tirto.id - Pada 1979, melalui buku berjudul Japan as Number One: Lessons for America, profesor emeritus dari Universitas Harvard Ezra Vogel menyebut bahwa Jepang, bukan Barat, akan menjadi pemimpin dunia di masa depan berkat perkembangan teknologi yang begitu dahsyat. Usai Perang Dunia II, diwakili oleh Sony, Toyota, Toshiba, Honda, Sharp, Panasonic, hingga Mitsubishi, Jepang perlahan menjadi negara yang menguasai pelbagai perangkat berbasis teknologi yang digunakan masyarakat dunia kala itu. Pikir Vogel, hanya waktu yang memisahkan Jepang dengan kedigdayaan tak terbantahkan.
Lebih dari empat dekade usai buku itu terbit, waktu yang memisahkan Jepang dengan kejayaan mutlaknya tak kunjung berakhir. Teknologi Jepang kini malah kian tertinggal. Di bidang pertelevisian, misalnya, kekuatan Jepang menguasai 'kotak ajaib' luntur manakala Panasonic, Mitsubishi, dan Hitachi menyerah memproduksi teknologi ini beberapa tahun lalu. Yang lebih menohok, perusahaan asal Taiwan bernama Hon Hai kini menjadi pemegang saham mayoritas Sharp, dan karenanya Sharp memproduksi televisi (dan panel LCD) hanya untuk Hon Hai.
Di bidang teknologi lain, kekuatan Jepang pudar pula karena Sony, yang sempat menjadi raja segala perangkat elektronik, kian melempem ditelan zaman dengan hanya menyisakan PlayStation sebagai produk utama. Juga Toyota, si raja empat roda, yang tergerus Tesla dalam perlombaan menciptakan mobil listrik. Nikkei Business Publication yang membongkar (teardown) Tesla Model 3 dan memeriksa modul central control unit alias Hardware 3--semacam System-on-Chip (SoC) pada ponsel--menyebut bahwa teknologi Toyota tertinggal enam tahun dari Tesla.
Dengan kian memudarnya kekuatan di dunia teknologi, waktu yang memisahkan Jepang dengan kejayaan mutlaknya sangat mungkin tak akan pernah berakhir. Dalam konteks itu, ada satu negara yang mencuat dan sangat mungkin menggantikan posisi Jepang gara-gara teknologinya. Negeri itu adalah Korea Selatan.
Dari Negara ke Swasta
Dalam studi berjudul "Science, Technology, and the Imaginaries of Development in South Korea" (Development and Society Journal Vol. 46 2017), Kim Sang-hyun, peneliti di Universitas Hanyang, Seoul, Korea Selatan menyebut sains dan teknologi pertama kali diperbincangkan dalam lingkup kekuasaan pada akhir abad ke-19. Korea yang saat itu di bawah kekuasaan Dinasti Joseon (1392-1897) menganggap sains dan teknologi Barat sebagai "pengetahuan barbar," bukan "kunci kemasyarakatan yang unggul," sehingga tiada alasan untuk mengadopsinya.
Ini terjadi karena melalui sains dan teknologinya Barat melakukan tindakan-tindakan tak terpuji, semisal penjajahan dan perdagangan paksa. Ia dianggap tak sesuai dengan prinsip-prinsip Konfusianisme, ajaran moral yang menekankan hal-hal yang terkait dengan kebajikan, kebijaksanaan, dan keselarasan dengan bertindak sesuai dengan kedudukan masing-masing di masyakat.
Di tengah zaman WijongChoksa atau krisis kepercayaan masyarakat terhadap Dinasti Joseon, keengganan mengadopsi sains dan teknologi ala Barat ditentang banyak pihak, terutama para intelektual. Terlebih usai Barat berhasil memaksa Korea membuka diri untuk perdagangan pada 1876, para penentang melihat bahwa sains dan teknologi ala Barat terbukti membuat negara yang memanfaatkannya unggul serta mampu memperkuat pertahanan. Para penentang pun terkesan dengan kesuksesan Jepang memperkuat diri melalui Restorasi Meiji, dilakukan melalui pengadopsian sains dan teknologi Barat.
Maka, bagi para penentang, sains dan teknologi Barat wajib diadopsi guna membuat Korea dipandang dunia.
Dengan banyaknya tekanan dan fakta bahwa manfaat sains dan teknologi terpampang di depan mata, pada awal abad ke-20 Korea akhirnya mengadopsi sains dan teknologi Barat sebagai bagian dari tongdosogi alias "pembangunan nasional" yang dipercaya dapat mendorong terwujudnya 'pencerahan nyata'. Masih merujuk Sang-hyun, 'pencerahan nyata' merupakan upaya Korea untuk menghindarkan diri dari penjajahan. Ini terjadi karena, merujuk editorial salah satu edisi koran Tongailbo pada 1921, Korea tengah berada di zaman 'hukum persaingan besi' di mana yang kuat mengeksploitasi yang lemah. Dengan dasar itu sains dan teknologi Barat pertama-tama dipakai untuk memperkuat militer.
Meskipun sains dan teknologi ala Barat telah diterapkan sejak awal abad ke-20, sebagaimana dipaparkan Walter Arnold dalam artikel berjudul "Science and Technology Development in Taiwan and South Korea" (Asian Survey Vol. 28 1988), Korea Selatan baru benar-benar membangun sains dan teknologi pada dekade 1960-an. Ini terjadi karena usai Dinasti Joseon lengser, Jepang mengokupasi Korea hingga 1945 dan konflik dengan Korea Utara dalam konteks Perang Dingin yang baru selesai pada 1953 lewat gencatan senjata.
Pada dekade itu, pembangunan sains dan teknologi sepenuhnya dipelopori oleh negara, yang diterjemahkan melalui pembangunan infrastruktur industri berbasis teknologi yang dibantu asing, khususnya AS, Eropa, dan Jepang. Untuk mempercepat transfer pengetahuan, mereka menerapkan Technology Promotion Law, produk hukum yang mewajibkan alih teknologi dari orang asing ke warga lokal. Selain itu, pada akhir dekade tersebut Korea Selatan mendirikan Kementerian Sains dan Teknologi dan, dibantu dana dari US Agency for International Development (USAID), bimbingan US National Academy of Science, Korea Institute of Science and Technology serta Korea Advanced Institute of Science.
Korea Selatan melangkah lebih jauh pada dekade 1970-an. Kembali merujuk karya Arnold, negara di Asia timur yang mulai membangun hubungan diplomatik dengan Indonesia pada 1973 ini kemudian mewajibkan perusahaan-perusahaan lokal untuk membangun pusat riset dengan iming-iming insentif atau keringanan pajak. Untuk masing-masing korporasi besar, otoritas meminta satu pusat riset. Perusahaan kelas kecil-medium juga wajib melakukannya, hanya saja dapat dikerjakan lewat konsorsium usaha setipe. Hasilnya, hingga awal 1980-an, tercipta 129 institusi riset swasta dan 18 konsorsium riset.
Maka terjadilah pergeseran roda penggerak, yakni dari negara ke swasta. Dan yang menarik, karena perubahan roda penggerak inilah muncul perusahaan swasta raksasa yang tentu kita kenal: Samsung.
Republik Samsung
Di suatu malam pada 1936, seorang pemuda Korea berusia 26 tahun bernama Lee Byung-chul terhanyut dalam mimpi buruk: anaknya tenggelam di laut. Baginya, di tengah kenyataan bahwa negerinya tengah menghadapi nasib buruk karena dijajah Jepang, mimpi buruk tersebut sangat mungkin menjadi kenyataan.
"Aku telah menyia-nyiakan waktuku," pikir Byung-chul tatkala terbangun. "Sekarang, aku nampaknya harus menetapkan tujuan hidup."
Terlahir dari keluarga yang cukup terpandang dan berada, yang membuatnya mampu mengenyam pendidikan di Universitas Waseda, Tokyo, Jepang, Byung-chul memantapkan diri bahwa tujuan hidupnya adalah menjadi seorang pebisnis. Tak lama usai mimpi buruk itu, ia lalu mendirikan perusahaan perdagangan beras. Sayangnya, karena bisnis adalah barang baru baginya hal baru, usaha itu hanya berumur setahun.
Tak ingin hanyut dalam kesedihan, Byung-chul memilih berlibur ke Cina. Di negeri yang juga tengah dijajah Jepang itu ia melihat betapa bisnis sayur-mayur dan bahan pangan tengah menggeliat. Maka, sebagaimana ditulis Geoffrey Cain dalam buku Samsung Rising: The Inside Story of the South Korean Giant That Set Out to Beat Apple and Conquer Tech (2020), pada Maret 1938 Byung-chul memutuskan untuk mendirikan usaha kecil-kecilan yang bergerak di bidang ekspor sayuran dan ikan kering dari Korea Selatan ke Cina.
Usaha itu, yang diterjemahkannya dalam bentuk toko kecil yang berlokasi di Daegu, ia namakan Samsung Sanghoe alias 'Toko Bintang Tiga'.
"Sam dalam Samsung," kata Byung-chul, "merupakan simbol dari sesuatu yang besar, banyak, dan kuat." Sementara "Sung berarti bintang yang amat terang, yang mengangkasa sangat tinggi di langit." Maka, dalam benak Byung-chul, Samsung merupakan nama yang dapat diterjemahkan sebagai "sesuatu yang besar, kuat, dan bersinar selamanya."
Yang menarik, makna "Samsung" yang dipaparkan Byung-chul tersebut sangat mirip dengan perusahaan Jepang bernama Mitsubishi alias 'Si Tiga Berlian'. Merujuk Cain, "Samsung" dan "Mitsubishi" bermakna identik karena Byung-chul memang ditempa oleh institusi pendidikan Jepang, negeri yang sangat ia kagumi. Byung-chul khususnya sangat mengagumi zaibatsu atau "klan kaya raya", konsep bisnis ala Jepang di mana suatu perusahaan dibangun dan dibesarkan hanya oleh anggota keluarga tanpa bantuan tenaga atau modal dari orang-orang yang tidak memiliki hubungan darah (pada manajemen tingkat tinggi).
Dari konsep bisnis ini lahir perusahaan raksasa seperti Mitsubishi, yang di waktu paling terang dalam sejarah perusahaan--di tengah Perang Dunia II--memiliki lebih dari satu juta tenaga kerja. Selain berhasil menggenjot ekonomi, Mitsubishi berhasil pula memengaruhi dunia perpolitikan Jepang.
Byung-chul, singkat kata, ingin memiliki usaha yang sama kuatnya dengan Mitsubishi.
Keinginan Byung-chul memiliki usaha yang sama cemerlangnya dengan Mitsubishi perlahan menampakkan titik terang. Hanya dalam hitungan bulan, usaha ekspor sayur-mayurnya tersebut berbuah hasil sehingga membuatnya dapat mengumpulkan dana untuk membeli perusahaan penyulingan bir, Chosun.
Tak sampai tujuh tahun mengembangkan Samsung Sanghoe, keberuntungan lain (atau petaka dilihat dari sisi Jepang) menghampiri Byung-chul. Kala itu, pada 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang membuat Jepang terpaksa mengakhiri hasratnya berkuasa di Asia Timur hingga Asia Tenggara. Di bawah kekuasaan AS pada Jepang dan bekas koloninya (termasuk Korea Selatan), Byung-chul menjalin hubungan dengan Paman Sam atas bantuan ayahnya.
Ia, selain membeli universitas lokal dan surat kabar atas aksi penjualan Chosun, mendirikan serikat bisnis bernama 'Ulyuhoi' yang mengandung arti patriotik, "kemerdekaan dari Jepang," untuk menyanjung keberhasilan AS mengalahkan Jepang. Dari serikat yang didirikan untuk memperoleh simpati AS ini, Byung-chul akhirnya memperoleh semacam perlindungan dari AS, termasuk, mengutip Cain, "ikut serta dalam diskusi-diskusi serius tentang filosofi bisnis dan masa depan negara."
Karena perlindungan dari AS inilah usaha Byung-chul kian lancar. Pada 1947, ia akhirnya memusatkan segala bisnis ke Seoul.
Tapi itu semua tak berlangsung lama. Nasib mujur Byung-chul tertahan--untuk sementara--pada Juni 1950. Kala itu, leluhur Yang Mulia Kim Jong-un berhasrat menjadikan seluruh wilayah Korea dalam genggaman komunisme. Seoul diambil alih. Byung-chul, yang pro-Amerika, dianggap musuh komunisme dan karenanya segala usahanya dihancurkan kakek moyang Kim Jong-un. Byung-chul beserta karyawannya berhasil kabur dari kota menggunakan lima truk. Beruntung pula, hanya dalam waktu tak kurang dari tiga bulan, militer yang dipimpin Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berhasil memukul mundur orang-orang Utara itu.
Byung-chul, pada akhir 1950, memulai kembali bisnis dari nol. Nasib sial menghampirinya kembali pada 1953 gara-gara Perang Korea meletus.
Tatkala Perang Korea berakhir, Byung-chul berhasil menjalin relasi dengan presiden pertama Korea Selatan yang memimpin dengan otoriter, Syngman Rhee. Dari hubungan ini, Byung-chul diganjar proyek-proyek padat modal dari negara, termasuk proyek untuk mengimpor bahan baku mentah seperti kain wol dan mengubahnya menjadi pakaian di dalam negeri.
Berkat proyek-proyek negara, Byung-chul bertransformasi menjadi salah satu sosok paling kaya--sekaligus simbol korupsi--di Korea Selatan. Ia membangun pabrik gula, membeli saham mayoritas pada sebuah bank dan asuransi, perusahaan ritel, hingga universitas.
Byung-chul, dengan demikian, adalah generasi pertama kaum Chaebol, grup konglomerat berbasiskan keluarga yang pertumbuhannya dibantu dengan sangat intensif oleh rezim dengan harapan dapat menyerap tenaga kerja, menambah pemasukan negara, hingga memperluas pembangunan infrastruktur.
Saking kagumnya dengan konsep zaibatsu, Byung-chul membagikan perusahaan ke anak-anaknya (Byung-chul memiliki lima anak perempuan dan tiga laki-laki), dengan si 'Toko Bintang Tiga' menjadi pusatnya.
Lalu, untuk mempertahankan kesuksesan, anak-anaknya yang telah diberi kekuasaan itu ia nikahkah dengan anak-anak dari keluarga terpandang di Korea Selatan. Anak pertama 'dipaksa' menikah dengan keturunan salah satu gubernur di Korea Selatan; anak bungsunya, Lee Kun-hee, dinikahkan dengan anak salah satu menteri. Byung-chul pun mendirikan surat kabar bernama JoongAng Ilbo guna membendung citra buruk yang mungkin menghantamnya.
Melalui kekayaan, strategi pernikahan, dan JongAng Ilbo, Byung-chul mendapatkan posisi terhormat. Tatkala Park Chung-hee berkuasa secara otoriter pada dekade 1960-an, ia memperoleh banyak proyek dari sang jenderal. Ia pun didaulat sebagai Ketua Federasi Industri Korea.
Berposisi sebagai ketua federasi membuat Byung-chul memperoleh kesempatan mengakumulasi modal dari bidang industri berbasis teknologi--yang mulai dikembangkan Korea Selatan pada 1960-an. Ia berhasil membeli perusahaan Korea Semiconductor atas restu negara yang membuat Samsung Sanghoe memiliki lini bisnis teknologi. Korea Semiconductor, yang sebelumnya hanya membuat perangkat elektronik murahan, ia paksa untuk dapat memproduksi memori cip. Byung-chul diyakinkan oleh pendiri Apple Steve Jobs yang datang pada awal 1980-an bahwa Samsung dapat memproduksi barang tersebut. Usaha baru ini diiringi dengan mendirikan pusat riset seperti yang dikehendaki negara.
Transformasi Samsung Sanghoe menjadi Samsung yang kita kenal hari ini dimulai pada akhir 1980-an, tatkala anak bungsu Byung-chul yang doyan nonton film Hollywood sambil rebahan di usia belia bernama Lee Kun-hee ditunjuk untuk mengurus Samsung--ini membuat anak tertua, Lee Maing-hee, murka. Kun-hee berupaya keras mengubah Samsung atau Korea Semiconductor karena suatu ketika saat berkunjung ke AS, ia merasa terhina karena produk-produk elektronik buatan perusahaannya ditempatkan di rak terbawah.
"Kalian ini ngapain aja, sih, selama ini?" murka Kun-hee pada karyawannya. Dalam tamasya perusahaan di Frankfurt, Jerman, pada 1993, si bos besar memerintahkan: "Ubah diri kalian kecuali istri dan anak" demi membangun Samsung.
Editor: Rio Apinino