Menuju konten utama

Merdi Sihombing: Merajut Wastra, Merangkul Manusia, Merawat Bumi

Desainer Merdi Sihombing berbagi cerita tentang perjuangan dan kiprahnya untuk fesyen berkelanjutan sembari mendorong pemberdayaan perempuan.

Merdi Sihombing: Merajut Wastra, Merangkul Manusia, Merawat Bumi
Header diajeng Profil Desainer Merdi Sihombing. tirto.id/Quita

tirto.id - Lincah, penuh semangat, dan bergairah.

Jika ada sederet karakter yang dapat merangkum sosok Merdi Sihombing, mungkin itulah yang paling mendekati.

Energi positif dan cara pandang Merdi yang optimis terhadap dunia pun dapat menular dengan cepat pada siapapun yang berada di sekitarnya.

Desainer fesyen dan tekstil adat ini tengah bersukacita merayakan 25 tahun perjalanan kariernya melalui pameran bertajuk The Flying Cloth yang berlangsung sejak 11 sampai 24 November lalu di Museum Nasional Indonesia, Jakarta.

Selain menampilkan instalasi koleksi wastranya yang memukau, pameran juga dimeriahkan dengan fashion showcase, sesi workshop, penampilan musik tradisional gondang, pemutaran film fesyen, dan berbagai seminar serta diskusi kreatif.

Pekerja kreatif yang lekat dengan kreasi tenun khas Batak Ulos berprinsip eco-fashion ini sudah memukau dunia melalui sederet pagelaran bergengsi, di antaranya Eco Fashion Week Australia, Independent London Fashion Week Designer's Association (ILFWDA), TRESemme Bangladesh Fashion Wee, New York Fashion Week, dan Indigenous Fashion Arts Festival Toronto.

Karya-karya Merdi pernah pula ditampilkan di Berlin dan Belgia. Baru saja, tanggal 22 November lalu, Merdi menampilkan pagelaran yang berkolaborasi dengan desainer Filipino, Renee Talud, di Manila.

Mengenal Sosok Merdi Muda

Merdi yang lahir dan tumbuh remaja di Kota Medan sudah memupuk minat di dunia kreatif sedari kecil. Kegemarannya bernyanyi, menari, bermain teater, melukis, sampai olahraga.

Selain pernah tampil sebagai penyanyi cilik di TVRI, Merdi remaja juga memenangkan Bintang Radio, ajang pencarian bakat menyanyi dari RRI.

“Saya mau jadi orang terkenal,” tekad Merdi sedari kecil.

Setamat SMA, kala usianya masih 16 tahun, Merdi memutuskan bertolak ke gemerlap kota besar Jakarta.

Tanpa keluarga maupun seorang pun kenalan di sana, Merdi mantap menumpang kapal barang menuju Tanjung Priok hanya bermodalkan uang Rp75.000 di saku hasil dari menang lomba menyanyi.

Di Jakarta, Merdi sempat berkuliah Sastra Jepang di Universitas Indonesia. Namun, menyadari kebutuhan perkuliahan yang tidak murah, Merdi merasa perlu untuk menimbang alternatif lain.

“Saya nggak punya duit. Orang tua saya susah. Jadi saya harus realistis,” terangnya.

Merdi memutuskan untuk bekerja. Sesuai minat dan bakatnya, ia menyanyi di kafe dan membawakan lagu-lagu jazz di berbagai klub musik.

Seiring itu, Merdi memiliki prinsip untuk selektif dalam bergaul. Lingkaran pertemanannya perlahan meluas ke jaringan yang berdedikasi di dunia seni dan fesyen.

Tanpa disengaja, dirinya dipertemukan dengan adik dari desainer kenamaan Chossy Latu. Dari situlah, Merdi mendapatkan tawaran untuk menjadi asisten Chossy.

Setelah sekian waktu bekerja dengan Chossy, Merdi mulai mempertimbangkan untuk lebih serius dalam menekuni fesyen.

“Akhirnya saya memutuskan untuk sekolah di Bunka School of Fashion,” jelas Merdi.

Tanpa Merdi sangka, dukungan untuk pendidikannya kala itu datang dari salah satu kawan baiknya, Tantyo Adji, putra Wakil Presiden RI Soedharmono (1988-93).

Sembari bersekolah, Merdi aktif berpartisipasi di kompetisi menyanyi. Di berbagai kesempatan itulah, ia berjumpa dan berkenalan di antaranya dengan Titi DJ, Ruth Sahanaya, Yuni Shara—figur penyanyi besar yang kala itu masih merintis kariernya.

“Mereka jadi tahu kalau saya mendesain baju dan minta dibuatkan baju. Ya itulah yang membuat jalan saya cenderung lebih mulus untuk bisa take off sebagai desainer. Kami memulai pertemanan saat kami sama-sama mengawali karier bersama,” kenang Merdi.

Jalan Terang Menuju Dunia Fesyen

Seiring waktu berlalu, Merdi ingin mencoba tantangan baru.

“Bukan hanya mendesain pakaian untuk klien, saya juga mau jadi pembicara, saya ingin disponsori untuk ke pergi luar negeri,” pikir Merdi.

Merdi lantas memantapkan diri untuk bersekolah lagi di jurusan seni kriya tekstil di Institut Kesenian Jakarta. Ia ingin menyelami bahan-bahan atau serat alami yang dapat diolah menjadi tekstil.

Bermula dari situ jugalah Merdi mulai mengeksplorasi berbagai komunitas masyarakat untuk mengenali budaya wastra di daerah masing-masing.

Awal 2000-an, Merdi bergabung dengan rombongan mahasiswa untuk berkarya melalui program pimpinan fotografer senior Don Hasman, pemerhati kebudayaan suku Baduy di Banten.

Sayangnya, Puun, pemimpin tertinggi suku Baduy, merasa keberatan apabila Merdi dan kawan-kawannya mempertunjukkan karya-karya mereka kepada publik.

Kurang lebih empat tahun lamanya Merdi berusaha menjaga komunikasi dengan komunitas Baduy, sampai akhirnya mendapatkan kepercayaan dan izin dari mereka.

Pada 6 Juni 2006, Merdi sukses menyelenggarakan annual show pertamanya dengan menampilkan hasil kreasi yang terinspirasi wastra Baduy sekaligus memperkenalkan pengrajin Baduy berikut film fesyen tentang mereka.

“Sah sudah saya menjadi desainer,” kenangnya lega, meski ia mengakui betapa sulit mencari sponsor kala itu karena masih kuatnya pandangan remeh tentang budaya wastra daerah.

Meski diawali dengan penuh tantangan, dalam perjalanan kreatifnya kelak, Merdi berhasil bertualang ke berbagai penjuru Nusantara, sebut di antaranya Mentawai, Banyuwangi, Lombok, Alor, Rote Ndao, sampai Wamena, untuk menjunjung wastra warisan para leluhur.

Di sana, Merdi tidak sekadar mempelajari motif dan bahan-bahan tekstil alami, melainkan turut membersamai komunitas pengrajin dan penganyam, terutama kalangan perempuan, untuk mengolah dan mengembangkan produk alam setempat demi meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka.

The Flying Cloth

Penampilan koleksi busana tradisional kebaya dalam pameran The Flying Cloth pada 15 November 2024. FOTO/The Flying Cloth

Semangat Keberlanjutan dan Cinta Lingkungan

Sebagai desainer tekstil yang mendukung pelestarian lingkungan, Merdi berkomitmen untuk terus mengeksplorasi bahan-bahan alami dalam pengolahan tekstil.

Mardi menyaksikan sendiri bagaimana dampak negatif tekstil berbahan kimia mencemari aliran air karena dibuang ke selokan.

Kejadian itu ditemuinya pada 2008 silam di empat kabupaten di Sumatra Utara, yaitu Toba, Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan.

Mardi kemudian berkolaborasi dengan produsen serat tencel, Lenzing, untuk merevitalisasi kain tradisional Batak, Ulos, agar menjadi lebih ramah lingkungan.

Merdi pun semakin fokus pada pemanfaatan benang kapas, sutra, dan pewarna alami dari tanaman endemik.

Ketika bicara tentang sustainable fashion atau fesyen berkelanjutan, Merdi mengingatkan bahwa kita tidak perlu melulu bergantung pada bahan-bahan yang terlihat canggih, baru, mahal, atau diimpor.

Sampah sisa dapur rumah tangga, sesederhana kunyit atau kulit bawang merah, juga dapat dimanfaatkan sebagai pewarnaan alami untuk kain.

Merdi melanjutkan, “Di dalam sustainable fashion, ada yang namanya circular fashion. Semua kembali ke bumi. Dan itu jugalah bagian dari circular economy, ketika semua akhirnya akan menjadi penambahan nilai ekonomi.”

Sustainable fashion bukan sekadar kain, apalagi terbatas pada kain tenun.

Merdi tegaskan, bahan baku benang-benang tenun kebanyakan didatangkan ke Indonesia oleh kapal-kapal kontainer berbahan bakar fosil yang menyumbang karbon tinggi.

Simangulampe Merdi Sihombing x Humbang Kriya

Pagelaran “Simangulampe” Merdi Sihombing x Humbang Kriya, hasil kerja sama sang desainer dengan UMKM binaan Rumah Kreatif Sinar Mas, Humbang Kriya. FOTO/The Flying Cloth

Menurut Merdi, sudah waktunya kita mulai beralih pada budidaya tanaman serat di dalam negeri, tidak masalah apabila dimulai dari skala kecil dahulu.

“Karena kita kaya. Serat-serat alam kita banyak, ada rami, kenaf, nanas, bambu, wool, kapas juga.”

Maka dari itu, Merdi sangat bersemangat ketika tahun 2022 United Nations Development Programme (UNDP) dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) memberitahunya tentang proyek rebranding purun, tanaman rumput sejenis dengan daun pandan yang tumbuh liar di dekat air rawa atau gambut.

Ide rebranding yang Merdi ajukan berhasil meraih kemenangan. Temanya berkaitan dengan rantai pasok.

“Kami prihatin melihat lahan gambut yang sudah dialihfungsikan jadi kelapa sawit. Muncul problem lingkungan dan sosial,” ujar Merdi, yang oleh teman-temannya kerap dijuluki “desainer NGO” karena semangat pemberdayaannya.

Berangkatlah Merdi ke Pedamaran, Ogan Komering Ilir di Sumatera Selatan.

Di sana, Merdi bekerja sama dengan perempuan-perempuan penganyam purun, para Srikandi tulang punggung ekonomi keluarga, agar semakin berdaya dan sejahtera dengan memanfaatkan lahan gambut sebagai peluang ekonomi.

Produk-produk anyaman ini di antaranya diolah menjadi tas dan koper, yang lantas dibawa terbang untuk pameran di Oslo, Norwegia oleh UNDP dan BRGM.

Seiring itu, Merdi dan tim mengupayakan langkah-langkah konservasi pada sekian hektar lahan, dilanjutkan dengan mendirikan rumah-rumah dengan bahan utama purun sampai membangun instalasi air bersih.

“Selain mem-branding atau membawa produk-produk mereka ke pentas-pentas lebih besar di dunia luar, harus ada yang kita tinggalkan untuk mereka di sini,” tegas Merdi.

“Saya tidak pernah setuju dengan kunjungan ke daerah untuk sekadar membuat pelatihan yang kemudian kita tinggalkan. Prinsip saya, give and take. Saya berikan apa yang dapat menjadi bekal buat mereka. Supaya ada jejak: jejak pemerintah, jejak pemberi dana, dan terutama jejak seorang Merdi.”

Tak berhenti di situ, Merdi mendokumentasikan proyeknya bersama perempuan penganyam purun melalui film dokumenter fesyen berjudul Purun (2024).

Film yang disutradarai Ignatius Raditya Bhramanta tersebut berhasil mendapatkan penghargaan dari PayPal Melbourne Fashion Festival-Fashion Film Awards di Australia pada Februari lalu.

Dari Lingkungan, Etika, hingga Keterbukaan

Konsumsi energi yang tinggi dalam perhelatan fashion show kerap pula mengiris hati Merdi.

“Acara-acara ini menggunakan lampu sampai ribuan watt. Dapat dibayangkan bagaimana industri fesyen, dari produksi tekstil di hulu sampai showcase di hilir, sudah berkontribusi pada problem-problem terhadap kerusakan Bumi.”

Pada salah satu sesi di pameran The Flying Cloth, Merdi berupaya menyampaikan pesan tersebut dengan menampilkan hasil karya oleh seniman Glow in The Dark dan perempuan pembatik difabel.

Produk mereka dibawakan oleh para model di panggung catwalk tanpa menggunakan lampu sorot, menimbulkan kesan misterius, ciamik, dan etnik pada waktu bersamaan.

Terlebih dari itu, Merdi juga ingin menunjukkan spirit kolaborasi dalam industri fesyen.

“Pada saat show di panggung, kami tampilkan di depan perempuan pembatik disabilitas dan seniman Glow in The Dark. Kenapa? Karena selama ini kami jarang menemui transparansi dalam fesyen indonesia, cenderung ditutup-tutupi siapa saja resource-nya.”

The Flying Cloth

Pada peragaan perdana The Flying Cloth tanggal 15 November 2024, Merdi Sihombing memamerkan busana hasil seniman glow in the dark yang bekerja sama dengan perempuan pembatik difabel. FOTO/The Flying Cloth

Menurut Merdi, kita sudah memasuki era keterbukaan.

“Kita harus bicara etika dan traceability-nya. Bagaimana memperlakukan pengrajin?”

Merdi sering mendengar kasus-kasus desainer yang menerima pendanaan besar sekali, akan tetapi pengrajin-pengrajinnya dinomorduakan. “Kalau begitu, pengrajinnya miskin terus. Bagaimana kita mau bicara tentang sustainability fashion?”

Tentang Pencapaian dan Harapan

Klien-klien Merdi selama ini didominasi oleh keluarga Batak kelas atas dengan selera fesyen yang baik. Terkait itu, Merdi melihat peluang bisnis dalam tradisi perkawinan Batak yang bergengsi.

Sederhananya, perkawinan Batak adalah runway pribadi bagi Merdi.

Di serangkaian upacara pernikahan itulah, kedua mempelai, orang tuanya, sanak saudara mereka, mengenakan hasil kreasi “masterpiece” Merdi—hanya ada satu-satunya di dunia, dibuat dengan sepenuh hati, jujur, dan melibatkan banyak orang.

Terlebih dari itu, Merdi berbangga atas keberhasilannya memperkenalkan songket khas Batak dengan motif Ulos.

Pameran The Flying Cloth Merdi Sihombing

Pameran 'The Flying Cloth 25 Years Journey of Merdi Sihombing' resmi berakhir pada 24 November 2024, ditutup dengan fashion showcase yang memukau di hadapan pecinta fesyen di Museum Nasional Indonesia. FOTO/The Flying Cloth

Sebab, selama ini, masyarakat Batak lebih sering mengenakan songket Palembang untuk upacara-upacara. Melalui pagelaran The Flying Cloth inilah, Merdi juga merilis second line produk songket.

Selanjutnya, Merdi bercita-cita memperkenalkan Indonesian sustainability product yang ikonik khas Merdi.

“Apa kita tidak bisa seperti Gucci? Hermès? Mereka bahkan menjual produk hasil print atau cetak seharga puluhan juta. Terbuka semua, transparan,” tuturnya.

“Saya berencana membuat galeri di Danau Toba dengan resort collection yang bisa terjangkau bagi lebih banyak kalangan. Saya juga akan me-launching pusat tenun (weaving center) dan kafe,” ujar Merdi.

“Mimpi saya lainnya, punya museum di Danau Toba. Dimulai semua dari tempat asal leluhur saya.”

“Setelah itu, produk budaya dari Merdi mungkin akan berkelana ke Jakarta, Bali, Singapura—hopefully to many global fashion centers,” lanjutnya lagi.

Pesan Merdi untuk kawan-kawan desainer muda, “Jangan pernah minder dengan yang kita punya. Yang kita miliki di Tanah Air luar biasa banyak sekali, asalkan kita percaya diri.”

“Kalian harus berani tampil beda, persiapkan konsep yang berbeda-beda. Dan yang terpenting, berkaryalah dengan jujur,” pungkas Merdi.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Diajeng
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Dhita Koesno