tirto.id - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ingin jalanan ibu kota bebas dari mobil yang usianya lebih dari 10 tahun. Ini ia tuangkan dalam Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara yang diteken Kamis (1/8/2019) pekan lalu.
"Memastikan tidak ada kendaraan pribadi berusia lebih dari 10 tahun yang dapat beroperasi di wilayah DKI Jakarta pada tahun 2025," demikian bunyi aturannya, tertera dalam poin 3.
Lebih detail, dalam poin 3 (c) Ingub, bekas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu meminta Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta membuat rancangan Peraturan Daerah terkait. Perda ini mesti sudah ada tahun depan.
Ingub ini terbit setelah DKI Jakarta terus-terusan disorot karena kualitas udaranya buruk berdasarkan dari data AirVisual. Pada 29 Juli lalu, Jakarta bahkan menempati peringkat pertama kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.
Anies bahkan digugat Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) karena dianggap lalai dan tidak bisa menjaga kualitas udara.
Tidak Tepat
Tapi kebijakan ini dinilai salah alamat oleh sebagian orang. Fitra Eri, jurnalis senior otomotif, instruktur, dan pembalap menilai asumsi dasar kebijakan ini saja sudah salah.
"Kalau alasannya emisi dan memengaruhi kualitas udara, berarti Gubernur memvonis mobil yang usianya lebih dari 10 tahun emisinya jelek, padahal belum tentu," ujar Fitra kepada reporter Tirto, Selasa (6/8/2019) kemarin.
Atas dasar itu itu, alih-alih membatasi kendaraan dengan usia tertentu, Fitra mengusulkan Anies memperketat uji emisi saja, yang sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 (PDF).
"Kalau karena polusi, batasilah mobil karena emisinya, bukan dari umurnya," tambahnya.
Dalam aturan yang diteken di era Gubernur Sutiyoso itu tertulis: (1) kendaraan bermotor wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan; (2) kendaraan bermotor... wajib menjalani uji emisi sekurang-kurangnya setiap enam bulan.
Dalam Ingub, Anies sebenarnya berjanji "memperketat uji emisi". Faktanya sejauh ini uji emisi belum efektif.
Pada awal Juli lalu Anies sempat mengatakan butuh 900 bengkel agar uji emisi bisa dilakukan menyeluruh, sementara sekarang yang bisa menguji emisi hanya 150.
"Sebaiknya melakukan hal itu [uji emisi saja] jika masalahnya polusi yang disebabkan karena emisi," tegas Fitra.
Agar tidak semua menggunakan uang pemerintah daerah, Fitra menyarankan Anies bekerja sama dengan bengkel-bengkel resmi pabrikan. "Kalau [setelah diuji emisi] tidak layak jalan, saya setuju mobil itu tidak dapat izin dan dilarang [beroperasi]," sambung Fitra.
Penolakan juga datang dari Aulia Rahman, anggota Honda Maestro Riders Club (HMRC), klub mobil-mobil tua, dengan alasan: mobil tua biasanya jarang ada di jalanan, dan oleh karenanya tak berkontribusi besar terhadap polusi.
"Perhatikan saja orang yang punya mobil tua. [Mobilnya] disimpan saja, kalau keluar pakai mobil lain. Paling sekali-sekali saja buat kumpul. Kalau angkot, metromini tua, itu yang bikin polusi," katanya kepada reporter Tirto.
Seseorang punya mobil tua biasanya karena hobi, kata Aulia. Dan biasanya mereka rela mengeluarkan uang banyak untuk memelihara kendaraannya itu. Oleh karena itu Aulia menyarankan Anies menerapkan pajak tinggi saja untuk mereka.
"Kalau orang yang niatnya menyimpan mobil tua (koleksi), mereka bayar berapa pun enggak masalah. Kan, lumayan buat pendapatan pemprov," katanya.
Sementara Deputi Bidang Koordiansi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kemenko Perekonomian Wahyu Utomo mengatakan kebijakan ini justru dapat memacu orang membeli mobil baru.
"Pembatasan usia kendaraan, tapi orang beli lagi yang baru, ya sama saja," kata Wahyu kepada wartawan di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Dengan kata lain, kebijakan ini sangat mungkin tak akan efektif menekan tingkat polusi karena jumlah mobil bermesin pembakaran dalam--yang tetap saja menghasilkan emisi meski sedikit--terus bertambah. Pada sisi lain, menurut Aichiro Suryo Prabowo, ekonom dari Universitas Indonesia, pemerintah di tingkat pusat tidak punya kebijakan membatasi, apalagi mengurangi jumlah mobil.
"Beberapa kebijakan justru terlihat berjalan ke arah yang berlawanan: pemerintah [pusat] telah mempertimbangkan untuk membuat harga mobil lebih murah, seperti yang terlihat dalam usulan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto untuk memangkas pajak sedan domestik," katanya dalam opini di Tirto.
Pemerintah pusat juga jor-joran membangun fasilitas yang menyokong lalu lintas mobil, seperti jalan raya dan jalan tol, kata Aichiro. Maka tidak heran jika Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memuji pemerintahan Joko Widodo sebagai "pemerintahan yang paling perhatian dengan mobil."
Bisa dibilang, keinginan Anies membatasi jumlah mobil di Jakarta tidak sinkron dengan kebijakan pusat.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, belum bisa berkomentar banyak soal ini. Dia hanya bilang instruksi Anies tengah dikaji. Jika kajian sudah rampung, segera disosialisasikan kepada masyarakat.
"Setelah diselesaikan naskah akademiknya, kami akan melakukan pembentukan Perda. Setelah itu tentu ada masa transisi untuk implementasinya," kata Syafrin kepada reporter Tirto.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino