tirto.id - Jika Brasil punya deretan pemain top macam Marcelo, David Luiz, Thiago Silva, Casemiro, Roberto Firmino, Philipe Coutinho, hingga Neymar, maka Swiss “hanya” memiliki Stephan Lichtsteiner, Ricardo Rodriguez, Xherdan Shaqiri, serta Granit Xhaka. Dengan membandingkan beberapa nama tersebut saja, tidak sulit untuk memprediksi siapa yang akan menang.
Swiss tentu tahu diri akan berhadapan dengan siapa. Hitung-hitungan statistik dari Swiss Bank UBS saja memperlihatkan bahwa negara mereka hanya memiliki probabilitas sebesar 1,8% (atau unggulan ke sembilan) untuk dapat menjadi kampiun Piala Dunia 2018. Sementara untuk probabiltas lainnya: 39,6% lolos dari babak grup (sebagai juara kedua); 22,9% mencapai perempat final; 11.5% ke semifijal; 5% menjadi runner-up di final Piala Dunia 2018.
Peluang tersebut sudah pasti jauh dari Brasil. Dengan merujuk pada sumber yang sama, anak asuh Tite berada di tempat kedua dengan probabilitas sebesar 19,8% untuk menjadi kampiun, berada di bawah Jerman sebagai kandidat terkuat (24%), dan di atas Spanyol (16,1%).
Kabar baiknya, peringkat Swiss di ranking FIFA saat ini berada di nomor enam, hanya berbeda empat tingkat dari Brasil yang menempati posisi dua. Tetapi rangking tersebut sangat mungkin berubah kembali setelah Piala Dunia 2018 selesai. Sebab saat ini FIFA sekadar menghitung poin berdasarkan jumlah laga persahabatan yang dilakukan sebelum November 2017.
Selain ranking FIFA tersebut, Swiss praktis tak punya kebanggan lain di hadapan Brasil. Negeri Samba tersebut, sebagai contoh lain, lolos ke Piala Dunia 2018 di Rusia dengan rekor mentereng: tak terkalahkan dalam 12 laga terakhir, 10 kemenangan, dua kali imbang. Rekor Brasil di setiap laga perdana Piala Dunia juga tak kalah menyilaukan: 18 laga tak pernah tumbang, 16 kali menang dan dua kali imbang. Bahkan kali terakhir Brasil kalah di laga perdana terjadi 84 tahun lalu, yakni pada Piala Dunia 1934. Dalam turnamen diselenggarakan di Italia tersebut, Brasil tumbang dari Spanyol 1-3.
Pengalaman kedua negara di ajang Piala Dunia juga kontras betul. Swiss secara keseluruhan baru 10 kali tampil di kompetisi terbesar di dunia tersebut. Sedangkan Brasil, sejak awal mula Piala Dunia digelar pada tahun 1930, tak sekali pun absen dari gelaran tersebut. Turnamen di Rusia tahun ini bakal menjadi partisipasi ke-21 Selecao. Brasil dan Swiss sebelumnya pernah tiga kali bersua. Kedua tim saling mengalahkan sekali dan satu kali pula bermain imbang.
Kabar buruk bagi Swiss akan bertambah jika Neymar benar-benar fit sepenuhnya. Pemain ini, terlepas dari bagaimana sebagian orang menganggapnya overrated, kadung menjadi wajah Brasil era sekarang. Di pundaknya sepakbola Brasil diharapkan bangkit dan menemukan kejayaannya kembali.
Dalam Piala Dunia empat tahun lalu, di tanah airnya sendiri, Brasil mesti tersingkir dengan amat tragis dari Jerman di babak semifinal. Neymar mesti absen akibat cedera punggung yang diterimanya saat Selecao melawan Kolombia di babak perempatfinal. Kini sudah pasti ia akan menuntut balas.
“Saya sangat, sangat ingin melakoni laga (lawan Jerman) itu lagi. Dengan saya berada di lapangan, saya percaya hasilnya akan berbeda. Sejujurnya saya yakin dapat bermain, tapi takdir punya keputusan lain saat itu. Semoga saja sekarang dendam dapat terbayarkan,” ujar Neymar seperti dilansir oleh Marca.
Swiss adalah lawan yang tepat bagi Neymar untuk mulai pemanasan.
Mitos dan Fakta Para Penerus Legenda
Wajar jika tiap pemain legendaris dianggap akan punya penerus. Barangkali hal tersebut semacam usaha untuk merawat sekaligus membangkitkan lagi kenangan terhadap si pemain legendaris itu. Hanya saja, tak jarang usaha tersebut justru dianggap menyebalkan bagi si pemain (yang dianggap tepat sebagai) penerus dan membuat mereka tak merasa nyaman.
Sebagai contoh, misalnya, perdebatan mengenai apakah Lionel Messi dapat menjadi penerus atau bahkan lebih baik dari Diego Maradona?
Nyaris seluruh publik sepakbola ikut urun pendapat mengenai hal ini. Messi lebih unggul dari Maradona dalam segi apapun secara statistik, baik di klub atau timnas: raihan trofi, rasio gol, dribble sukses, jumlah tembakan, banyaknya laga yang dimainkan, konsistensi permainan, dsb. Hanya satu yang Messi tak punya: Piala Dunia.
Ia sebetulnya punya kesempatan lebih dari cukup untuk membuktikan diri jauh lebih baik dari Maradona setelah secara beruntun berhasil membawa Albiceleste menuju tiga final turnamen besar: Piala Dunia 2014 dan Copa America 2015 & 2016. Naasnya, semua final beruntun tersebut berakhir dengan kekalahan. Bahkan di Copa 2016, saat Argentina kembali melawan Cile di final, Messi turut gagal mengeksekusi penalti dalam babak tos-tosan. Mau fakta yang lebih buruk? Itulah kegagalan pertama Messi sebagai eksekutor penalti!
Maradona, di lain sisi, memang “hanya” meraih trofi yang lebih sedikit, gol yang lebih sedikit, serta pertandingan yang juga lebih sedikit dari Messi. Konsistensinya pun tak lebih baik dari juniornya tersebut. Belum pula ditambah perangai buruk di luar lapangan serta kasus doping di Piala Dunia 1994.
Hanya saja, Maradona berhasil meraih Piala Dunia (1986) dan pula tidak dengan cara yang biasa-biasa saja: mencetak dua gol fenomenal (salah satunya menggunakan “tangan tuhan”) ke gawang Inggris di perempatfinal -- yang kala itu tengah bersitegang secara politik dengan Argentina dalam kasus Kepulauan Malvinas. Lalu di final, ia turut memberikan assist kepada Jorge Burruchaga pada menit 84 yang berbuntut gol sehingga Albiceleste dapat mengalahkan Jerman Barat dengan skor tipis 3-2.
Keberhasilan Maradona tersebut menunjukkan bahwa capaian statistik, sebesar apapun itu, dalam sepakbola bukan sesuatu yang mutlak menjadi kebanggaan, terlebih jika konteksnya nasionalisme.
Apa yang diberikan Maradona kepada negaranya bukan hanya sebuah trofi agung, tapi lebih jauh: efek sosial yang kelak akan mengakar kuat sepanjang sejarah Argentina. Tentang kebanggaan, persatuan, keberanian. Sederet hal yang, barangkali, tak akan pernah dicapai Messi dalam kariernya bersama timnas.
Maka tak heran jika kemudian banyak yang beranggapan bahwa Messi tidak berada dalam level yang sama dengan Maradona. Itulah yang diiyakan oleh dua pemain yang berasal dari negara berbeda, Andrea Pirlo dan Rivaldo, beberapa hari menjelang dibukanya Piala Dunia 2018.
Andrea Pirlo: “Messi selalu dibandingkan dengan Maradona, tetapi ia harus memenangkan Piala Dunia. Sebab jika Anda tidak memenangkan Piala Dunia, Anda tidak dapat berada di puncak bersama dengan para pemain terbaik.”
Rivaldo: “Messi sejatinya telah menjadi legenda atas apa yang ia lakukan di Barcelona dan dalam sepakbola. Anda tidak dapat mengatakan lebih dari itu. Hanya saja, Argentina adalah bangsa yang memiliki Maradona sebagai pemain terbaik mereka yang telah memenangkan Piala Dunia. Jadi, mungkin bagi para orang Argentina, Messi belum mencapai level legenda. Dalam hal kebangsaan, tak penting apa saja capaian Anda di klub.”
Ironi Demokrasi Rasial di Brasil
Lain Messi, lain pula Neymar. Di Brasil, setiap pemain bagus, lebih tepatnya penyerang hebat yang baru muncul, kelak akan segera dibandingkan dengan Pele. Semua penyerang legendaris Brasil pernah mengalami ini: Zico, Romario, Ronaldo, Robinho, hingga Neymar sendiri. Dari kesemua nama tersebut, hanya Robinho yang kariernya berakhir di keranjang sampah. Ia tidak hanya menyia-nyiakan bakatnya, tetapi juga sempat diduga terlibat kasus pemerkosaan.
Mari lupakan Pele dan biarkan ia berada sendirian di puncak sana. Sebab di masa sekarang, mencapai torehan 1281 gol dan memenangkan tiga Piala Dunia dari empat final sepertinya amat mustahil untuk diulang kembali. Membandingkan Pele dengan Neymar secara statistik juga jelas sebuah kesia-siaan. Terlalu lebar jurang antara mereka. Jauh lebih menarik membandingkan Pele dengan Maradona dalam konteks efek sosial yang mereka berikan.
Berbeda dengan Maradona yang kelak dikenang sebagai simbol balas dendam politik Argentina terhadap Inggris, Pele tidak meninggalkan kesan perlawanan yang berarti secara sosial, selain sebagai salah satu aktor utama dalam “demokrasi rasial” di Brasil.
Istilah “demokrasi rasial” pertama kali diperkenalkan oleh seorang sosiolog Brasil, Gilberto Freyre, dalam bukunya yang terbit pada 1934 berjudul Casa-Grande & Senzala (Para Tuan dan Budak-budaknya). Secara garis besar, “demokrasi rasial” merupakan istilah untuk menggambarkan bagaimana harmonisasi warga ras kulit putih dan kulit hitam dapat terjadi di Brasil. Ia semacam wujud dari politik netralitas yang berhasil mengenyahkan kultur segregasi pada abad ke-20.
“Demokrasi rasial” mulanya dianggap sebagai sistem ideal untuk menangani perbedaan warna kulit dalam masyarakat. Namun kenyataannya tidak demikian. Rasialisme masih jamak ditemui dalam masyarakat Brasil dan tak pernah benar-benar lenyap.
Freyre pun sempat dikecam karena dianggap telah menciptakan istilah tipu-tipu. Namun ia telah menjelaskan bahwa makna “demokrasi rasial” yang ia maksud telah diplintir sedemikian rupa oleh kalangan ilmuwan dan tidak diletakkan dalam konteks sosio-historis Brasil yang tepat pada masanya.
Dalam sepakbola, “demokrasi rasial” dimaknai tak lebih sebagai jalan bagi pemain kulit hitam dan kere untuk menapaki tangga sosial yang lebih baik, selayaknya orang kulit putih dalam doktrin kapitalisme. Bahwa tujuan terbesar menjadi pesepakbola seolah hanya untuk meraih kemakmuran secara finansial lalu hidup secara masa bodo. Hal ini kian diperkuat fakta ekspor pemain Brasil ke segala penjuru dunia ini juga menjadi pemasukan yang besar bagi kas negara.
Dengan pendekatan semacam itu, tak usah heran jika banyak pesepakbola berbakat dari Brasil yang kariernya meredup dengan cepat. Adriano, Robinho, Felipe Melo, Julio Baptista, hanyalah beberapa di antaranya. Sebab sepakbola bagi mereka tak lebih sebagai kran uang dan bagaimana cara menikmati semuanya. Suka atau tidak, Pele jelas memiliki andil yang besar dalam segala keruwetan ini.
Neymar adalah Zaman Now
Neymar sendiri dapat dikatakan sebagai puncak gunung es dari industri ekspor pemain-pemain Brasil. Dengan harga transfer sebesar 222 juta euro atau sekitar Rp 3,5 triliun dari Barcelona ke PSG, ia tidak hanya mencatatkan diri sebagai pemain termahal, namun juga sekaligus menambah rusak harga pasar.
Banyak orang menilai nominal tersebut terlampau besar buat pesepakbola yang lebih dulu dianggap tak lebih sebagai Youtube Footballer. Neymar juga telah berusaha merendah dengan mengatakan sama sekali tidak bangga dengan jumlah transfer monumental tersebut.
“Itu semua hanya uang, tidak lebih. Saya tidak berbuat apa-apa. Jujur, saya sendiri belum merasa pantas dihargai sebesar itu.”
Sebelum muncul transfer tersebut, Neymar sejatinya juga telah diprediksi bakal menjadi pemain terbaik dunia selanjutnya. Ia adalah nafas segar yang diperlukan untuk mengganggu hegemoni Cristiano Ronaldo dan Messi di singgasana teratas. Dan juga termasuk Pele. Segala gelar bergengsi yang ia telah raih di level klub, termasuk berbagai gelar individu, makin menunjukkan Neymar memang sedang mengarah ke atas. Terlebih jika ia berhasil membawa Brasil juara Piala Dunia 2018.
Namun, bagi Barney Ronay, Neymar sesungguhnya adalah entitas berbeda yang tak pernah muncul sebelumnya dari lapangan hijau. Dengan citra gold-plated douchebag-playboy yang ia tonjolkan, dengan segala keasyikannya di media sosial, dan dengan segala pergaulan luasnya hingga ke artis dan talkshow papan atas Amerika, Neymar adalah wujud ideal seorang pesepakbola popstar masa kini yang tak ingin dianggap semata hanya jago mengolah si kulit bulat.
“Neymar bukan hanya seorang pesepakbola yang hebat, tetapi ia juga memiliki kualitas lain yang lebih menarik. Mungkin bagian terbaik darinya adalah bagaimana ia menunjukkan caranya untuk tetap eksis, bahagia, sebagai seorang superstar modern. Dia adalah satu-satunya pemain sepakbola cutting edge saat ini yang kita miliki. Seorang pemain yang hampir tidak ada sebelumnya,” demikian tulis Ronay di kolomnya di Guardian yang berjudul "Neymar is no Messi or Pelé but The World’s Greatest Sub-Genius Footballer".
Secara sederhana, Ronay sepertinya ingin mengatakan bahwa Neymar adalah pesepakbola zaman now.
Dengan membandingkan skuat Brasil, Portugal dan Argentina, kali ini Neymar punya peluang lebih besar untuk menyempurnakan statusnya sebagai superstar lapangan hijau zaman now. Laga melawan Swiss adalah awal usaha Neymar untuk melampui apa yang sama-sama belum dimiliki oleh Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi: trofi Piala Dunia.
Editor: Eddward S Kennedy