tirto.id - Sekitar lima dekade silam, Benfica, klub asal Portugal, berjaya di Eropa. Bukti keperkasaan terpampang jelas manakala bala pasukan Aguias━julukan Benfica━berhasil mempertahankan rekor 100 persen kemenangan di Estadio da Luz, yang kemudian membuat mereka menjuarai kompetisi domestik sekaligus regional.
Pencapaian istimewa tersebut membawa tim asuhan Bela Guttmann ini tampil di babak pamungkas Piala Interkontinental edisi 1962. Lawan mereka adalah Santos dari Brasil. Prediksinya tentu sederhana: Benfica bakal dengan mudah mengalahkan Santos. Selain faktor kualitas tim, sejarah juga mencatat bahwa klub Eropa masih kelewat digdaya di hadapan klub Amerika Latin.
Dalam sepakbola, semua kemungkinan dapat terjadi━dan inilah yang muncul di pertandingan Benfica melawan Santos.
Tak dinyana, Benfica, yang datang dengan kepercayaan diri tinggi, justru dibantai oleh Santos dalam pertandingan berformat kandang-tandang. Di Maracana, Brasil, Benfica kalah 3-2. Sementara di Estadio da Luz, di hadapan 73 ribu pasang mata, Benfica dipermak habis-habisan oleh Santos dengan skor 2-5.
Pele, Coutinho, dan Pepe━trinitas maut Santos━membuktikan kepada dunia: sepakbola (memang) milik Brasil.
Bakat Besar
Os Santásticos, begitulah kesebelasan Santos era 1960-an diberi julukan. Pemberian sebutan tersebut tidak muncul begitu saja. Santos pada masa itu merupakan klub yang beringas.
Sepanjang warsa 1960-an, Santos menguasai kompetisi baik di tingkat lokal, nasional, regional, maupun internasional. Di tingkat lokal, misalnya, Santos delapan kali juara Campeonato Paulista. Naik satu tingkat, nasional, Santos sukses lima kali duduk di puncak klasemen Campeonato Brasileiro Série A. Sementara di level regional, Santos berhasil mengangkat trofi Piala Libertadores secara back-to-back pada 1962 dan 1963.
Membicarakan prestasi cemerlang Santos pada masa itu tak bisa dilepaskan dari sosok Pele. Pemain dengan nama lengkap Edson Arantes do Nascimento ini merupakan nyawa, simbol, sekaligus kunci dari setiap kemenangan maupun trofi yang direngkuh Santos.
Cerita tentang Pele dimulai pada 1956. Stephen Brandt dalam “The Glory Years of the Excellent Santos Team of the 1960s” yang terbit di Football Chronicle (2018) mengatakan, Pele datang ke Santos saat usianya masih 15 tahun. Potensinya sebagai pemain bola dicium oleh pemandu bakat Santos, Waldemar de Brito. Kepada jajaran direksi Waldemar mengatakan dengan sangat yakin: Pele akan jadi pesepakbola besar di dunia.
Dalam waktu singkat, sebagaimana diterangkan Alex Bellos dalam Futebol: The Brazilian Way of Life (2002), Pele langsung merebut tempat di tim utama. Ia mulai memancarkan sinarnya dengan rutin mencetak gol meski umurnya masih sangat hijau. Nama Pele kian melambung: ia dipanggil timnas Brasil dan klub-klub besar di Eropa, dari Real Madrid sampai Juventus, berlomba-lomba mendapatkan tanda tangannya.
Sadar bahwa Pele adalah talenta yang besar, pemerintah Brasil sampai turun tangan dengan mengeluarkan keputusan resmi yang menyebut Pele sebagai “warisan nasional”. Hal ini lantas membikin Pele tetap tinggal di Brasil. Klub-klub Eropa pun dipaksa gigit jari.
Keputusan Brasil nyatanya tepat. Pele menjelma menjadi bintang sepakbola Brasil. Pada 1958, Pele, total, mencetak 58 gol dalam satu musim. Gol-gol Pele turut mengantarkan Santos menjuarai Campeonato Paulista serta membawa Brasil meraih Piala Dunia di Swedia. Pele sendiri bahkan mencetak lima gol sepanjang turnamen.
Memasuki 1960-an, sentuhan magis Pele terus berlanjut. Performa apik Pele, mengutip “The MSN of the 1960s: The Story of Pele's ‘Santasticos’ Who Ruled the World” yang dimuat di laman Goal (2012), membantu Santos berada di puncak kekuasaan. Pada 1962, Santos menjadi satu-satunya tim yang berhasil mendominasi semua kompetisi selama satu musim berjalan dengan menggondol empat gelar juara sekaligus: Paulista, Serie A, Libertadores, dan Interkontinental.
Pencapaian itu membuat Pele dan Santos terkenal ke seantero dunia. Mereka dielu-elukan para pendukung serta rutin melangsungkan tur seperti halnya band rock. Arsip The Guardian mencatat, Santos pernah singgah ke Inggris guna melangsungkan pertandingan persahabatan dengan klub-klub macam Sheffield Wednesday, Fulham, sampai Stoke City.
Tak sekadar melancong ke Benua Biru saja, tim Santos juga menginjakan kaki mereka di Afrika. Di benua ini, Pele disambut bak dewa. Ketika mereka tiba di Nigeria pada 1969, situasinya lebih unik lagi: kehadiran Santos menghentikan sementara waktu kecamuk Perang Sipil. Gencatan senjata disepakati demi memberikan kesempatan semua pihak untuk menyaksikan pertandingan tim terbaik yang pernah ada.
Menjelang akhir 1960-an, prestasi Santos perlahan seret. Kendati Pele masih bertaji dan mencetak gol ke-1000, yang kemudian menjadi bahan perdebatan sampai sekarang, dominasi Santos nyatanya tak sekuat dulu. Dalam beberapa kesempatan, mereka kesulitan tampil prima di liga lokal dan kompetisi Libertadores. Performa para pemain kunci yang mengalami penurunan setapak demi setapak kian menegaskan bahwa masa keemasan Santos tengah menuju ke titik akhir.
Ironi Akademi Pemain Muda Santos
Pele memang jadi nyawa permainan Santos. Namun, yang perlu dicatat, Santos bukanlah klub one man show. Keganasan Pele di lapangan tak akan muncul jika tak didukung kehadiran pemain lainnya yang punya kemampuan yang sama-sama mumpuni.
Di bawah komando Luís Alonso Pérez (akrab dipanggil Lula), yang periode kepelatihannya dimulai dari 1954 sampai 1966, kekuatan Santos━di luar Pele━bertumpu pada pemain seperti Raul Donazar Calvet, Gylmar dos Santos Neves, Mauro Ramos de Oliveira, Zito, Mengálvio Pedro Figueiró, Antônio Wilson Vieira Honório, serta Pepe.
Para pemain ini bermain dalam formasi klasik 4-3-3 dengan mengedepankan pola serangan yang agresif. Di lini belakang, Gylmar, Calvet, dan Mauro menjadi pilar inti serta memastikan bahwa keseimbangan tetap terjaga. Sedangkan Pepe, Zito, Mengalvio, dan Coutinho, bahu-membahu membangun alur jogo bonito dari segala sisi.
Identitas sepakbola menyerang━sekaligus bermain indah━merupakan DNA yang melekat pada Santos. Konsep seperti itu sudah ditanamkan sejak proses pembinaan di akademi. Santos merupakan salah satu contoh klub di Brasil━dan dunia━yang bisa dikata berhasil menjadikan akademi pemain muda sebagai bahan bakar kesuksesan dalam jangka waktu lama. Beberapa pemain inti Santos di era kejayaan mereka seperti Zito, Pepe, Pele, sampai Coutinho adalah bakat-bakat yang dihasilkan dari akademi sendiri.
Andrew Flint dalam “The Santos FC Academy Way” yang dipublikasikan These Football Times (2015) menjelaskan bahwa Santos terkenal sebagai klub yang memberikan perhatian lebih pada talenta-talenta muda. Os Meninos de Vila (The Village Boys), demikian jurnalis bola menyebut pemain-pemain muda Santos, dibentuk lewat serangkaian proses yang panjang lagi berkesinambungan. Santos percaya, ketika anak-anak muda ini ditangani secara tepat, maka mereka bakal meledak pada waktunya.
Pola serta pemikiran semacam ini berlaku setidaknya sampai masa kepresidenan Marcelo Teixeira (2000-2009). Jurnalis bola asal Sao Paulo, Euan Marshall, mengatakan bahwa pada masa Teixeira, Santos cenderung menginvestasikan sumber dayanya untuk pengembangan pemain muda. Hasilnya kemudian lahir pemain-pemain berkualitas seperti Diego, Robinho, sampai Elano yang membawa Santos berprestasi di tingkat nasional.
Akan tetapi, pola tersebut berubah setelah Teixeira turun jabatan dan digantikan Luis Álvaro de Oliveira Ribeiro. Alih-alih menjaga talenta mudanya, kebijakan yang diambil Santos justru berkebalikan. Mereka cenderung ambil jalan instan dengan menjual para pemain mudanya ke klub-klub besar demi menjaga keseimbangan neraca keuangan.
“Ini semua jadi tentang mengekspor pemain muda,” ungkap Marshall. “Tapi, Santos tidak punya pilihan. Kemampuan untuk menjual para pemain muda seketika menjadi aset terbesar mereka.”
Zaman terus berubah, begitu pula dengan sepakbola dan arah kebijakan yang diambil tiap klub. Banyak klub sekarang yang memusatkan perhatian mereka pada keuntungan dan cara instan demi meraih kejayaan. Meski begitu, sejarah juga pernah membuktikan bahwa kejayaan dapat diperoleh dengan proses yang terus-menerus dilakukan. Santos, era dekade 1960-an, adalah contoh terbaik yang ada.
Editor: Nuran Wibisono