tirto.id - Kepala Divisi Advokasi Internasional LBH Jakarta Alldo Felix Januardy mengajukan praperadilan atas putusan Polres Jakarta Selatan yang menghentikan penyidikan kasus penganiayaan dirinya saat mengadvokasi warga Bukit Duri dari penggusuran pada 12 Januari 2016. Alldo menilai putusan Polres Jakarta Selatan sarat kejanggalan.
“Kalau polisi beralasan tidak bisa menemukan tersangkanya ini aneh sekali,” kata Alldo saat dihubungi Tirto, Rabu (3/1).
Alldo mengatakan pelaku penganiaya dirinya yang terdiri dari anggota polisi dan Satpol PP DKI Jakarta mestinya tak sukar ditemukan. Sebab penganiayaan itu tidak saja disaksikan oleh warga Bukit Duri Jakarta Selatan tapi juga terekam oleh media massa. Bahkan foto-foto penganiayaan itu telah tersebar luas di sosial media.
“Artinya kami menangkap kesan [penghentian penyidikan] sama saja polisi atau negara sedang melindungi pelaku kekerasan terhadap pembela HAM,” ujarnya.
Beberapa bulan usai membuat laporan pihak penyidik sempat mengundang Alldo dan pengacara ke Polres Jakarta Selatan. Saat itu, kata Alldo, penyidik sempat menawari uang ganti rugi asalkan bersedia diajak “damai”. Namun ajakan “damai” ditolak Alldo. Ia berasalan kasus penganiayaan di muka umum tidak bisa diselesaikan dengan mekanisme damai.
“Tentu saja kami tolak mentah-mentah karena sama saja korupsi penegak hukum,” katanya. “Hukum di Indonesia tidak mengatur prosedur tersebut (damai).”
Alldo enggan membuka siapa nama penyidik yang dimaksud. Menurutnya hal itu akan ia buka dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“Nama penyidiknya nantilah di sidang akan kita buka. Tapi ada salah satu oknum penyidik yang menawarkan,” katanya.
Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Kombes Mardiaz Kusin membantah keterangan tentang adanya penyidik yang melakukan ajakan damai kepada Alldo.
"Gak ada itu ajakan damai," kata Mardiaz.
Mardiaz enggan berkomentar banyak saat dimintai tanggapan perihal SP3 dan praperadilan yang diajukan Alldo. Ia menyebut praperadilan merupakan bagian dari langkah hukum pelapor.
“Polres siap menghadapi sidang prapid dan akan menghargai putusan hakim,” katanya.
Penggusuran yang Melanggar Hukum
Alldo menilai pelibatan aparat baik polisi, TNI, dan Satpol PP dalam penggusuran merupakan pelanggaran hukum. Hal itu menurutnya bertentangan dengan Undang-Undang TNI, Undang-Undang Kepolisian, dan Undang-Undang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Apalagi jika pelibatan mereka ternyata bersifat intimidatif dan disertai kekerasan.
Alldo mengatakan eksekusi penggusuran hanya bisa dilakukan oleh aparatur pengadilan setelah ada putusan hukum yang bersifat tetap. Alldo menegaskan penggusuran di luar koridor hukum jelas tidak bisa dibenarkan.
“Eksekusi hanya boleh lewat pengadilan bukan oleh pemerintah daerah atau polisi apalagi TNI,” ujarnya.
Sayangnya Alldo melihat pelibatan aparat dalam penyelesaian kasus tanah justru meningkat. Sejumlah kementerian menurutnya malah membuat MoU dengan TNI untuk menyelesaikan persoalan pengadaan tanah.
“Pemerintah malah mendukung pelanggaran hukum terhadap kekerasan struktural kepada warga negaranya sendiri. Terutama masyarakat miskin kota, tradisional, dan adat,” katanya.
Pengacara Publik Harusnya Dilindungi
Isnur salah seorang perwakilan Tim Advokasi Pembela (TAP) HAM mengatakan praperadilan melibatkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dan Ciliwung Merdeka.
Ia mengatakan Aldo dianiaya kepolisian dan anggota Satpol PP DKI Jakarta saat menjabat sebagai Pengacara Publik LBH Jakarta dan menjadi kuasa hukum warga Bukit Duri. Ketika itu Alldo meminta agar pihak kepolisian dan Satpol PP menghormati proses hukum warga Bukit Duri ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dan upaya negosiasi di Dewan Perwakilan Rakyat DKI Jakarta.
Namun bukannya menghentikan penggusuran untuk menghormati hukum, tiba-tiba lima (lima) orang anggota Satpol PP dan polisi melakukan pengeroyokan terhadap Alldo dengan cara menarik, mencekik, serta memukulnya. Tidak hanya itu, Alldo juga dijatuhkan ke tanah dan ditarik paksa sejauh kurang lebih 20 (dua puluh) meter dengan disaksikan oleh banyak orang.
“Akibatnya Alldo menderita memar-memar pada tubuh, kacamatanya dan telepon genggamnya pecah. Alldo juga diancam akan ditangkap jika menghalangi proses penggusuran yang tengah terjadi pada waktu itu,” kata Isnur kepada Tirto.
Usai penganiayaan oleh polisi dan Satpol PP Alldo segera melakukan visum. Di hari itu juga, menurut Isnur, Alldo langsung melapor ke Polda Metro Jaya dengan dalil pelanggaran terhadap Pasal 170 KUHP. Laporan diterima dengan Nomor LP/146/I/2016/PMJ/Ditreskrimum tanggal 12 Januari 2016. Namun laporan itu kemudian dilimpahkan ke Polres Jakarta Selatan dan mengalami penundaan yang tidak semestinya (undue delay). Padahal, kata Isnur, saksi-saksi sudah diperiksa dan bukti-bukti sudah diberikan kepada penyidik.
LBH Jakarta, kata Isnur, sudah berkali-kali menyurati Polres Jakarta Selatan untuk meminta informasi perkembangan perkara. Pada 28 Agustus Alldo menerima surat yang berisi Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang ditandatangani mantan Kapolres Jakarta Selatan Kombes Iwan Kurniawan. Namun SP3 itu bertanggal 8 Mei 2017 yang berarti penyidikan kasus Alldo telah dihentikan sejak empat bulan sebelumnya.
“Alasan penghentian yang tidak jelas, padahal bukti-bukti sudah terang benderang untuk menunjukkan siapa pelakunya,” ujarnya.
Isnur mengatakan pengacara publik sekaligus pembela HAM mestinya mendapat penghormatan dan perlindungan secara hukum dalam menjalankan tugasnya. Sebab mereka dijamin oleh konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Sepanjang yang dilakukan pengacara publik/advokat/pembela HAM tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak boleh ada ancaman, apalagi kekerasan fisik kepada mereka. Hal ini secara jelas disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berulang kali menyebutkan bahwa Kepolisian dalam menjalankan tugasnya harus menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.
“Tindakan-tindakan kekerasan ini haruslah dikutuk karena merupakan cara-cara barbar yang tidak seharusnya dilakukan oleh Kepolisian sebagai aparat penegak hukum dalam kerangka negara demokrasi,” katanya.
Isnur menuding Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan mantan Kapolres Jakarta Selatan Kombes Iwan Kurniawan sebagai bentuk impunitas terhadap para pelanggar HAM. Ia menilai SP3 ini menambah daftar panjang “dosa-dosa” pelanggaran HAM terhadap rakyat yang “melawan” kekuasaan yang menindas dengan cara-cara damai. Selain itu ia juga menyebut alasan dikeluarkannya SP3 tidak jelas.
“TAP-HAM dalam kasus ini mendudukkan Kapolda Metro Jaya sebagai Turut Termohon Praperadilan I dan Kapolri sebagai Turut Termohon Praperadilan II,” ujarnya.
Salinan SP3 yang diterima Tirto menyatakan pertimbangan penghentian penyidikan Alldo karena hasil penyidikan terhadap tersangka, saksi, dan barang bukti ternyata peristiwa yang diduga sebagai tindak pidanan yang dipersangkakan kepada terlapor terlapor tersebut tidak cukup bukti maka penyidikan dihentikan.
Isnur berharap majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan SP3 yang dikeluarkan Polres Jakarta Selatan tidak sah. Mereka meminta majelis hakim memerintahkan Polda Metro Jaya melanjutkan penyidikan karena penyidikan selama ini tertunda tanpa alasan yang jelas, mendesak Polda Metro Jaya dapat melakukan proses hukum secara obyektif dan transparan, mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk melindungi Pembela HAM dan menghormati Pengacara Publik/Advokat dalam menjalankan tugas.
Penulis: Jay Akbar
Editor: Jay Akbar