tirto.id - Bagi Cita Febronia Utami, 29, bilingual atau dwibahasa telah lama menarik minatnya. Namun, ia sempat merasa tak yakin untuk menerapkan dwibahasa setelah anaknya, Yatha Vaga, lahir pada 2010. Keraguan itu muncul karena ia pernah membaca sebuah artikel di internet yang ditulis oleh seorang dokter spesialis anak di Indonesia bahwa pengenalan lebih dari satu bahasa sejak anak masih bayi dapat menghambat perkembangan bicara dan kemampuan otaknya. Sejak saat itu, ia memutuskan untuk berusaha berbicara bahasa Indonesia kepada anaknya.
Namun, pandangan Cita berubah ketika ia harus meninggalkan anaknya yang pada saat itu berumur 9 tahun untuk mengambil pendidikan master di Norwegia pada tahun 2011. "Gara-gara hal itu aku jadi kepikiran lagi. Karena ketika Yatha nanti menyusul aku, dan dia bakal aku titipkan ke daycare di sana, soal bahasanya bagaimana?" kata Cita pada Tirto.
Masih dihinggapi kebingungan, ia pun berangkat ke salah satu negara Skandinavia tersebut. Di sana ia bertemu dengan teman-teman perkuliahan dari luar Norwegia yang menikah dengan penduduk setempat. Ternyata anak-anak mereka sejak dari bayi sudah terpapar oleh dua bahasa yang dimiliki orang tuanya, dan ia tidak melihat keanehan pada mereka.
Sejak saat itu, ia mulai lebih intens mencari-cari artikel dan jurnal mengenai dwibahasa dari berbagai sumber internasional hingga akhirnya menemukan buku berjudul “Bilingual By Choice” karangan Virginie Raguenaud yang membantunya mendidik Yatha untuk dapat berkembang menjadi anak dengan dwibahasa.
Dari pengalamannya dengan tumbuh kembang Yatha pula, Cita menegasikan pendapat bahwa mendidik anak dwibahasa akan menghambat perkembangan bicara anaknya.
"Kenyataannya ya tidak. Yatha ketika umur 2 tahun sudah lancar ngomong bahasa Inggris dan Norway. [...] Dia jadi lebih gampang untuk ketemu orang baru. Dia tidak susah ketika bertemu orang yang 'beda' dari dia," katanya, meski menambahkan bahwa hal tersebut tidak serta-merta dapat menjadi sebuah generalisasi.
Cita sesungguhnya juga telah membuktikan hal serupa pada dirinya, sebab ia dulunya juga mengalami pendidikan dwibahasa. Pada usia 7 tahun, ia sempat tinggal di Amerika Serikat selama dua tahun dan ketika kembali ke Indonesia, kemampuan bahasa Inggris yang ia miliki tidak hilang, bahkan menjadi bahasa dominannya.
Ia mengaku tidak mengalami kesulitan komunikasi dalam studinya. Bahkan ketika menjejaki bangku perkuliahan, kemampuan bahasa Inggrisnya malah sangat membantunya memahami materi perkuliahan yang rata-rata menggunakan bahasa Inggris. "Pas S1 [lulus] cumlaude," kata kandidat PhD di Denmark itu sembari tertawa.
Orang yang dapat berbahasa lebih dari satu layaknya Cita dan Yatha sesungguhnya sudah menjadi hal yang lumrah di dunia saat ini. Seperti dikutip dari The Guardian, lebih dari setengah dari orang di seluruh dunia saat ini – diperkirakan sekitar 60 hingga 75 persen – berbicara setidaknya dua bahasa. Selain itu, banyak negara memiliki lebih dari satu bahasa resmi nasional. Di sisi lain, kenyataan menunjukkan mitos-mitos negatif yang menyelimuti pemaparan pelajaran bahasa kedua pada usia dini sesungguhnya tidaklah tepat.
Dalam sebuah paper berjudul "Bilingualism and the Development of Executive Function: The Role of Attention" oleh Ellen Bialystok seorang psikolog dan profesor asal Kanada, misalnya, dikatakan bahwa terdapat sejumlah bukti substansial jika lingkungan bahasa yang dialami oleh anak mempengaruhi kualitas sistem kognitif yang mereka kembangkan.
Dalam hal ini, bilingualisme kemudian dapat menjadi faktor penting dalam hasil perkembangan anak. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Peal E. dan Lambert W., yang juga dipaparkan oleh paper Ellen, terlihat bahwa anak dwibahasa mengungguli rekan-rekannya yang ekabahasa hampir pada semua tes yang mereka lakukan, termasuk pada inteligensi non-verbal.
Ellen, dalam studinya yang lain, bahkan menemukan, mereka yang mambu berbicara dwibahasa memiliki kemungkinan untuk terpapar Alzheimer lebih lambat daripada mereka yang ekabahasa. "Para dwibahasawan menunjukkan gejala Alzheimer sekitar empat sampai lima tahun setelah ekabahasawan dengan patologi penyakit yang sama," katanya, seperti dikutip dari The Guardian.
Ellen mengamini pendapat bahwa adalah muskil untuk menguji apakah bilingualisme meningkatkan hasil ujian sekolah anak atau tidak, sebab terdapat begitu banyak faktor yang memengaruhi hal tersebut.
Meski demikian, mengingat dwibahasa tidak memberikan dampak buruk bagi performa belajar anak serta mempertimbangkan bahwa banyaknya keuntungan budaya dan sosial yang didapat ketika mempelajari bahasa lain, maka ia merasa, "bilingualisme harus didorong."
Lantas, sebaiknya pada usia berapakah anak dapat mulai diajarkan bahasa keduanya?
Tari Sandjojo, Direktur Akademik di Sekolah Cikal, mengatakan memang terdapat beragam teori mengenai kapan waktu yang tepat untuk mengajarkan bahasa kedua tersebut.
Di satu sisi, terangnya kepada Tirto, terdapat teori yang mengatakan bahasa kedua dapat diajarkan sejak awal bersamaan dengan anak belajar bahasa ibunya. Di sisi lain, ada pula yang mengatakan bahwa bahasa ibu sebaiknya terlebih dahulu dikuasai kemudian baru bahasa keduanya.
Meski demikian, di sekolah Cikal, lanjutnya, yang diterapkan adalah yang teori yang kedua, di mana anak baru diajarkan bahasa kedua ketika sudah menginjak usia 3 tahun. Sebagai catatan, sekolah Cikal membuka kelas bagi bayi hingga usia remaja.
Alasan khusus mengapa kebijakan itu diterapkan, lanjutnya, adalah karena menimbang kematangan berbahasa yang dimiliki sang anak. Pada usia 3 tahun, jika dilihat dari tahapan perkembangan, anak sudah mampu lancar berbicara sehingga rasa percaya dirinya terhadap penggunaan bahasa untuk mengekspresikan diri harusnya sudah tercapai, terangnya.
"Setelah 17 tahun melakukan ini, kita juga melihat bahwa secara fakta pun anak-anak usia 3 tahun sudah lebih siap untuk menerima bahasa kedua," kata Tari.
Ia mengatakan, di era globalisasi yang modern saat ini, sesungguhnya pendidikan bahasa kedua bagi anak sudah terjadi sejak bayi secara pasif. Oleh karenanya, tidak menjadi masalah bagi anak jika terpapar bahasa kedua di bawah usia tersebut, meski memang kemudian konsekuensi alamiah yang diterima, menurut teori, percepatan kemampuan bicara anak menjadi lebih lambat jika dibandingkan ia menguasai bahasa ibu terlebih dahulu.
"Secara kerja otak mereka butuh waktu untuk mapping. Kapan saya bicara dengan bahasa Indonesia, ini bahasanya sebenarnya bahasa Indonesia atau Inggris, begitu kan," kata Tari.
Kendati demikian, ia dengan cepat menambahkan bahwa perbedaan kecepatan kemampuan berbicara tersebut sejatinya tidaklah terlalu kentara. "Kalau misalnya dilakukan secara konsisten, bapaknya berbahasa Inggris terus, ibunya berbahasa Indonesia terus itu ya anak akan bisa menguasai bahasa itu dengan cepat," jelasnya, sembari menekankan bahwa anak memiliki kemampuan berbahasa yang berbeda-beda pula yang kemudian turut menentukan cepat lambatnya kemampuan anak untuk mampu berbicara.
Terlepas dari alasan orang tua menerapkan pendidikan dwibahasa pada anaknya, Tari melihat pendidikan bilingual jelas akan sangat membantu anak menghadapi masa depannya, terutama di tengah era internet di mana komunikasi sudah mencapai taraf lintas negara, usia bahkan profesi.
"Kalau dia tidak dibekali dengan kemampuan untuk memahami bahasanya, bagaimana kemudian dia bisa menangkap konsepnya? bagaimana dia bisa menangkap inti dari suatu percakapan?" kata Tari.
Sementara itu, bagi Cita, ia sesungguhnya lebih menaruh perhatian pada kekhawatirannya mengenai budaya yang akan dijalani sang anak, Yatha, mengingat bahasa merupakan bagian dari budaya. Ia memberikan contoh pada bahasa Danish, di mana kata-kata kotor menurutnya memiliki nilai yang tidak sebesar budaya timur seperti Indonesia atau bahkan budaya di AS.
"Aku tidak bisa menerima itu, baik dr sisi aku sebagai orang Indonesia maupun aku yg juga bilingual bahasa Inggris," sebutnya."[Ini] pekerjaan rumah jangka panjang banget."
Jadi, melihat fakta yang ada, masihkah Anda takut akan mitos-mitos negatif mengenai dwibahasa?
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti