Menuju konten utama

Samsung, Berawal dari Sayuran Menjadi Raja Smartphone Dunia

Perjalanan Samsung menjadi raksasa di industri elektronik dunia tidaklah semulus sutra. Mengawalinya bisnisnya dari usaha ekspor sayuran, buah dan ikan, perusahaan itu akhirnya bahkan mendahului para pesaingnya, termasuk Sony, target awal yang ingin mereka lampaui.

Samsung mengawali kiprahnya dari perdagangan makanan kering pada tahun 1938. Foto/samsung.com

tirto.id - Siapa yang tidak mengenal Samsung? Perusahaan tersebut saat ini merupakan produsen smartphone terbesar di dunia. Meski demikian, siapa yang menyangka jika semuanya berawal dari usaha berjualan buah, sayur dan ikan kering yang dirintis oleh pendirinya, Lee Byung-Chul di Taegu, timur laut Korea.

Pada tahun 1937, akibat pecahnya perang antara Cina dengan Jepang, Byung-chul, yang saat itu sesungguhnya telah memiliki bisnis kecil penggilingan padi dan transportasi di Masan, pantai tenggara semenanjung Korea, terpaksa memindahkan bisnisnya ke Taegu, sebuah daerah di timur laut. Dari sanalah legenda Samsung dimulai.

Di kota yang merupakan pusat pemimpin politik dan rezim militer tinggal tersebut, Byung-chul mendirikan toko perdagangan serba ada (general store) dengan modal awal 30.000 won. Mengambil nama Samsung, yang berarti bintang tiga, ia menginginkan agar toko ini menjadi perusahaan besar, kuat dan bertahan lama seperti bintang di angkasa.

Memanfaatkan situasi perang, Samsung mengekspor buah dan makanan laut yang dikeringkan, sayuran, dan barang dagangan lainnya ke Mancuria di timur laut Cina daratan, yang pada saat itu juga merupakan koloni Jepang, serta Beijing.

Dalam buku berjudul "Samsung, Media Empire and Family: A Power Web" yang ditulis oleh Chunhyo Kim, Byung-chul memperoleh modal awal untuk mendirikan Samsung selain dari keluarganya, juga dari sebuah bank Jepang. Hal itu menunjukkan kepiawaian berbisnis Byung-chul, sebab saat itu toko perdagangan tidak mempunyai akses terhadap dana serupa.

Pada masa Perang Dunia II, Byung-chul belajar banyak mengenai pasar dan memanfaatkan peluang bisnis. Ia memperhatikan dengan cermat bagaimana konglomerat Jepang, yang sering disebut sebagai zaibatsu, menjalankan dan mengorganisasi perusahaan-perusahaan mereka di Korea.

Tidak butuh waktu lama bagi Samsung untuk berkembang. Dalam kurun waktu satu dekade lebih sedikit, Samsung memiliki pabrik tepung, mesin manisan sendiri, kegiatan operasi manufaktur dan penjualannya sendiri.

Pada masa administrasi militer Amerika Serikat di Negara Ginseng itu antara tahun 1945 hingga 1948, Byung-chul memindahkan kantor pusat bisnisnya ke Seoul. Ia kemudian membuka Samsung Trading Corporation pada tahun 1948. Selang dua tahun kemudian, Samsung telah mendirikan perusahaan dagang di Masan, Taegu dan Seoul.

Meski sempat bangkrut, karena mendapat dukungan politik dari rezim Presiden Syngman Rhee pada tahun 1946 hingga 1960, perusahaan itu mengalami pertumbuhan yang cukup pesat.

Perusahaan itu, misalnya, berhasil mengembangkan bisnisnya ke sektor perbankan, sekuritas, asuransi, pupuk dan semen pada akhir tahun 1950. Pada tahun 1951, Samsung Moolsan (cikal bakal Samsung Corporation) berdiri. Perusahaan itu melakukan ekspor impor barang-barang militer, gula dan pupuk semasa Perang Korea.

Sempat tersandung kasus bahan baku ilegal yang menjerat Hankuk Fertilizer yang didirikan Samsung tahun 1963, Byung-chul kemudian mengundurkan diri sebagai Chairman Samsung pada tahun 1967.

Dua tahun berselang ia kembali menjadi Chairman Samsung dan mendirikan Samsung Electronics, yang kemudian menjelma menjadi pemain global yang sangat diperhitungkan saat ini.

src="//mmc.tirto.id/image/2016/09/16/HL-Samsung-3.jpg" width="860" alt="Infografik Recall Samsung" /

Pada periode 1970an Samsung memperkuat lini bisnis elektronik dan semikondutornya. Mereka menjalin kerja sama dengan sejumlah perusahaan Jepang, salah satunya Sanyo. Kerja sama keduanya menghasilkan produksi televisi pertama Samsung pada tahun 1970.

Pertengahan tahun 1980, Samsung telah berhasil mencakup hampir seluruh sektor ekonomi Korea. Setelah wafatnya Byung-chul pada November 1987, di bawah anak ketiganya, Lee Kun-hee, Samsung memasuki era baru dari sebelumnya hanya menjadi original equipment manufacturer (OEM) menjadi perusahaan transnasional di pasar dunia.

Setahun kemudian, mereka memilih peralatan rumah tangga, telekomunikasi dan semikonduktor sebagai lini bisnis inti. Samsung Electronics kemudian menjadi perusahaan inti yang mengontrol anak perusahaan yang lain.

Pada masa kepemimpinan Kun-hee pulalah, Samsung dipecah menjadi enam perusahaan: Samsung, Hansol, Saehan, Shinsaegae, CJ, dan JoongAng Ilbo. Selebihnya kemudian adalah sejarah. Sejak saat itu, Samsung tidak pernah menghentikan lajunya, bahkan hingga saat ini, setelah menyandang status sebagai produsen smartphone paling laris di dunia.

Mendahului Sony

Laju Samsung ini berbanding terbalik dengan Sony. Pada masa-masa keemasannya sekitar tahun 1995, Sony merupakan panutan bagi perusahaan-perusahaan Korea, termasuk Samsung. Namun, seperti ditulis dalam buku berjudul "Sony vs Samsung: The Inside Story of the Electronics Giant’s Battle for Global Supremacy" yang ditulis oleh Sea-Jin Chang, dalam tempo sepuluh tahun keadaan berubah.

Perusahaan ini mengalami penurunan performa, yang berujung pada mundurnya chairman dan president Sony saat itu, Nobuyuki Idei dan Kunitake Ando, pada tahun 2005. Di sisi lain, Yun Jong-yong, chief executive officer Samsung, pada saat itu dipuji karena berhasil mengubah Samsung Electronics menjadi salah satu perusahaan paling menguntungkan di industri elektronik dunia.

Baca juga laporan Tirto mengenai sejarah perkembangan Sony.

Hal itu terjadi hanya tiga tahun setelah Erick Kim yang ditunjuk menjadi direktur marketing global Samsung Electronics menyatakan bahwa perusahaan itu memiliki ambisi untuk mengangkat tingkat ekuitas merek ke tingkat yang sama dengan Sony. Sebuah hal yang juga telah menjadi ambisi Jong-yong sejak ia mengambil alih perusahaan Korea Selatan itu pada tahun 1996.

Pada tahun 2005, Samsung berhasil meraih ambisi untuk memiliki nilai merek yang lebih tinggi dari Sony dengan berada pada peringkat 20 dari daftar 100 Perusahaan Top yang dibuat Interbrand dengan nilai $14,9 miliar. Sony, di sisi lain, hanya menduduki peringkat 28 dengan nilai $10,7 miliar, seperti yang tertulis pada buku berjudul "Samsung Electronics and the Struggle for Leadership of the Electronics Industry" oleh Anthony Michell.

Kini Sony sudah tertinggal jauh dari Samsung. Pada tahun 2015 lalu, Interbrand menempatkan Sony pada peringkat 58 dengan nilai $7,7 miliar. Samsung? Perusahaan itu berada di peringkat ke-7, dengan nilai $45,3 miliar.

Samsung adalah representasi nyata bahwa tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini.

Baca juga artikel terkait SEJARAH PERUSAHAAN atau tulisan lainnya dari Ign. L. Adhi Bhaskara

tirto.id - Bisnis
Reporter: Ign. L. Adhi Bhaskara
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti