tirto.id - Kabar baik datang dari Prenjak: In The Year of Monkey yang dinobatkan sebagai film pendek terbaik di The International Critics' Week di Festival Film Cannes. Film ini menuai beragam pujian dari beragam kalangan. Apalagi setelah sang sutradara film itu, Raphael Wregas Bhanuteja, kembali ke tanah air.
Usai mengadakan pemutaran film serta diskusi bersama penikmat film di Jakarta beberapa waktu lalu, Wregas menerima tirto.id di studio kecilnya di bilangan Sosrowijayan, dekat kawasan Malioboro. Di tempat itulah ia meramu Prenjak dan beberapa film pendek lain yang sukses diputar tak hanya di Cannes, tetapi juga di Berlin International Film Festival serta festival film bergengsi lain di luar negeri.Berikut wawancara selengkapnya:
Penonton boleh memberi tafsir sendiri atas makna dari film Prenjak. Namun, sebenarnya apa yang ingin Anda sampaikan dari film itu?
Sebenarnya saya hanya ingin berbicara mengenai kekuatan seorang wanita ketika berjuang menghadapi hidupnya. Seorang wanita yang hidup sendiri dan dia harus menghidupi anaknya sendiri tanpa adanya suami atau pasangan hidup tetapi dia menjalaninya dengan sepenuh hati. Tidak ada rasa mundur atau menyerah dan dia bisa melakukan segala cara apapun itu untuk menjaga kehidupan anaknya dan keluarganya. Itulah kekaguman saya kepada perempuan, bagaimana dia kuat mempertahankan hidupnya.
Prenjak memiliki hubungan dengan film pendek Anda sebelumnya, Ciblek, dengan tema yang serupa?
Ciblek saya bikin di tahun 2012 saat saya masih kuliah dan tak sempat saya ikutkan festival apapun. Waktu diputar pun hanya di kampus sebagai semacam tugas kuliah. Namun, waktu membuat Ciblek dulu banyak sekali kekurangan di sana-sini. Misal, set artistiknya yang kurang mendukung realis, atau sound-nya yang tidak bagus, dan ceritanya yang terlalu sederhana.
Saya rasa cerita sebagus itu perlu penggarapan yang lebih serius, lebih detail, dan lebih mendalam. Akhirnya selang empat tahun kemudian saya memutuskan untuk membuat lagi dengan cerita yang berbeda, dengan set artistik yang lebih mendetail, kamera yang lebih bagus, dan para pemain yang lebih siap juga. Tapi bukan sebagai lanjutan [dari Ciblek].
Di Ciblek maupun Prenjak Anda menampilkan perempuan yang melakukan hal tak pantas di mata masyarakat, apakah itu berkaitan dengan realisme sosial?
Saya hanya ingin menunjukkan inilah realitas yang terjadi di masyarakat kita. Ini (fenomena gadis penjual korek api) pernah terjadi di tahun 80-90 dan fenomena itu bukan sesuatu yang harus saya tutup-tutupi. Saya hanya ingin memotretnya dan membagikannya ke masyarakat.
Bisa diceritakan proses produksi Prenjak hingga didaftarkan dan menang di Festival Cannes?
Saya hanya melakukan syuting dua hari saat itu. Bulan Februari (2016) saya putuskan untuk pulang ke Yogya, saya hubungi para pemain. Mereka belum pernah main film sebelumnya. Lalu kita adakan reading selama tiga hari, lalu dua hari syuting, dan kemudian hanya mengedit selama seminggu.
Setelah mengedit saya lihat di website Cannes bahwa waktu pendaftaran tinggal dua hari lagi. Dan saya rasa waktu itu kesempatan yang baik sekali untuk mencobanya. Setelah kami daftarkan, muncul pengumuman bahwa film kami lolos kompetisi di Semaine de la Critique (The International Critics' Week) di Cannes, lalu kami susun proposal dan akhirnya kita berlima berangkat ke sana. Di sana film kita diputar sekitar empat kali dan di malam penghargaan film kita dikabarkan menjadi film pendek terbaik.
Apa yang disampaikan juri waktu itu dan menjadikan alasan kemenangan Prenjak di antara film para nominator lain?
Intinya ketika tampil di depan juri memberikan statement jika Prenjak sangat puitis. Memiliki bahasa yang sangat puitis, di mana peristiwa yang memilukan atau menyedihkan tidak dibungkus sebagai sesuatu yang harus ditangisi, tetapi sebagai sebuah hal yang wajar saja untuk dilewati, semacam siklus kehidupan manusia yang ada pasang-surutnya.
Ketika menggarap Prenjak saya juga tidak ada niatan untuk mendramatisasi kesedihan si perempuan ini (tokoh dalam film Prenjak). Ya sudah kita jalani seperti apa yang kita alami. Kesedihan adalah sesuatu yang biasa.
Kualitas film dari nominator yang lain seperti apa?
Film-film yang lain memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Tidak ada tema yang sama, tidak ada bentuk yang sama, dan kualitas sinematografinya bagus-bagus, bisa dibilang jauh di atas Prenjak. Teknologi kamera mereka jauh di atas kita, jauh lebih mahal dan besar.
Set artistik yang mereka sajikan juga tidak tanggung-tanggung. Ada satu film dari Yunani yang menampilkan seekor ikan paus yang terdampar di pantai dimana sang sineas membuat replika ikan paus di set filmnya. Saya sangat kagum dan mata saya terbuka bahwa sinema itu sangat luas dan masing-masing negara punya bahasa dan identitasnya sendiri, dan saya adalah satu bagian kecil di antara mereka. Ini justru jadi metode belajar bagi saya.
Pengalaman menarik selama di Cannes? Bertemu dengan sineas favorit?
Sejak kuliah saya selalu menganggap Cannes sebagai festival nomor satu. Banyak sekali maestro atau sutradara besar yang film-filmnya jadi materi pembelajaran selama kuliah dan saat di Cannes saya bertemu dengan mereka. Di red carpet saya melihat Jim Jarmush, Pedro Almodovar, Olivier Assayas, Brillante Mendoza, yang semua filmnya saya tonton dan pelajari. Kemarin saya juga berkesempatan melihat premier filmnya. Itu sesuatu yang sangat berharga.
Di mata Anda apa yang membuat Cannes begitu bergengsi?
Pertama, Cannes adalah festival film tertua. Kedua, banyak sekali sutradara-sutradara besar dan maestro dunia film yang filmnya diputar di sana. Jean-Luc Godard, Robert Bresson, Andrei Tarkovsky, Terrence Malick, dan saya sangat mengagumi film-film mereka. Mereka mengangkat sisi kehidupan yang jarang diangkat, banyak bentuk dan style sinema yang terus diperbarui di situ. Tak mesti memakai struktur tiga babak seperti di Hollywood, mereka memiliki bahasa-bahasa baru demi perkembangan sinema itu sendiri.
Perbandingan dengan festival film lain yang sudah Anda ikuti semisal Berlin International Film Festival?
Berlin International Film Festival adalah salah satu festival film terbaik di dunia setelah Cannes. Di Cannes rasanya satu kota merayakan festival itu semua. Baik tukang roti, chef restoran, hingga penjual tiket bus, semua merayakannya dengan misal memasang poster Cannes di mana-mana. Mulai dari mengantre nonton film hingga membawa papan bertuliskan “ask for invitation” untuk menjaring dermawan yang mau membelikan tiketnya. Apresiasi film di Cannes sangat besar karena seulruh kota merayakan dan orang-orang dari seluruh penjuru dunia datang ke situ.
Di Berlin apresiasinya juga sangat besar tetapi animonya tidak sebesar di Cannes. Di Berlin semua memang merayakan tapi bioskopnya cenderung terpisah-pisah dan perlu naik kereta untuk mengakses itu. Sedangkan di Cannes seluruh bioskopnyaa ada di sepanjang pantai Cannes saja sehingga lebih mudah mengaksesnya.
Beberapa tahun belakangan film Indonesia harus diapresiasi di luar negeri dahulu baru bisa main di dalam negeri, misal Lovely Man atau yang terbaru Siti?
Saya memaklumi kondisi itu. Masyarakat Indonesia tidak memiliki riwayat film sebesar dan setua di Eropa yang sudah membuat film sejak 1895 di mana Lumierre Brothers dari Prancis membuat film pertama kali di sana. Satu-satunya akses tentang film yang kita tahu adalah dari bioskop, televisi, dan Youtube. Pengetahuan orang tentang Cannes maupun Berlin tak sebanyak itu.
Jika ada film kita yang diputar setelah diapresiasi di luar ya berarti itu bagus. Jika ada film kita yang tidak masuk festival, mungkin ada kendala soal distribusi di Indonesia. Jika ingin diputar di bioskop tentu saja kita harus promosi kan. Pasang iklan, banner, iklan di tv mungkin. Tapi jika filmnya film independen dengan bujet yang tidak besar untuk publikasi.
Di Indonesia sendiri kondisi festival filmnya seperti apa? Apa sudah memenuhi fungsi eksibisi, apresiasi, maupun distribusi?
Mungkin yang belum terjadi dengan baik di festival film di Indonesia adalah proses jual beli film itu sendiri. Di Cannes ada Cannes Film Market begitu juga ada European Film Market, dimana produser dan pembeli/distributor film bisa bertemu dan mendiskusikan bisnis distribusinya. Tetapi di Indonesia hanya penayangan film dan proses Q and A, dan sudah berakhir. Proses marketnya tak ada tempat khusus, melainkan hanya di tempat-tempat sendiri hasil dari janjian produser dengan pembeli.
Festival film kita juga tak sebanyak di Eropa. Kita mulai banyak tapi untuk film pendek. Namun untuk film-film panjang dimana film dari luar termasuk Asia bisa masuk tak sebanyak di Eropa.
Lalu apa yang bisa kita pelajari dari Cannes?
Yang bisa kita pelajari dari Cannes adalah bentuk kerja sama dengan negara. Artinya festival sebesar itu tak akan mungkin terselenggara tanpa kerjasama dengan berbagai pihak. Di samping sponsor pemerintah Prancis juga memberikan support yang sangat besar. Di Busan atau di Berlin pasti ada peran itu.
Kita dulu pernah punya JiFFest atau Jakarta International Film Festival tapi sempat vakum. Menurut saya kita perlu yang semacam itu sebab kita tak bisa jalan sendiri. Perlu mempertahankannya, tapi mempertahankannya itu yang berat. Saya melihat di Cannes dan di Berlin bisa bertahan hingga 69 tahun ya karena berbagai pihak yang mendukung dan peran negara juga besar.
Bagaimana dengan fenomena pembubaran paksa di festival film atau sekedar pemutaran film baik pendek maupun dokumenter di Indonesia?
Ya itu lah wajah masyarakat Indonesia sekarang. Memang butuh yang lama untuk memberikan literasi sinema pada masyarakat. Lagi-lagi soal kita tak punya sejarah literasi sinema yang panjang seperti di Eropa. Sebuah isu yang singkat saja bisa menyulut terjadinya pembubaran. Jika Indonesia tidak bisa menerima film-film seperti itu, ya sudah targetnya ke luar.
Begini, saya lebih baik tidak menyia-nyiakan energi saya untuk memaksakan masyarakat Indonesia untuk menonton film-film saya atau film-film yang menurut mereka tidak sesuai dengan budaya mereka. Saya tak akan memaksa karena akan capek dan energi saya akan habis. Ya lebih baik saya menemukan penonton saya sendiri, di Cannes, di Eropa, dan di luar negeri di mana mereka lebih apresiatif dan sumbangsih yang lebih besar kepada saya.
Jadi prosesnya masih sangat lama agar Indonesia memiliki festival film sebesar Cannes?
Ya nggak tau sampai harus berapa lama agar sadar dan memiliki kedewasaan dalam menonton sinema, dan saya pun tak akan mengubah sikap mereka karena mesti melibatkan banyak pihak. Dan itu tak akan menghentikan saya untuk buat film karena saya punya penonton saya sendiri.
Tak ada kompromi? Bagaimana dengan nasib film Anda setelah ini dengan kondisi yang demikian?
Tentunya ada karena ke depan film saya juga tak mesti berangkat dari hal yang masyarakat kita tak biasa menerima. Ini kan soal masyarakat kita terbiasa nonton yang ini, bukan yang itu. Ibaratnya lebih sering minum kopi pakai gula atau yang pahit. Karena perbedaan itu aja sehingga jika dihadapkan pada yang lain “wah ini gak bener!”.
Prinsip saya dalam berkarya adalah bahwa saya punya sesuatu yang penting untuk disampaikan, akan saya sampaikan, dan penonton akan menemukan jalannya sendiri.
Sebuah film independen yang tak mengharapkan kembalinya modal dari penonton itu masih bisa dikompromikan terkait konten. Kalau saya merasa film saya tak menarik banyak penonton ya akan saya buat dengan biaya produksi tak terlalu besar dan tertutup oleh biaya funding.
Yang jelas jangan sampai realisasi ide terhambat oleh pertimbangan jumlah penonton. Saya tak pernah memikirkan itu. Penonton pasti selalu ada. Di mana pun berada.
Adakah perbedaan antara membuat film di Jakarta dan Yogya?
Saya dari kecil sampai tumbuh besar itu di Yogya sampai SMA dan kuliah di Jakarta. Sampai kerja juga jadi sudah selama enam tahun kira-kira. Hal paling mendasar yang adalah visi dan kesamaan taste dari krunya. Di Yogya krunya rata-rata teman-teman masa kecil saya. Kita nonton pameran seni bareng, nonton film bareng mereka, jalan-jalan ke pantai juga, sehingga sudah tak ada banyak perdebatan soal cerita maupun arahan estetik.
Hal-hal seperti itu yang tak saya temukan di Jakarta dimana waktu berjalan serba cepat, perpindahan dari satu lokasi ke yang lain juga perlu berjam-jam karena macet, sehingga lebih banyak komprominya dan urus perizinannya. Betapa saya harus mengeluarkan banyak energi untuk menerangkan pada para kru visi filmnya.
Ada perbedaan gaya penyutradaraan?
Ya. Di Jakarta semuanya harus saya persiapan bahasa Jawanya saklek, kurang bisa berimprovisasi, short-list bikinan saya maupun dari storyboard yang ada kita harus menaatinya agar tak molor. Berbeda dengan di Yogya yaitu dengan terbukanya ruang improvisasi saat syuting. Saya bisa hanya berbekal skenario dan tinggal mengarahkan dengan enak karena waktunya juga luang.
Dari karya-karya yang sudah dibuat, Anda merasa ada benang merah atas ide?
Dari kelima film saya, saya selalu mengangkat tokoh atau karakter yang kehilangan makna hidupnya atau makna eksistensialnya. Lebih kepada karakter yang dia merasa tak punya peran dalam kehidupan. Seperti di film Lemantun ada seorang Pakde yang merasa jadi yang terlemah diantara saudara-saudaranya yang lain. Di film Prenjak ada seorang ibu yang tak tahu bagaimana menjaga keberlangsungan hidup anaknya. Tentang orang-orang yang merasa dirinya lemah dan tak berguna.
Saya tertarik dengan kondisi tersebut karena berhubungan dengan saya. Waktu SMP saya selalu merasa tak punya bakat apapun. Saya paham bahwa kondisi seperti itu terasa tak enak, seakan tak ada aku pun dunia tetap berjalan. Itu rasanya sakit dan kesepian. Saya ingin mengangkat cerita orang-orang yang seperti itu karena bersama-sama kami.
Dunia di film-film Anda kebanyakan memadukan antara kehidupan tradisional dan modern. Ide seperti ini mudah ditemukan di Jogja, tapi bagaimana di Jakarta?
Di Jakarta yang sering muncul lebih emosional. Tiap hari saya harus berhadapan dengan macet dan deadline. Akhirnya lebih banyak soal luapan emosi yang tertuang di film. Jakarta kota yang sangat urban dimana ada percampuran hampir semua suku dan budaya. Film saya di Jakarta lebih ke psikologisnya. Misal tentang seseorang yang tinggal di Jakarta dan selalu bertahan di tengah kondisi yang rumit, pedih, dan berat.
Film pendek yang berhasil yang seperti apa?
Semua film pendek menurut saya berhasil. Tak ada yang buruk atau jelek. Persoalannya hanya soal selera. Jika kamu bisa membuat film, ya itu keberhasilan untukmu.
Sejarah Studio Batu seperti apa?
Kami semua (anggota Studio Batu) rata-rata teman satu SMA di De Brito dan kami merasa ada kesamaan selera atau taste soal dunia seni. Kita mendatangi satu pameran ke pameran lain bersama-sama, pembacaan puisinya Joko Pinurbo, atau pementasan teater garasi. Dan kita bukan berangkat dari latar belakang film saja, tapi juga ada seni rupa, sastra, musik, ada sosiologi, ada antropologi, dan ini yang membuat kami utuh.
Jadi saat membuat studio batu di tahun 2012 kita tidak hanya fokus di film. Saat teman kami ada yang mengadakan pameran ya kita support pamerannya. Jika ada yang sedang pentas musik ya kita support juga. Juga pembacaan karya sastra juga.
Bagaimana proses kreatif di Studio Batu?
Lebih ke pengalaman-pengalaman yang pernah kita alami dan rasakan. Cenderung dari yang dekat-dekat. Misal makan di angkringan sambil mengamati fenomena di sekitar, atau sambil ngopi. Kita sering berbincang tentang teman-teman kita, keluarga kita, saudara kita, ide itu mucul dengan sendirinya. Berbeda saat kita sengaja ingin mencari ide. Justru muncul saat ngobrol bebas.
Apa perbedaan bekerja di Studio Batu dan rumah produksi yang lain?
Kita baru memulainya di Studio Batu dan belum ada sistem yang tertata. Kita belum punya target per bulan misal. Masing-masing orang di Studio Batu memiliki pekerjaan lain di luar studio batu. Studio Batu seperti rumah tempat kami pulang untuk berkarya.
Saya bekerja di Jakarta, namun tiga film saya: Lembusura, The Floating Chopin, dan Prenjak saya buat bersama Studio Batu dan tiga-tiganya ke festival film internasional. Ini temat saya bisa berkreasi dengan bebas dan akan saya jaga tempat ini.
Siapa yang memberi nama studio batu?
Teman saya, namanya Wulang Sunu, karena kita menganggap batu sebagai sesuatu yang kuat dan solid dan kami menilai batu ini sebagai tempat kami berpijak menuju langkah yang lebih tinggi. Ini nama yang baik.
Siapa sineas favorit sekaligus karya yang Anda kagumi?
Ada dua, dan dua-duanya sudah almarhum. Yang pertama almarhum Teguh Karya. Film yang paling saya suka dari beliau adalah Secangkir Kopi Pahit. Kedua almarhum Asrul Sani Apa Jang Kau Tjari, Palupi?. Kalau dari luar Indonesia ada Naomi Kawase dari Jepang dengan filmnya Still in The Water. Kedua, dari segi form dan style ada Lars von Trier dari Denmark. Karena dari segi eksplorasinya yang sangat besar.
Bagaimana kira-kira perkembangan film pendek di Indonesia ke depan?
Akan semakin banyak diproduksi. Teknologi untuk produksinya kan semakin efisien, setiap orang sekarang bisa membuat gambar yang bagus dengan kamera yang tidak terlalu besar. Teknologi ke depan akan semakin memudahkan apalagi platform-platform online akan memudahkan orang mengunggah karyanya. Festival film juga akan semakin banyak. Akan lebih banyak ketimbang produksi film panjang.
Rencana Anda ke depan sendiri seperti apa?
Saya akan menulis film panjang pertama saya. Tapi saya tak ingin terburu-buru dalam menulis. Saya harus memantapkan ini dari hati saya, tidak ada keraguan lagi, dan perlu banyak waktu untuk saya menulis dengan tergesa-gesa.
Sudah ada ide?
Belum ada. Semenjak pulang dari Cannes belum ada waktu untuk merenung dan istirahat untuk beberapa waktu yang lama. Saya butuh itu untuk merefresh pikiran dan menata kembali rencana-rencana ke depan.
Pesan untuk pembuat film pendek muda lain di Indonesia?
Berkarya lah dengan tulus. Tidak perlu ada beban. Tidak perlu ada target. Apa yang ingin kamu buat, apa yang kamu sampaikan, ya bikin aja. Tidak ada seseorang pun yang bsia menghakimi bahwa filmmu jelek atau filmmu bagus.
Filmmu adalah kamu.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Akhmad Muawal Hasan