Menuju konten utama

Jangan Tinggalkan Kami, Lionel Messi

Kegagalan adalah kegagalan adalah kegagalan adalah sesuatu yang menyakitkan yang rasanya sama sekali tidak mirip keberhasilan tertunda seperti kata para motivator. Apalagi kegagalan berulang-ulang di lubang yang sama seperti yang dialami Lionel Messi bersama tim nasionalnya.

Jangan Tinggalkan Kami, Lionel Messi
Lionel Messi, tim nasional (timnas) Argentina.foto/shutterstock

tirto.id - Di semifinal Liga Champions 2012, tendangan penalti Sergio Ramos melambung tinggi. Ramos dan Real Madrid kalah dari Bayern Muenchen. Dalam hitungan detik, internet segera diramaikan meme bola yang ditendang Ramos itu ditemukan di semak-semak di pelosok Afrika, di Menara Dubai, di Monas, di bulan bersama Neil Armstrong, di stasiun luar angkasa, hingga di planet mars.

Dua bulan kemudian, di Euro 2012, Ramos berseragam tim nasional Spanyol kembali harus jadi algojo di semifinal melawan Portugal. Menghadapi bola di titik putih Donbass Arena itu, ia masih terbayang-bayang kegagalan sebelumnya. Tapi kali ini ia lebih tenang, mengambil langkah dan tendangannya dengan penuh gaya: ia melakukan panenka, menyepak bola pelan saja ke tengah atas gawang Rui Patricio.

Penalti Lionel Messi di final Copa America 2016 berbeda dengan penalti Ramos. Meski sama-sama melayang ke angkasa, ia tidak diikuti limbah meme yang menghina atau menertawakan kegagalan si pemain terbaik dunia lima kali. Memang masih ada segelintir manusia yang menari-nari di atas penderitaan Messi, tapi jumlahnya hanya seujung kuku manusia-manusia yang merayakan terbangnya bola Ramos.

Agustin Suarez Doreski, seorang penulis di Futbolistas Argentinos Axem, di status Facebook-nya dengan pedas mengomentari sekelompok orang yang masih saja mengkambinghitamkan Messi itu. "Cukup tentang Messi, hentikan. Saya capek. Saya bosan membaca kritik orang-orang tolol atas kegagalan Messi di final," tulisnya. "Messi tidak punya biji... kata bajingan yang besok akan berpura-pura tidur di kereta ketika seorang wanita hamil lewat di depannya. Messi tidak kelihatan di final... teriak manusia lain yang berhenti kuliah hanya karena ia tidak bisa bersusah-susah belajar. Messi pecundang... kata pengecut yang membiarkan gadis impiannya lari dengan lelaki lain karena ia tak pernah berani menyatakan cinta."

Para cecunguk itu pun menciut.

Kini, mayoritas gila bola seluruh dunia seakan turut bersedih bersama Messi. Setelah kekalahan bertubi-tubi Messi berseragam Argentina di empat final turnamen besar, tiga Copa Amerika dan satu Piala Dunia, di hati mereka seolah tak bersisa lagi ruang untuk menjadikan Messi lelucon. Messi sudah dianggap seperti saudara sepupu yang untuk kesekian kali gagal tes masuk perguruan tinggi negeri. Mereka tidak tega lagi mengecilkan hatinya, yang bersisa tinggal permohonan agar Messi jangan menyerah, jangan berhenti, jangan putus asa, terus berjuang meraih mimpi, tetap menggantungkan cita-cita setinggi langit Piala Dunia.

Mungkin zaman telah berubah, 2102 adalah tahun ketika internet, terutama Twitter, sedang garang-garangnya. Ketika semua hal setiap detik diributkan oleh fans sepakbola. Di Euro 2016, melawan Kroasia di fase grup, tendangan penalti Ramos kembali gagal tapi tidak banyak yang menjadikannya olok-olok. Mungkin pula para pengguna internet sudah lelah.

Bahkan di Argentina, di kampung halamannya sendiri, di mana kebanyakan orangnya punya keraguan yang besar terhadap Messi, kini mulai belajar mencintainya dan menerima dan memeluk air mata dan kegagalannya. Selama bertahun-tahun mereka mengganggap Messi anak haram yang minggat ke Catalan sejak usia 13. Selama hampir satu dekade mereka menilai Messi nggak Argentina banget: sebab Messi tidak tampil habis-habisan ketika mengenakan jersey Albiceleste, sebab Messi tidak pernah seluarbiasa saat membela Barcelona, sebab Messi bergumam saja ketika menyanyikan lagu kebangsaan Canción Patriótica—tidak selantang dan sebangga Gianluigi Buffon menyanyikan Il Canto degli Italian—itu bukti nyata Messi mengalami krisis identitas.

Dalam periode yang lama, mereka seolah tidak begitu peduli fakta mencolok tentang betapa masih Argentinanya Messi walaupun telah belasan tahun menetap di Spanyol. Caranya bicara masih dengan aksen Rosario, kota kelahirannya. Seleranya terang cita rasa tanah kelahirannya: dalam film, aktor favoritnya adalah Ricardo Darin dan makanan favoritnya adalah milanesas dengan tomat dan keju bikinan ibunya. Beberapa tahun lalu ia pernah bilang, ia rela menukar semua trofi Balon dOr yang pernah diraihnya dengan satu Piala Dunia. Wajah lesunya yang seperti kemeja belum disetrika ketika dianugerahi Pemain Terbaik Piala Dunia 2014 setelah kalah di final dari Jerman adalah konfirmasi: pencapaian individu tak berarti apa-apa baginya.

Setelah kekalahan melawan Cile di final Copa América itu, Messi mengumumkan pengunduran dirinya dari timnas Argentina. Bukan dalam konfrensi pers yang rapi dan tertib ala sepakbola Eropa, ia menyatakannya kepada wartawan yang mengerumuninya, nada suaranya terdengar bersikeras. "Beginilah. Beginilah keputusan saya," ucapnya dengan wajah serius dan terlihat menghindari tatapan mata para wartawan. "Saya telah melakukan segalanya untuk menang. Kenyataannya, beginilah. Sudah empat final tapi saya tidak bisa menang. Ini menyakitkan saya lebih dari siapa pun, tetapi sudah jelas bahwa ini bukan untuk saya."

Media sosial serentak berkabung demi mendengar pensiun dini Messi. Tagar #NoTeVayasLio menjadi tren percakapan global: Jangan pergi, Lio. "Lunes, frío, gris, lluvia y sin Messi. ¿Nos puede pasar algo más? #NoTeVayasLio," tulis akun @Nikgaturro. "Senin, dingin, abu-abu, hujan, dan tanpa Messi, lantas apa yang akan terjadi pada kita?"

Lalu di papan tujuan di Subte, kereta bawah tanah Buenos Aires, dipasangi juga tulisan No Te Vayas, Lio. Rakyat Argentina memohon Messi mempertimbangkan kembali keputusan pensiunnya dari sepak bola internasional. Presiden Argentina, Mauricio Macri, turut memintanya agar tidak mundur dari tim nasional. Sang Legenda Diego Maradona bahkan ikut bersuara, "Don't quit Argentina".

Maradona berhasil memenangkan Piala Dunia. Itu harga yang belum bisa Messi bayar untuk menyamai sang legenda. Meski bergelimang prestasi di Barcelona, ia masih tak berdaya mengakhiri 23 tahun pacelik trofi Argentina. Sejarah Maradona di Argentina adalah sejarah kebesaran, sementara jalan Messi sejauh ini adalah sejarah nyaris juara. Ini tentu saja terus menghantuinya, tekanan super besar adalah nama tengah dari harapan yang besar.

Ketika Messi gagal mengeksekusi penalti di final Copa America pada hari Minggu lalu, dapat dimengerti bahwa beban itu sudah tak bisa lagi ditanggungnya.

Namun, ia sedang berada di puncak performanya, terlalu cepat untuk gantung sepatu. Di Piala Dunia 2018 nanti, usianya baru 31 tahun. Tidak ada alasan di dunia ini yang bisa menghalanginya bermain dan menorehkan prestasi puncaknya. Publik Argentina tampaknya mulai menyadari apa arti kehilangan mereka jika Messi benar-benar pergi. Keraguan atasnya di tanah kelahirannya perlahan sirna dalam beberapa hari terakhir.

Argentina menangis. Argentina tak mau ditinggalkan Messi.

Baca juga artikel terkait COPA AMERICA CENTENARIO 2016 atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Olahraga
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti