Menuju konten utama

Saling Klaim Jokowi-Prabowo Jadi Korban Hoaks: Picu Musim Golput

Saling tuding menyebarkan dan menjadi korban hoaks, dianggap membuat Pemilu 2019 kehilangan momen untuk mendidik pemilih.

Saling Klaim Jokowi-Prabowo Jadi Korban Hoaks: Picu Musim Golput
Para ketua partai politik peserta pemilu menandatangani deklarasi kampanye damai pemilu 2019 di Banda Aceh, Aceh, Minggu (7/10). Deklarasi kampanye damai pemuli 2019 diharapkan terwujudnya kampanye tanpa hoaks, politisasi sara dan politik uang serta pemilu yang bersih, jujur dan adil. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra/nz/18.

tirto.id - Dua kubu Capres dan Cawapres Pilpres 2019 saling klaim menjadi korban hoaks dalam masa kampanye ini. Klaim itu muncul dari masing-masing kandidat dan tim suksesnya.

Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf, Abdul Kadir Karding mengatakan, kubu Prabowo-Sandiaga sengaja memainkan strategi ala Donald Trump di Pilpres Amerika Serikat. Caranya dengan menyebar hoaks secara masif, untuk memengaruhi keadaan psikologis para pemilih, agar tak fokus pada program kampanye yang mendidik.

"Akhirnya yang muncul adalah emosi pemilih. Terus-menerus. Nanti dihadapkan program-program yang masuk ke otak gampang. Itu kemudian kalau dihadapkan data-data prestasi jadi enggak ada dampaknya," kata Karding kepada reporter Tirto, Senin (29/10/2018).

Indikasi itu, kata Karding, terlihat dari beberapa peristiwa yang terjadi belakangan. Seperti pernyataan-pernyataan kubu Prabowo-Sandiaga bahwa, pemerintahan Jokowi telah gagal menyejahterakan rakyat dan tudingan pemerintah lemah yang diutarakan tanpa data.

"Mereka nanti akan membangun banyak statement yang palsu, yang bombastis, jargon, terus-menerus untuk mengacaukan kesadaran rasional masyarakat, nantinya yang muncul adalah galau melihat politik ini," jelas Karding.

"Ini saya sampaikan supaya masyarakat tahu bahwa di politik modern itu kebaikan tidak selamanya menang," imbuhnya.

Kekhawatiran pada pernyataan dan kritik tanpa data dari politikus oposisi, juga disampaikan Jokowi melalui pernyataan "politikus sontoloyo" yang diungkapkannya pekan lalu dan kemarin, Minggu (28/10) saat menghadiri acara Partai Nasdem di Surabaya.

"Saya lahir tahun 1961, PKI bubar 1966. Pada waktu saya masih kecil. Masak ada PKI balita? Saya sampai jengkel. Ini namanya politik sontoloyo," kata Jokowi.

Pada sisi lain Prabowo Subianto pun merasa menjadi korban hoaks. Dia merasa dituding mendukung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan berdirinya khilafah islamiyah.

"Saya dari kecil mendukung NKRI. Tapi saya malah dituduh mendukung membela khilafah ISIS. Tapi ya sudah lah kalau orang sudah fitnah, kita jangan terpancing dan jangan dibikin marah," kata Prabowo di Jakarta, Minggu (28/10).

Sementara, Juru Bicara BPN Prabowo-Sandiaga, Ferry Juliantono menilai tuduhan-tuduhan kubu Jokowi-Ma'ruf bahwa pihaknya menyebarkan hoaks, merupakan strategi playing victim. Sebab ia merasa pihaknya tak pernah menyebarkan hoaks dan semacamnya.

"Program sudah ada, visi misi sudah, kami sudah bicara ekonomi, mereka masih hoaks, hoaks, mereka kali yang ngomongin hoaks, hoaks. Hobi banget sih ngomongin hoaks, hoaks," kata Ferry di Kompleks Parlemen DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (29/10/2018).

Berpotensi Meningkatkan Golput

Terkait adu klaim sebagai korban hoaks ini, pakar Komunikasi Politik UIN Jakarta Gun Gun Heryanto menerangkan, merupakan sebuah proses dialektika relasional dalam kampanye yang sengaja digunakan kandidat. Tujuannya merebut sentimen publik dan mendelegitimasi lawan.

"Itu biasanya ragam cara, seperti attacking campaign yang sifatnya negatif atau black campaign," kata Gun Gun kepada reporter Tirto.

Akan tetapi, menurut Gun Gun, cara tersebut sebenarnya tak efektif dalam meraup simpati publik. Sebab, pengolahan isu yang memainkan sisi psikologis publik dengan menempatkan diri sebagai korban kampanye negatif dan kampanye hitam lawan, sangat bergantung pada agenda setting media.

"Kalau semakin beresonansi dan punya efek running story di media mainstream itu punya pengaruh pada pe-ranking-an isu di khalayak," kata Gun Gun.

Selain itu, menurut Gun Gun, terus memainkan strategi kampanye model itu berisiko meningkatkan angka golput pada Pemilu 2019. Sebab cara itu hanya akan membuat masyarakat semakin jauh dari kesadaran kolektif bahwa, pemilu merupakan momen pemberdayaan demokrasi dan perubahan negara lewat program-program substantif.

"Kalau pemilu tidak melahirkan hope, harapan. Itu biasanya orang hopeless untuk datang ke TPS. Itu terlihat di Pemilu 2014, ketika pemilu legislatif sekitar 75 persen, di pilpres menjadi 68 persen," jelasnya.

Lebih lanjut, Gun Gun menjelaskan, dengan pemilu yang dilaksanakan serentak, peluang peningkatan golput sangat mungkin terjadi untuk pileg dan pilpres sekaligus. Oleh karena itu, lebih baik kedua kandidat fokus mengampanyekan program-program terbaiknya, daripada saling tuduh satu sama lain menyebarkan hoaks dan tindakan kampanye negatif lainnya.

"Satu-satunya cara untuk memperbaiki keadaan ini adalah tanggung jawab moral etik dari kedua kandidat bahwa kampanye itu butuh menjadi medium pemberdayaan masyarakat," tegasnya,

"Jadi harus mulai digeser di program. Sehingga masyarakat itu tahu konsep ekonomi Pak Prabowo itu apa. Konsep ekonomi Jokowi itu apa," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Politik
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana