Menuju konten utama

Sandiaga Uno Terlalu Menyederhanakan Persoalan Papua

Sandiaga Uno yakin jika orang Papua diberi lapangan kerja, mereka tak lagi ingin memisahkan diri dari Indonesia. Masalahnya, itu oversimplikasi.

Sandiaga Uno Terlalu Menyederhanakan Persoalan Papua
Calon Wakil Presiden nomor urut 02 Sandiaga Salahuddin Uno menyapa para milineal usai hadir dalam acara dialog dengan milneal Depok, di Margonda, Depok, Jawa Barat, Senin (7/1/19). ANTARA FOTO/ Kahfie kamaru/ama.

tirto.id - Jika pemerintah pusat memberi keadilan bagi masyarakat Papua, tuntutan memisahkan diri dari Indonesia perlahan hilang. Demikian kata calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Salahuddin Uno. Dan dia serta Prabowo Subianto mengaku mampu memberikan itu jika terpilih nanti.

“Karena ada ketidakadilan mereka menuntut; tidak ada kesejahteraan mereka menuntut. Nah Prabowo-Sandi fokus untuk menghadirkan Indonesia adil makmur sehingga mereka akan menjadi bagian daripada kita,” kata Sandi di Depok, Jawa Barat, Senin (7/1/2019).

Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu berpendapat, infrastruktur yang dibangun pemerintahan Jokowi saat ini bukannya tak penting, tapi kurang tepat karena baru terasa efeknya dalam jangka panjang. Sementara isu memisahkan diri dari Indonesia, kata Sandi, mesti diselesaikan selekasnya.

Sandi mengatakan, fokus mereka di Papua jika terpilih nanti adalah membuka peluang usaha dan lapangan kerja. Dengan memberikan itu secara adil, Sandi yakin tuntutan memerdekakan diri perlahan surut dan hilang.

Sandi mengatakan semua akan dilakukan dengan “semangat Pancasila, UUD 1945, dan NKRI harga mati.”

Bagi Wakil Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin Verry Surya, penyelesaian masalah Papua ala Sandi ini basi karena Jokowi merasa telah melakukannya sejak 2014.

“Pak Jokowi sebagai incumbent, sebagai presiden, sudah melaksanakan kerja nyata. Sementara kalau paslon 02 kan masih dalam bentuk gagasan. Gagasan itu sebetulnya penciptaan lapangan kerja dan keadilan, itu sudah terbukti dilakukan oleh pak Jokowi dalam empat tahun masa pemerintahannya,” kata Verry kepada reporter Tirto.

Verry mengatakan, langkah konkret Jokowi bisa terlihat dari pembangunan infrastruktur Trans-Papua dan jembatan hingga dam. Jokowi pun datang hingga 9 kali untuk memonitor langsung pembangunan di sana. Dia juga menyinggung beberapa program lain semisal BBM satu harga hingga Kartu Indonesia Pintar.

“Ini adalah bentuk nyata dari program untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk saudara-saudara kita di Papua sehingga mereka lebih merasa sebagai bangsa Indonesia,” kata pria yang juga Sekjen PKPI itu.

Oversimplikasi

Bagi pegiat Hak Asasi Manusia yang aktif di Human Rights Watch Andreas Harsono, gagasan yang ditawarkan Sandi telah mengemuka bahkan sejak era Susilo Bambang Yudhoyono. Andreas melihat apa yang dikemukakan sandi sebagai oversimplikasi—menggampangkan masalah rumit. Oleh karenanya ia menyarankan Sandi membaca buku terbitan LIPI yang komprehensif,Papua Road Map, jika ingin benar-benar tahu masalah yang ada di sana dan menawarkan solusi yang lebih tepat.

“Saya usul Sandiaga Uno baca itu dulu, lantas berpikir dengan tim dia sejauh mana mereka bisa mengikuti berbagai macam rekomendasi LIPI. Kalau cuma itu [soal lapangan kerja] yang dia katakan hari ini dia enggak beda dengan Luhut Pandjaitan, enggak beda dengan Jusuf Kalla, Boediono, Yudhoyono maupun Jokowi," kata Andreas kepada reporter Tirto.

Dalam buku itu LIPI menemukan empat persoalan utama di Papua. Pertama masalah diskriminasi dan marjinalisasi, dan kedua diskriminasi ekonomi.

Ketiga, yang barangkali lebih sulit diselesaikan dua poin sebelumnya, adalah masalah sejarah. Poin ini tentang jujur kepada sejarah sendiri. Menurut Andreas, sejarah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 harus dibuka terang. Publik harus tahu bahwa ketika itu hanya segelintir orang Papua saja yang memutuskan bergabung. Dan itu pun di bawah intimidasi dan manipulasi aparat Indonesia.

Poin terakhir adalah penyelesaian masalah HAM dan membuka akses seluas-luasnya kepada wartawan, termasuk pers asing, untuk meliput.

Meski mengkritik Sandiaga, namun Andreas bukan berarti membela Jokowi. Apa yang telah dilakukan Jokowi selama empat tahun terakhir toh tak meredam gerakan pro-kemerdekaan/penentuan nasib sendiri. Kasus Nduga, contohnya. Baginya pemerintah sekarang belum sepenuhnya mendengar aspirasi warga Papua.

“Minimal bacalah [buku] LIPI, minimal baca [buku] LIPI, maksimal ajak bicara orang-orang Papua,” kata Andreas.

Hal senada diungkapkan mantan koordinator tim kajian papua LIPI Adriana Elizabeth. Elizabeth masih berpegang pada hasil Papua Road Map—buku yang turut ia susun. Sepanjang solusi dari ‘Jakarta’ tidak komprehensif, masalah Papua akan terus ada.

“Kalau hanya ada salah satu yang difokuskan menurut saya tidak akan menyelesaikan persoalan itu,” kata Elizabeth kepada reporter Tirto. “Artinya persoalan tidak sesederhana yang disampaikan Sandiaga. Bahwa ada aspek ketidakadilan, iya betul. Tetapi kalau dilihat dari 4 major issue yang dipetakan oleh LIPI itu kompleksitasnya tinggi sekali,” tambah Elizabeth.

Kritik terhadap Jokowi juga serupa. Program-program yang kini tengah dilakukan Jokowi, kata Elizabeth, adalah contoh pendekatan parsial. Jokowi, misalnya, menggebu-gebu membangun infrastruktur, tapi masih abai terhadap pembangunan sumber daya manusia. Pemerintah saat juga masih enggan mendengar aspirasi orang asli Papua.

“Jadi kalau dialog itu kita akan belajar mendengarkan. Pemerintah mendengar masyarakat, masyarakat mendengar papua,” pungkas Elizabeth.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino