tirto.id - Jamak jika pesepakbola melakukan aksi teatrikal ketika dilanggar. Mereka melakukannya demi beragam misi: memprovokasi lawan, mendapatkan penalti, mengelabui wasit, atau sekadar memperlambat waktu. Fair play atau tidak, itu urusan nanti.
Jurgen Klinsmann pernah menipu wasit Edgardo Codesal pada final Piala Dunia 1990 yang menyebabkan Pedro Monzon mendapat kartu merah. Kala itu, dengan gerakan yang begitu dramatis seolah kakinya baru saja terkena sabetan parang, Klinsmann melompat dan berguling seraya meronta-ronta kesakitan. Aksi tersebut dikutuk dan dikenang dengan sebutan: Jurgen’s Disco Dive. Argentina harus menghabiskan setengah waktu di babak kedua dengan 10 pemain karena aksi itu.
Pada semifinal leg kedua Liga Champions 2010 antara Barcelona versus Inter Milan, Thiago Motta harus diusir wasit Frank de Bleeckere yang terprovokasi aksi “cilukba” Sergio Busquets. Gelandang jebolan La Masia tersebut mengakuinya, tapi ia enggan dianggap curang. Bagi Busquets, diving adalah bentuk lain dari “berpikir cerdas”.
Selain memiliki kebiasaan absurd menggigit lengan lawan, Luis Suarez juga dikenal suka diving. Kala masih berseragam Liverpool, El Pistolero, demikian ia dijuluki, pernah dengan amat lebay sengaja menjatuhkan diri ketika dikepung tiga pemain Stoke City. Dalam tayangan ulang terlihat, tak ada satupun yang menyentuh kulit Suarez.
Sebagaimana Busquets, Suarez pun mengakui aksi jatuhnya hanyalah pura-pura. Namun ia juga punya alasan tersendiri: “Saya dituduh telah sengaja menjatuhkan diri di kotak penalti dalam pertandingan tersebut. Itu benar, saya memang melakukannya sebab saat itu skor masih seri dan kami (Liverpool) perlu melakukan sesuatu untuk menang.”
Ashley Young pernah kena damprat Paul Scholes usai melakukan diving kala Manchester United menghadapi CSKA Moscow dalam laga Grup B Liga Champions 2015.
“Itu memalukan dan dia harus berhenti melakukannya. Ashley tahu itu. Dia pemain yang sangat bagus dan tidak perlu menggunakan cara seperti itu. Tapi saya pikir kebiasaan tersebut sudah alami tertanam di dirinya,” ujar Scholes.
Empat tahun lalu, di babak 16 besar Piala Dunia 2014 yang mempertemukan Belanda dengan Mexico, Arjen Robben sengaja menjatuhkan diri di kotak penalti setelah “dijegal” Rafael Marquez. Wasit yang melihatnya sebagai pelanggaran kemudian memberikan Belanda penalti ketika pertandingan sudah mencapai menit 94. Tim Oranye pun menang 2-1 dengan menyingkirkan El Tricolor yang muntab tak karuan.
Saat Manchester United bertemu Chelsea di Old Trafford dalam lanjutan Premier League musim 2012-2013, David Luiz dan rekan senegaranya, Rafael, terlibat perebutan bola dengan sengit di ujung lapangan wilayah The Blues pada menit 89. Rafael yang terprovokasi kemudian menendang betis Luiz dan si pemain berambut kriwil itu terjatuh dengan memegangi kakinya sambil menyeringai tepat di hadapan kamera. Wasit lantas mengacungkan kartu merah kepada Rafael dan Chelsea pun menang 1-0. Double combo.
Ada banyak sekali contoh pesepakbola yang melakukan aksi diving ketika pertandingan. Banyak sekali. Ada yang mengutuk, ada yang memuji, dan semua terasa wajar-wajar saja. Hingga kemudian muncul pemain bernama Neymar. Sejak saat itu, makna diving seolah berubah: dari sebuah tindakan cerdik, menjadi banalitas yang menarik diving hingga batasnya yang paling memualkan.
Sampai-sampai, nama Neymar pun disandingkan dengan kata Teatrinho.
Riset Mengenai Aksi Diving: Seni Peran atau Kebiasaan?
Pada 2000, sekelompok ilmuwan dari The Royal Society pernah menerbitkan sebuah penelitian berjudul "Dishonest Signalling in a Fiddler Crab". Dalam penelitian tersebut muncul fakta menarik bahwa diving ternyata memiliki kemiripan dengan cara seekor kepiting fiddler ketika menirukan kepiting lain yang lebih sehat agar tidak diganggu.
Dari sanaditarik kesimpulan: pesepakbola yang melakukan diving dan kepiting fiddler sama-sama melakukan penipuan lewat cara sederhana demi meraih keuntungan.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan para ilmuwan biologi Australia yang terhimpun dalam PLOS One, menunjukkan: diving yang dilakukan dari jarak dekat dengan wasit memiliki peluang keberhasilan tiga kali lebih besar daripada sebaliknya.
Kesimpulan ini dihasilkan setelah para ilmuwan menonton lebih dari 60 pertandingan sepakbola di 10 liga yang berbeda. Mereka mengklasifikasikan berbagai gaya jatuh para pemain, sekaligus mengamati apa penyebabnya: tersandung, kena tekel, atau sekadar tindakan spontan.
Diving juga lebih sering dilakukan di area pertahanan lawan saat menyerang daripada di area sendiri. Fakta lainnya, para pemain dua kali lebih sering melakukan diving ketika skor seri dibanding saat timnya kalah atau menang. Fakta cukup mengejutkan lainnya, sebagaimana ditulis dalam penelitian tersebut, adalah: “Tanpa diduga, diving akan lebih sering berhasil ketika dilakukan berulang-ulang.”
Berdasarkan dua penelitian di atas, Neymar semestinya dapat diasumsikan sebagai ahli diving nomor satu dalam sepakbola karena telah memenuhi seluruh persyaratan di atas: (1) ia selalu melakukan diving berulang-ulang dalam suatu pertandingan; (2) penipuan tersebut dilakukannya demi mendapatkan keuntungan; (3) ia memiliki bermacam variasi diving: mulai dari terjerembab secara dramatis hingga berguling-guling tak karuan.
Kendati begitu, ada beberapa hal menyolok yang dilakukan Neymar dan relatif jarang dilakukan pemain lain yang gemar diving: ia tidak mempertontonkan diving hanya di area lawan, misalnya di kotak penalti, melainkan di setiap jengkal lapangan. Kemudian, tak peduli skor pertandingan sedang seri, timnya kalah, atau menang, ia akan tetap diving, baik di awal babak, pertengahan, atau menit akhir.
Berdasarkan data yang dihimpun Swiss RTS, Neymar memang menjadi pemain yang paling sering dilanggar lawan dalam Piala Dunia 2018, yakni sebanyak 23 kali. Jika ditotal seluruhnya, maka ia telah menghabiskan waktu selama nyaris 14 menit hanya untuk terkapar di lapangan. Pembagiannya sebagai berikut:
- 3 menit dan 40 detik saat Brazil vs Swiss.
- 2 menit dan 6 detik saat Brazil vs Kosta Rika.
- 1 menit dan 56 detik saat Brazil vs Serbia.
- 5 menit dan 30 detik saat Brazil vs Meksiko di babak 16 besar.
Dalam ulasannya di New York Times yang berjudul "Neymar and the Art of the Dive", Andrew Keh sempat bertanya kepada Jim Cadler, dosen seni peran di Tisch School of the Arts New York University, mengenai kebiasaan diving bintang Brazil tersebut. Cadler, yang sudah tiga tahun mengajar di sana, mengatakan: "Neymar melakukan apa yang kebanyakan aktor pemula lakukan."
Melalui perspektif sebagai dosen seni peran, agak wajar jika Cadler memuji kemampuan akting Neymar. Dalam pandangannya yang filosofis, semua manusia secara natural selalu melakukan akting. Maka dari itu, penting bagi para penikmat sepakbola untuk berpikir selayaknya aktor agar tidak mudah menghakimi apa yang diperbuat Neymar melalui aksi teatrikalnya di lapangan.
“Semua manusia berakting. Anda sudah mempelajarinya sejak bayi. Jika saya menangis, ibu saya akan datang. Jika saya menangis, pemain lawan akan mendapat kartu merah. Itu hal yang sama,” ujarnya.
Namun tidak semua rekan seprofesi Cadler memandang demikian. Bagi Philippa Strandberg-Long, seorang guru seni peran asal London yang juga penggemar sepakbola, pemain yang terpukul di bagian lengan namun justru memegangi wajahnya hanya akan membuat penonton kesal.
"Jika Anda bertingkah tidak sesuai dengan apa yang terjadi, kami (penonton--red) tidak akan berempati, tidak mempercayainya, dan mulai bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Apakah kamu berbohong atau kamu secara psikologis memang ‘sakit’,” ujar Strandberg-Long sengit, masih dari artikel New York Times yang ditulis oleh Andrew Koh.
Neymar tak pernah menjelaskan apakah diving yang ia lakukan sekadar trik permainan atau jangan-jangan ia memang memiliki minat serius untuk menjadi aktor. Jika poin kedua tersebut benar, ada baiknya kita menyimak ucapan salah seorang penulis Brazil, Alejandro Chacoff, kepada Andrew Koh: “Orang-orang menganggap Neymar sebagai aktor. Tetapi permasalahannya, dia adalah aktor yang buruk.”
Chacoff tak salah-salah amat. Bahkan seekor kucing saja dapat melakukan aksi diving yang lebih baik dari Neymar.
Samarn Poonan yang Tewas Saat Menyelam
Semua bermula pada 23 Juni 2018. Usai melakukan latihan reguler, tim sepakbola remaja di Thailand yang terdiri 12 orang beserta seorang pelatih berusia 25 tahun, bertamasya menuju gua Tham Luang yang terletak di Provinsi Chiang Rai, Thailand Utara, untuk merayakan hari ulang tahun salah satu anggota skuat.
Setibanya di sana, mereka pun mulai menelusuri gua tersebut kurang lebih sejauh dua kilometer. Hingga kemudian turun hujan lebat dan menyebabkan lorong masuk gua kebanjiran. Tim sepakbola tersebut pun terjebak di dalamnya.
Kabar mengenai tenggelamnya tim sepakbola remaja ini sontak menggegerkan publik Thailand, lalu merambat menggegerkan seantero dunia. Ratusan relawan pun mulai berdatangan. Bersama tim SAR dan Angkatan Laut Thailand (SEAL), mereka mengorganisir diri dan mengumpulkan apa saja yang dapat menjadi bantuan. Makanan, pakaian, serta menyediakan sederet truk untuk menyedot air di dalam gua.
Namun hujan lebat yang terus turun membuat upaya penyelamatan kian sulit. Untuk mengantisipasi hal terburuk, Menteri Dalam Negeri Thailand, Anupong Paochinda, mengatakan: “Selama mereka belum bisa dievakuasi, pihak yang berwenang akan mengirimkan suplai makanan dan jel energi agar mereka dapat bertahan hidup setidaknya selama empat bulan di dalam gua.”
11 hari berselang, Selasa, 3 Juli 2018, tim dari British Cave Rescue Council yang turut ambil bagian dalam tim operasi gabungan akhirnya berhasil menemukan posisi tepat tim sepakbola tersebut di dalam gua. Dalam video yang dilansir akun Twitter DW News, tampak sekelompok remaja terlihat lemas, namun secara keseluruhan mereka tidak dalam kondisi medis yang memprihatinkan. Saluran telepon pun segera dipasang agar para keluarga dapat berkomunikasi dengan para anggota tim.
Berita penemuan tim sepakbola remaja tersebut disambut kegembiraan oleh publik Thailand. Kendati koordinator nasional dari the National Cave Rescue di Amerika Serikat mengatakan bahwa membawa anak-anak yang bukan penyelam untuk melewati jalur tersebut sangatlah berbahaya, setidaknya masih ada peluang untuk menyelamatkan mereka semua.
Namun tidak demikian bagi Samarn Poonan. Mantan anggota unit SEAL yang berusia 38 tahun tersebut meninggal pada Kamis malam setelah terjatuh sekitar 1,5 km dari pintu masuk gua usai memasang tangki oksigen di sepanjang rute keluar potensial.
"Begitu misinya berakhir, dia kembali, tetapi di tengah perjalanan, temannya menemukan Samarn terjatuh dan mencoba memompa jantungnya, tetapi nyawanya tidak bisa terselamatkan," demikian pernyataan resmi SEAL. Sementara Komandan SEAL, Laksamana Arpakorn Yuukongkaew, mengatakan: "Kami tidak akan membiarkan kematiannya sia-sia. Kami akan melanjutkan usahanya.”
12 pemain muda itu masih belum dievakuasi. Berbagai metode evakuasi sedang dipertimbangkan, salah satunya mengeluarkan mereka melalui teknik menyelam. Mereka akan diajari oleh para ahli dasar-dasar menyelam, lalu mereka akan dibimbing/ditemani satu per satu keluar dari gua, menembus ratusan meter penuh air.
Para pemain bola muda itu harus bisa melakukan diving untuk melanjutkan hidupnya, juga agar mereka masih bisa bermain bola.
Menyelam untuk Hidup, Menyelam untuk Menang
Dive (verb:diving) secara harfiah berarti "menyelam (ke dalam air)". Dalam konteks sepakbola, dive diterjemahkan kurang lebih sebagai sikap berpura-pura menjatuhkan diri secara teatrikal.
Melihat kisah tragis Poonan, juga nasih tak tentu yang menimpa 12 remaja itu, dan membandingkannya dengan sikap Neymar di atas lapangan hijau, diving menjadi sesuatu yang sangat ironis. Di satu sisi, ia digunakan menyelamatkan nyawa, guna bertahan hidup; sementara di sisi lain, diving dilakukan demi meraih keuntungan sesaat.
Dalam esainya yang berjudul Falling Men, Chacoff mengungkapkan bagaimana kebiasaan para pemain Brazil tiap gagal mengelabui wasit kendati telah melakukan aksi diving. Dengan memasang muka masam, mereka akan muntab sambil berteriak: “Porra, falta caralho!”. “Bangsat, itu pelanggaran, sialan!” Dengan mengasumsikan Neymar telah melakukan ratusan kali diving, maka entah sudah berapa banyak pula umpatan yang ia lontarkan kepada wasit.
Kala Brasil menghadapi Meksiko di babak 16 besar lalu, komentator BBC, Conor McNamara, yang gemas dengan aksi tipu-tipu Neymar, bahkan sempat mengatakan: "Dia menggeliat seolah-olah seekor buaya telah menggigit kakinya.” Dengan seluruh caci maki dan sindiran yang ia terima di Piala Dunia 2018, mungkin ada baiknya bagi Neymar untuk mulai menghilangkan kebiasaan tersebut.
Siapa tahu jika pada suatu hari ia tertimpa hal buruk hingga betul-betul mengerang kesakitan, namun orang yang melihat hanya tertawa cekikian sambil merekamnya, lalu mengunggah video tersebut ke media sosial. Neymar mungkin kembali berteriak: “Porra, falta caralho!”. Dan si orang itu akan meledeknya sambil berlalu: “Desculpe, eu não sou um árbitro....”
Artinya kurang lebih: “Maaf, saya bukan seorang wasit.”
Editor: Zen RS