tirto.id - Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo, yang menjadi salah satu saksi ahli di kasus korupsi penyalahgunaan izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah dilaporkan ke Polda Bangka Belitung (Babel). Pelaporan itu dilayangkan Andi Kusuma selaku Ketua Umum DPP Putra Putri Tempatan (Perpat) Babel.
Andi menilai Bambang Hero Saharjo telah memberikan keterangan palsu. Dia juga dipandang tidak memiliki kompetensi sebagai ahli yang dapat menghitung kerugian keuangan negara dari kerusakan lingkungan.
"Pada saat di persidangan ketika ditanya dalam kapasitas dia sebagai saksi ahli dia menjawab malas untuk menjawab. Artinya dia tidak menjalan tugas sebagai saksi ahli,” tutur Andi dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (10/1/2025).
Akibat perhitungan yang tidak berdasar itu, kata Andi, dampaknya bukan hanya kepada para terdakwa, namun juga lumpuhnya perekonomian di Babel. Hal itu lantaran Babel memang menjadi provinsi yang masyarakatnya berpenghasilan dari usaha timah.
Menurut Adi, saat ini Babel menjadi provinsi termiskin di Indonesia dengan angka pertumbuhan di akhir 2024 sebesar 0,13 persen dan tingkat pengangguran 4,63 persen. Daya beli masyarakat, ujar Andi, bahkan rendah karena dari 24 smelter yang ada, hanya tiga yang beroperasi.
“Jika orang menambang lalu dihitung kerusakan lingkungan dan dinilai sebagai kerusakan negara maka rusak penegakan hukum di republik ini. Tunjukan di mana yang dirusak. Siapa pelakunya?” ujar Andi.
Di sisi lain, Polda Babel mengungkapkan bahwa pelaporan tersebut masih dianalisa penyelidik. Pemanggilan saksi juga belum dilakukan hingga saat ini.
"Dalam waktu dekat akan kami laksanakan (pemanggilan saksi). Kami butuh waktu mempelajari atau menelaah dulu pengaduannya," ungkap Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Babel, Kombes Nyoman Merthadana, kepada reporter Tirto, Kamis (9/1/2025).
Sementara itu, pihak Kejaksaan Agung memandang bahwa ahli memberikan keterangannya atas dasar pengetahuan yang kemudian diolah dan dihitung oleh auditor negara. Perhitungan atas kerugian keuangan negara ini didasarkan atas permintaan jaksa penyidik.
"Pengadilan dalam putusannya telah menyatakan kerugian negara dalam perkara a quo sebanyak Rp300 T, artinya pengadilan juga sependapat dengan JPU bahwa kerugian kerusakan lingkungan tersebut merupakan kerugian keuangan negara, lalu apa yang menjadi keraguan kita terhadap pendapat ahli tersebut sehingga harus dilaporkan?" kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar kepada reporter Tirto, Kamis (9/1/2025).
Penulis: Ayu Mumpuni
Editor: Bayu Septianto