tirto.id - Siapa presiden terbaik sepanjang masa Korea Selatan? Pada tahun 2005, jawabannya adalah Park Chung Hee. 10 tahun kemudian, ketika lembaga Gallup Korea melakukan survei dengan topik yang sama selama tiga hari, 4 sampai 6 Agustus 2015, dan melibatkan 1.000 orang yang terdiri dari perempuan dan laki-laki berumur di atas 19 tahun, jawabannya pun masih sama: Park Chung Hee merupakan presiden paling sukses di Korsel sejak kemerdekaan dari Jepang.
Kesuksesan Park menyebar di banyak hal: pembangunan ekonomi, Saemaul Undong (pembangunan desa), hingga pembangunan jalan tol Gyeongbu yang menghubungkan Seoul-Busan. Harum nama Park sampai sekarang masih melebih anaknya,Park Geun-hye, presiden ke sebelas sekaligus presiden perempuan pertama Korsel.
Park berkuasa saat Korsel tengah dalam kesulitan ekonomi paska Perang Korea tahun 1953. Korsel saat itu belumlah menjadi negara ideal yang bisa menyelenggarakan pertemuan G-20 atau negara dengan total ekspor satu tahun sebesar U$D 600 miliar sekaligus negara dengan produksi barang dalam negeri 11 teratas.
Kala itu, jenderal Amerika Serikat yang membantu Korsel perang dengan Korea Utara, Douglas MacArthur, memprediksi: “Korsel butuh 100 tahun untuk pulih dari kehancuran.” Kalimat itu kelak dipigura di Museum Nasional Sejarah Kontemporer Korsel mungkin sebagai pengingat: omongan Douglas salah total.
Pemikiran Park untuk memperbaiki negaranya seringkali terlampau orisinil dan tak dipahami orang lain di masa itu. Misalnya saja ketika ia memutuskan untuk membuka keran perdagangan Korsel dengan Jepang usai dua tahun menjabat. Keputusan itu terhitung kontroversial karena "memaksa" Korsel bekerja sama dengan mantan penjajahnya sendiri.
Tapi, toh, Park tetap menandatangani perjanjian normalisasasi hubungan negara dengan Jepang. Dengan perjanjian tersebut, Jepang kemudian wajib memberikan dana U$D 300 juta dan pinjaman sebesar U$D 200 juta untuk modal ekonomi Korsel. Selain itu, Korsel juga berhak meminta bantuan teknisi atau teknologi langsung dari Jepang.
Fokus Park kala itu tertuju pada perbaikan industri besar yang dikuasai konglomerat Korea (chaebol). Sebab itu, dana yang diberikan Jepang kemudian segera dipinjamkan kepada pengusaha dan korporasi, antara lain: Ssangyong Cement, Shinjin Motors, Hyundai, dan Samyang.
Dosen Universitas Standford, Dan Sneyder, menyebut bahwa langkah Park saat itulah yang kelak menjadi fondasi ekonomi Korsel sampai bisa seperti sekarang.
“Saya pikir, sebagian besar ekonom sejarah setujuh bahwa pemberian dan pinjaman besar yang diberikan Jepang kala itu adalah benih dari industri Korsel yang kita lihat sekarang, salah satu pemimpin industri modern dunia,” kata Sneyder.
Fokus Park selanjutnya adalah membangun jalan tol. Jika di Indonesia, Presiden Joko Widodo dikritik karena ngotot mengebut pembangunan jalan tol di banyak titik, Park sudah mengalaminya hampir setengah abad lalu, tepatnya tahun 1970. Salah satu media daring di Korsel menyebut bahwa pihak oposisi sengaja membangun narasi negatif tentang niatan Park.
"Buat apa negara yang pendapatan nasional per kapita hanya U$D 142 butuh jalan tol?” tulis Chosun terkait omongan oposisi kala itu.
Pada akhirnya, Park sendiri yang memimpin pembangunan itu dengan memanfaatkan tenaga dan mesin-mesin yang dimiliki militer. Hasilnya, terciptalah jalan sepanjang 428 kilometer dengan 353 jembatan dan 12 terowongan. Ekonom dari Korea, Byung-Doo Choi, meyakini keuntungan yang didapat dari jalan tol Gyeongbu atau biasa disebut Gyeongbu Expressway tersebut mencapai 287,4 miliar won per tahun.
Sebagian besar warga Korsel, juga pengamat politik dan ekonomi global, tentu sepakat bahwa apa yang dicapai Negeri Gingsen itu sekarang tidak lepas dari peran Park. Dan fenomena kebangkitan ekonomi Korsel itu dikenal dengan sebutan The Miracle of Han(gang) River.
Otoriter dan Menculik Lawan Politik
Persoalannya, di balik kesuksesannya sebagai penggembleng ekonomi Korsel, Park juga dikenal sebagai pemimpin yang otoriter. Tak sedikit pula orang menganggapnya seorang diktator.
Ketika masih berkuasa di tahun 1971, Park mempengaruhi Majelis Nasional agar mengubah aturan konstitusi Korea dengan meniadakan batasan seseorang menjabat sebagai presiden. Dia juga mengarahkan perubahan masa jabatan presiden menjadi enam tahun untuk satu periode.
Pada tahun yang sama pula, Park menerapkan junta militer dan membiarkan tentara berjaga di dalam kampus untuk menekan demonstrasi. Di pengujung tahun 1971, ia lantas membubarkan Majelis Nasional dan melarang seluruh aktivitas politik.
Memasuki tahun 1972, sikap otoriter Park makin tak terkendali. Dia membuat aturan baru yang bernama Yushin Constitution. Meski arti Yushin adalah revitalisasi reformasi, tapi konstitusi baru ini hanya menjadi alat politik Park memperluas kekuasaannya.
Di dalam konstitusi yang baru, Park kemudian memutuskan Majelis Nasional tetap bisa ada, tapi presiden berhak memilih sepertiga dari anggota Majelis Nasional. Dengan menguasai Majelis Nasional dan militer, tak ada yang bisa menghentikan Park.
Media pun juga diarahkan untuk membuat berita sesuai arahan Park. Mereka yang tak menurut akan ditangkap atau medianya dibreidel. Selain itu, para akademisi dan politikus lain yang bersikap oposisi turut dijebloskan ke penjara.
Satu kisah tindakan represi Park yang tidak tanggung-tanggung adalah penangkapan Kim Dae Jung, rival Park dalam pemilu presiden Korsel 1971. Penyebabnya tak lain karena ia banyak mengkritik Park terkait adanya konstitusi Yushin. Meski Kim kemudian mengungsi ke Jepang, Park tidak lantas meloloskannya.
Berdasarkan perintah Park, agen intelijen Korsel (KCIA) mendatangi Kim di Tokyo pada tahun 1973. Ia lalu diculik dan dibawa ke Korsel. Saat itu, misi KCIA dari Park bahkan bukan sekadar menculik, melainkan juga bunuh. Meski demikian, pembunuhan itu tak pernah terjadi. Setelah lima hari penculikannya, Kim tiba-tiba muncul di Seoul dengan dipenuhi bekas memar dan dijadikan tahanan rumah.
Selamatnya nyawa Kim dikarenakan adanya intervensi dari pihak AS melalui Duta Besar mereka untuk Korsel, Philip Habib. Tidak pernah ada yang benar-benar tahu apa yang dilakukan Philip saat itu, kecuali Kim dan sebagian orang dekatnya. Ia sempat mengenang kembali peristiwa penculikannya tersebut dalam pidato penerimaan Nobel Perdamaian tahun 2000.
Dua tahun kemudian, kisah penculikan itu diadaptasi ke dalam film berjudul KT (2002).
Dibunuh Teman Baik
Kepemimpinan Park yang otoriter sekaligus progresif itu juga menghadirkan banyak musuh dari dalam dan luar negeri. Pihak Korea Utara, misalnya, sempat dua kali melakukan percobaan pembunuhan kepada Park ketika ia masih menjadi presiden.
Percobaan pembunuhan pertama dilakukan oleh 31 orang yang berasal dari unit 124 pasukan khusus Korut. Peristiwa ini dikenal dengan nama Blue House Raid, merujuk pada lokasi tempat kejadian di kediaman presiden Korsel.
Angka yang ganjil dari pasukan ini bukan untuk “cocoklogi” atau pungsu-jiri (sejenis fengshui versi Korea), melainkan bukti keseriusan pihak Korut untuk membunuh Park. Anggota mereka dipilih berdasarkan seleksi dan dibentuk secara khusus hanya untuk satu tujuan itu.
“Kami adalah yang terbaik,” kata salah satu anggota pembunuh, Kim Shin-jo. Dia adalah satu-satunya yang berhasil ditangkap hidup-hidup dalam tragedi berdarah itu. “Dari 1000 agen, hanya terpilih 31.”
Usaha itu digagalkan ketika polisi Korsel yang curiga menghentikan mereka di jarak kurang dari 1 mil dari Blue House. Baku tembak terjadi dan puluhan orang menjadi korban dalam peristiwa itu, terutama warga sipil.
Kisah ini berujung panjang. Korsel lantas berupaya membalas Korut dengan membuat pasukan khusus yang diberi nama unit 684, beranggotakan 31 orang sipil serta sebagian pelaku kriminal. Namun, pada akhirnya misi ini dibatalkan. Fakta ini diabadikan dalam film berjudul Silmido (2003) merujuk pada lokasi pelatihan pasukan tersebut.
Percobaan pembunuhan kedua kepada Park nyaris berhasil sebab terjadi pada momen yang juga lebih baik. Ketika Park berpidato di hari kemerdekaan Korea 15 Agustus 1974, tiba-tiba pria bernama Mun Se-gwang, seorang simpatisan Korut, meletuskan tembakan ke arah podium National Theatre, tempat Park berpidato.
Naasnya, tembakan tersebut meleset dan peluru justru mengarah ke istri Park, Yuk Young-soo, yang berada di sebelah kiri belakang suaminya. Dia pun meninggal saat sampai di rumah sakit. Sementara pelaku segera diringkus. Namun, alih-alih panik, Park tetap memasang sikap tegar. Dia segera kembali ke podium dan melanjutkan pidatonya. Keberanian tersebut kemudian disambut tepuk tangan.
“Saya akan melanjutkan [pidato],” kata Park. Setelah selesai, barulah dia mengambil sepatu dan tas istrinya.
Seberapa besar kesedihan Park kehilangan istrinya baru diketahui setelah catatan hariannya dibuka, salah satunya oleh jurnalis Don Oberdorfer dalam The Two Koreas: A contemporary history (2001).
“Hari ini setahun yang lalu adalah yang terpanjang dalam hidupku, sekaligus paling menyakitkan dan menyedihkan. Pikiranku kosong karena duka dan keputusasaan. Aku merasa kehilangan semuanya di dunia ini. Segala hal menjadi beban dan aku kehilangan keberanian dan hasrat,” tulis Park pada 15 Agustus 1975.
Dua kali lolos dari percobaan pembunuhan oleh pihak Korut, Park justru tewas di tangan warga, bawahan, sekaligus teman baiknya sendiri. Adalah Kepala Badan Intelijen Korea Selatan (KCIA) kala itu, Kim Jae-Gyu, yang menjadi pelakunya. Konon, kedekatan di antara mereka pula yang membuat Park mengangkat Kim sebagai Ketua KCIA, institusi yang sangat kuat dan ditakuti masyarakat kala itu.
Pembunuhan Park terjadi pada 26 Oktober 1979, tepat hari ini 40 tahun lalu, dalam sebuah acara makan malam pribadi di Blue House. Kim mengawali aksinya dengan lebih dulu menembak Kepala Pengawal Presiden, Cha Ji-chul. Ia menembak Cha dan mengenai siku kanan si pengawal. Setelah itu, ia menuju Kim dan segera menembak dada penguasa Korsel selama 16 tahun itu dengan pistol jenis Walther PPK dengan peluru 0.32 inch buatan Jerman.
“Kau juga mati saja!” serunya. Berdasarkan keterangan Sekretaris Presiden kala itu, Kim Gye-won, Kim juga sempat melepaskan satu tembakan lagi yang menembus kepala Park.
Ketika pistol yang digunakannya itu macet, Kim merebut pistol jenis Smith & Wesson Model 36 dari bawahannyalalu kembali menghampiri Cha dan menembak dadanya sampai tewas. Usai melakukan itu semua, Kim dengan tenang kembali ke bangku tempat ia duduk. Ironis: seluruh tembakan tersebut seolah justru menuntaskan misi Korut yang tak pernah berhasil.
Acara makan malam yang seharusnya menjadi penutup hari bahagia Park itu pun berubah menjadi mencekam. Dan, kelak, peristiwa ini dikenal dengan sebutan: "10.26 Incident".
Editor: Eddward S Kennedy