tirto.id - Siaran langsung mandi lumpur yang viral pada aplikasi TikTok hanyalah satu dari sekian komodifikasi kemiskinan yang menjajah dunia hiburan di Indonesia. Konten semacam ini terus langgeng karena pada dasarnya manusia merasa senang melihat orang susah.
Jika Anda menyaksikan beberapa tayangan mandi lumpur di TikTok, Anda pasti menemukan polanya: dilakukan di satu tempat dengan tokoh-tokoh lanjut usia.
Mereka akan “mandi” menggunakan gayung bahkan ember besar jika penontonnya memberi gift yang nantinya bisa diuangkan. Semakin besar nilai gift, maka guyuran lumpur akan semakin banyak. Satu gift paling murah berbentuk rose berharga Rp250, sementara yang paling mahal yakni ikon universe senilai Rp8 juta.
Usut punya usut, aksi “mengemis” berjamaah ini ternyata diorganisir oleh satu orang. Si organisator paham betul bahwa amat mudah menarik atensi orang lewat komodifikasi kemiskinan dan kemelaratan.
Mungkin, dia belajar dari upaya “mengemis” yang sudah-sudah. Bisnis bermodal belas kasihan memang telah lama eksis. kita bisa menjumpainya dalam skala kecil maupun skala kapitalis, mulai dari pengemis-pengemis anak di jalanan, tur wisata kumuh, sampai program-program menjual kisah pilu seseorang di televisi.
Mari menyegarkan ingatan tentang beberapa program komodifikasi kemiskinan yang pernah menghiasi acara televisi kita. Setidaknya, ada empat acara yang populer dan memiliki rating tinggi, yakni Uang Kaget, Bedah Rumah, Mikrofon Pelunas Hutang, Jika Aku Menjadi, dan Tukar Nasib.
Modelnya sama saja, yakni menghadirkan orang “miskin” sebagai target penghasil rating, menjual kisah pilu mereka, memberinya bantuan materil, dan kembali menjual tangisan-tangisan syukur mereka. Miris, sebagai tokoh utama, imbalan mereka tak sebanding dengan keuntungan yang didulang program.
Tengok saja survei yang dilakukan oleh Nielsen Media Research (NMR) di Indonesia pada pertengahan 2005. Survei itu menyebut Uang Kaget dan Bedah Rumah sebagai reality show dengan rating tertinggi.
Lalu di sektor pariwisata, ada namanya wisata kemiskinan. Pada praktiknya, pelancong akan diajak mengunjungi daerah kumuh, padat, dan miskin. Destinasi populer wisata kemiskinan di beberapa belahan dunia di antaranya Manila (Filipina), Mumbai (India), dan Rio de Janeiro (Brasil).
Di Indonesia, kehidupan warga miskin di Kampung Luar Batang, Jakarta Utara, turut menjadi objek wisata kemiskinan serupa yang digagas oleh komunitas sosial budaya Interkultur.
Sementara soal pengemis anak, rasanya tak perlu lagi dijabarkan panjang-lebar. Pasalnya, Anda pasti sering menjumpai mereka di jalan besar, lampu merah, bahkan gang-gang sempit perkampungan. Modusnya, anak-anak itu dijadikan “property” mengemis bersama seorang perempuan, badut, penjual tisu, atau menjadi manusia silver.
Senang Lihat Orang Susah
Mengapa komodifikasi kemiskinan dan kemalangan orang terus langgeng di dunia?
Salah satu sebabnya adalah bahwa kita pada dasarnya senang melihat orang lain susah. Manusia secara individu butuh divalidasi dan merasa dirinya lebih superior ketimbang manusia lain. Karena alasan itu, mereka butuh pembanding: manusia lain yang terlihat lebih lemah, tersiksa, apes.
Perasaan senang ketika melihat orang tersiksa dalam istilah Jerman disebut schadenfreudeyang digabungkan dari kata schaden (bahaya) dan freude (kegembiraan)--atau harm-joy dalam bahasa Inggris.
Schadenfreude menurut filsuf Jerman Friedrich Nietzsche merupakan perasaan senang yang didapat bukan dengan membuat orang lain menderita, tapi cukup dengan “melihat” mereka menderita. Sebagian orang merasa senang melihat orang lain susah karena membuat mereka merasa kuat atau lebih unggul.
Itu terdengar menakutkan, tapi studi dari Universitas Princeton (2013, PDF) justru mengatakan reaksi emosional ini bersifat biologis. Otot yang mengatur senyuman ternyata lebih aktif saat melihat orang tersiksa, terutama orang yang tidak disukai. Tawa yang diasosiasikan dengan schadenfreude sama kuatnya dengan tawa gembira.
“Kurangnya empati tidak selalu bersifat patologis (kelainan). Ini adalah respons manusia yang tidak semua orang mengalaminya, tapi sebagian besar iya,” kata Mina Cikara, peneliti utama dalam studi ini.
Dalam studi itu, para peneliti mengukur aktivitas listrik otot pipi dengan elektromiogram (EMG)--alat yang dapat menangkap aktivitas elektrik gerakan wajah saat seseorang tersenyum. Hasil pengukuran itu menuntun pada kesimpulan bahwa orang lebih banyak tersenyum ketika orang lain mengalami ketidakberuntungan atau ketidaknyamanan.
“Kami tertarik pada kondisi ketika orang gagal untuk berempati satu sama lain dan mereka merasa bahagia dengan mengorbankan orang lain,” ujar Cikara.
Itulah pula alasan ilmiah atas reaksi sebagian dari kita yang lebih dulu tertawa ketika melihat teman sendiri terjatuh, baru kemudian menolongnya. Oksitosin alias hormon cinta juga berperan dalam schadenfreude.
Jadi, jangan heran dan bertanya, kenapa masih saja ada orang yang memberikan gift dalam siaran “penyiksaan” lansia dengan mandi lumpur. Atau kenapa acara dan komodifikasi kemiskinan lainnya tetap jaya. Ya, sebab mereka punya pangsa pasar yang mendambakan schadenfreude.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi