Menuju konten utama

Sarung Ma'Ruf Amin dan Tren Berbusana Karena Para Politikus

Sejumlah politikus dan pemimpin negara sanggup mempengaruhi tren fesyen dunia.

Sarung Ma'Ruf Amin dan Tren Berbusana Karena Para Politikus
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan Ma'ruf Amin melambaikan tangan seusai mendaftarkan diri di gedung KPU, Jumat (10/8/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Ada satu hal penting yang diutarakan Ma’ruf Amin kepada Jokowi setelah mendengar ajakan untuk jadi wakil presiden, “Apakah saya masih bisa memakai sarung?” kata Amin, yang sempat menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia dan Ketua Dewan Penasehat Nahdlatul Ulama (NU). Ia khawatir bila harus melepas benda yang mewakili identitasnya sebagai bagian dari NU.

Gus Dur sempat bilang bahwa anggota NU disebut ‘kaum sarungan’ lantaran para pelopornya selalu mengenakan sarung. Sebut saja KH Wahab Hasbullah, pendiri NU, yang katanya tak pernah tampil tanpa sarung saat menghadiri berbagai acara resmi.

“Kiai Wahab selalu tampil dalam sarung, peci, dan kadang serban. Ketika diajak Bung Karno ke luar negeri seperti ke Eropa dan Amerika Serikat, ia tetap mengenakan dua benda itu,” kata Said Aqil Siraj.

Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Agus Sunyoto menyatakan alasan para santri memilih sarung sebagai busana sehari-hari bertujuan untuk membedakan diri dari gaya berpakaian orang Belanda. Pada masa itu, sarung juga dimaknai sebagai medium perlawanan terhadap pendudukan barat.

Amin, sang intelektual Muslim yang sudah bergabung dalam institusi garapan NU sejak remaja, hendak mempertahankan citra tersebut. Lewat sarung, ia mau menegaskan latar belakang sebagai santri. Dengan berdiri sarungan di panggung debat calon presiden dan wakil presiden, ia menyiratkan kepada Relawan Sarung -- kumpulan kiai NU pendukung Jokowi - Ma’ruf -- juga pada masyarakat awam bahwa santri mampu punya peran di luar institusi keagamaan.

“Santri bisa menjadi pengusaha, pejabat, bupati, wakil bupati, gubernur dan wakil gubernur. Bahkan bisa jadi presiden. Bahkan bisa jadi seorang calon wakil presiden,” tutur Amin.

Meski telah jadi barang nyaris wajib punya bagi umat Islam Indonesia dan salah satu komoditas ekspor, cakupan penggunaan sarung sebenarnya belum sebesar peci. Ada yang berharap agar sarung jadi benda populer yang bisa digunakan berbagai macam orang dalam berbagai situasi. Harapan ini diungkap Ali Charisma, perancang mode dan ketua Asosiasi Pengusaha Perancang Mode Indonesia.

Ali sempat bekerjasama dengan Dinia Midiani dalam merancang kampanye "Sarung is My New Denim". Lewat kampanye itu, mereka menyerukan bahwa sarung bisa menjadi benda yang fashionable dan bisa dipakai dalam berbagai acara resmi, termasuk acara kenegaraan. Kampanye itu juga mendorong agar sarung tidak hanya dipakai oleh kaum santri, tapi juga non santri. Harapan ini makin menyala ketika Jokowi beberapa kali mengenakan sarung di sejumlah acara.

“Mudah-mudahan dengan Pak Jokowi pakai sarung itu bisa menjadi contoh bahwa sarung pantas untuk dipakai ke acara resmi kenegaraan. Berarti, kenapa kita tidak ikut memopulerkan sarung?” kata Dina.

Pemimpin Negara, Influencer Fesyen

Memang tak keliru bila seseorang mengharapkan benda fesyen bisa populer setelah dikenakan para politikus. Dua tahun lalu, Jokowi pernah membuat bomber jacket lansiran Zara jadi barang laris setelah ia menggunakan benda tersebut pada acara rapat terbatas terkait aksi massa 4 November. Keesokan harinya, 'Jaket Bomber Jokowi’ telah jadi istilah yang digunakan para pedagang busana daring maupun non-daring untuk menjajakan barang dagangan berupa jaket hijau tua dengan model serupa. Beberapa pedagang mengaku produk tersebut pun termasuk barang laris setelah dikenakan Jokowi.

Jauh sebelum maraknya penggunaan media sosial serta munculnya fashion influencer, para pejabat negara punya peran yang cukup signifikan dalam menentukan popularitas barang fesyen.

Di Afrika Selatan pernah ada istilah Madiba Shirt, julukan bagi kemeja batik lengan panjang milik Nelson Mandela. Pada masa kepimpinannya, tokoh gerakan anti apartheid ini tidak ingin tampil seperti pejabat negara lain yang terbiasa mengenakan setelan jas. “Sebagian besar orang Afrika Selatan tidak terbiasa mengenakan jas. Oleh karena itu Mandela ingin mengenakan sesuatu yang sekiranya tidak terlalu asing di mata masyarakat. Ia yang punya ketertarikan pada fesyen itu ingin memakai kemeja yang nampak berkarakter,” kata Yusuf Surtee, penjahit langganan Mandela, kepada GQ.

Mandela meminta Surtee mendesain baju serupa kemeja batik yang sempat diberikan padanya ketika berkunjung ke Indonesia pada 1990. Kata Surtee, Mandela langsung terpana dengan motif batik tersebut. Selain Surtee, desainer Desre Buirski juga membuatkan beberapa model kemeja batik untuk Mandela. Setelah rancangannya dikenakan Mandela, nama Buirski dan Madiba Shirt jadi populer di Afrika Selatan. Ia membuka beberapa toko di Afrika Selatan dan mengekspor Madiba Shirt ke berbagai negara.

Kisah serupa sempat terjadi dengan Nehru Jacket, busana yang senantiasa dikenakan Jawaharlal Nehru, tokoh kemerdekaan India. Busana tersebut terinspirasi dari achkan, baju tradisional India serupa jaket dengan panjang di bawah pinggul. Istilah Nehru Jacket jadi populer setelah majalah Vogue menampilkan potret Nehru pada 1964. Setelah itu, beberapa pesohor semisal The Beatles sempat menggunakan busana Nehru Jacket ketika konser di New York. Wall Street Journal juga melaporkan baju atasan tersebut tampil dalam film Austin Powers. Presiden Bill Clinton pun mengenakan busana tersebut ketika berkunjung ke India pada 2001.

Jaket ini pun turut menarik perhatian sejumlah desainer busana. Pemilik label mode Ermenegildo Zegna sempat mengeluarkan koleksi yang terinspirasi dari Nehru Jacket. Busana tersebut sempat digunakan CEO Amazon Jeff Bezos saat berkunjung ke India pada 2014. Di samping itu, ada pula beberapa label fesyen lokal India yang mempopulerkan kembali Nehru Jacket.

Popularitas Nehru Jacket bertambah setelah Time menobatkan benda tersebut dalam daftar Top 10 Political Fashion Statements.

Assistant Professor of Fashion, Ryerson University; Henry Navarro Delgado, menyatakan political dressing -- seperti yang dipraktekkan Ma’ruf, Jokowi, Mandela, dan Nehru-- bisa dimaknai sebagai sebuah upaya individu atau kelompok untuk menarik perhatian masyarakat terhadap isu sosial tertentu. Dalam kasus Ma’ruf misalnya, ia mengenakan sarung yang dimaknai untuk menunjukkan identitasnya sebagai santri.

Infografik Politikus trend setter

Infografik Politikus trend setter

Kini Delgado melihat fenomena political fashion turut membentuk tren fesyen. Dalam “Fashions Potential to Influence Politics and Culture”, Delgado memberi contoh koleksi label busana Dior yang serupa dengan busana Black Panther, ormas sayap kiri asal AS yang muncul pada 1960an.

Contoh lain ialah munculnya slogan-slogan aktivisme yang tertera pada kaus rancangan para desainer yang mengikuti ajang pekan mode.

Bila ditarik lebih jauh, besarnya pengaruh pemimpin negara terhadap fesyen telah terjadi sejak masa kepemimpinan Louis XIV di Prancis. Sejarawan fesyen Kimberly Chrisman Campbell menyatakan bahwa Louis terobsesi menjadikan Prancis sebagai negara adidaya, termasuk dari sisi fesyen. Sebelum Louis naik jabatan, predikat ibukota fesyen dipegang oleh Spanyol. Ketika Louis naik tahta, ia membuat kebijakan yang menggenjot industri fesyen Paris diantaranya dengan menghimbau para wanita untuk membuka usaha tekstik, menjahit, dan menjual karyanya.

“Louis menciptakan sistem dress code untuk masyarakat Prancis dan ia pun meminta para pekerja tekstil untuk membuat busana yang kaya ornamen, warna, serta volume. Hal itu berkebalikan dengan karakter desain Spanyol. Louis pun konsisten dalam mengubah tema dress code. Ini membuat orang-orang Prancis pada masa itu terbilang sering berganti gaya,” tulis Campbell dalam The Atlantic.

Louis punya karakter gaya tersendiri. Ia suka mengenakan sepatu hak merah ketika bertandang ke berbagai acara formal. Kelak sepatu hak merah itu turut jadi simbol kalangan elite Prancis.

Baca juga artikel terkait FESYEN atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono