboran air tanah dalam. Jika kekeringan melanda daerah dalam cakupan cukup luas, negara bisa memfasilitasi teknologi hujan buatan.
Tapi, solusi terakhir memiliki beberapa kelemahan. Selain biaya mahal, diperlukan ada awan cukup tebal untuk membentuk hujan. Risiko kegagalannya pun tinggi. Cara paling efektif dan berkelanjutan untuk mengatasi kekeringan dan banjir adalah melakukan revitalisasi danau, situ, dan embung sebagai penampung air saat musim hujan tiba.
“Pembuatan embung baru di lokasi rawan kekeringan akan meningkatkan cadangan air,” lanjut Sutapa.
Revitalisasi penampung air tersebut sekaligus memperbaiki saluran air (drainase), mencegah dan mengurangi kebocoran air, serta memperpanjang siklus air agar tidak cepat kembali ke laut. Jika perlu, tingkatkan jumlah tampungan air selama musim hujan. Langkah selanjutnya adalah melakukan penanaman air hujan, yaitu menggunakan kembali air yang telah dipakai dengan melakukan pengolahan sederhana.
Pembangunan waduk dan bendungan juga diperlukan guna menampung air saat musim penghujan. Waduk dan bendungan berfungsi meminimalisasi banjir dan mengatasi kekeringan pada musim kemarau. Terakhir, Sutapa menyarankan pengaturan kembali tata ruang dengan mempertimbangkan siklus air dan mereboisasi pohon secara massal di wilayah rawan kekeringan.
Mirisnya, meski saran-saran tersebut sudah terlalu sering dikemukakan, kita tetap abai dan memilih nyaman menghadapi kekeringan serta banjir tahunan.
Editor: Windu Jusuf