tirto.id - Mendekati setahun pandemi Corona, pemerintah Indonesia mengakui selama ini strategi tes salah sasaran. Meski capaian tes tinggi, tapi dilakukan oleh orang tanpa gejala.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyadari tes salah sasaran tidak lama setelah menempati jabatan yang ditinggalkan oleh menteri sebelumnya, Terawan Agus Putranto. “Kita tidak disiplin, cara tesnya salah,” kata Budi Gunadi dalam sebuah diskusi, Kamis (21/1).
Jumlah tes COVID-19 di Indonesia sudah memenuhi standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni 1.000 per 1 juta penduduk periode 10-16 Januari. Namun, kasus terus menjulang tinggi dan positivity rate (rasio kasus) tembus 25 persen. Artinya dari 100 orang diperiksa 25 positif atau 1 dari 4 orang dites hasilnya positif.
Tes idealnya, menurut Budi, dilakukan kepada suspek COVID-19, bukan hanya terhadap orang tanpa gejala yang tes untuk keperluan perjalanan luar kota sebagai syarat wajib atau keperluan lainnya.
Sebagai contoh kasus, seorang pejabat setingkat menteri akan menjalani tes COVID-19 dalam sepekan empat sampai kali. Antara lain untuk syarat bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Negara dan tes harian untuk memastikan sang pejabat bebas virus. Istana Negara mewajibkan setiap orang tes Corona sebelum masuk atau bertemu presiden. Protokol kesehatan Istana Negara dibuat ketat, apalagi beberapa menteri positif.
"Saya saja diswab seminggu lima kali, karena masuk istana. Emang benar begitu? Testing-kan enggak begitu seharusnya," ujar Budi.
Meski dianggap keliru, suara dari Menkes Budi berbeda dengan Airlangga Hartarto, ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KCP-PEN). Menurut Airlangga, tes Corona periode 10-16 Januari 2021 mencapai 288.137 orang atau 107,69 persen dari standar WHO.
Standar tes per pekan bagi Indonesia adalah 267 ribu orang atau patokan WHO 1.000 per 1 juta penduduk. Airlangga menyatakan, tes perlu merata ke daerah-daerah zona merah. Angka nasional tidak menggambarkan tingginya tes di daerah.
Airlangga baru-baru ini mendaku sembuh dari COVID-19, padahal tidak diumumkan pada saat terinfeksi, memicu kritik tranparansi pelacakan kontak erat.
Tes Tidak Merata & Terpusat di DKI
Tes Corona tampak memenuhi kualifikasi WHO secara nasional pada 10-16 Januari. Namun, tidak demikian dengan proporsi tes setiap provinsi.
WHO mendata provinsi dengan populasi besar hanya beberapa saja memenuhi target mencakup DKI Jakarta, Sumatera Barat, Kalimantan Timur dan Yogyakarta. DKI Jakarta jadi provinsi tertinggi untuk tes Corona.
Data tersebut berasal dair pendataan rutin oleh WHO periode tiga pekan sejak 28 Desember 2020-17 Januari 2021. Provinsi lain dianggap belum sesuai standar WHO. Padahal rasio kasus level nasional dan semua provinsi selalu di atas standar WHO sebesar 5 persen sejak awal pandemi.
Para ahli kesehatan publik sudah mengingatkan bahwa ketimpangan tes dengan rasio kasus positif tersebut menunjukkan penularan sudah tak terkendali. Kasus sebenarnya diprediksi lima kali lebih besar dari rekap kasus setiap hari. Karena laporan harian tidak mewakili kondisi hari yang sama, melainkan beberapa hari bahkan minggu sebelumnya. Laporan nasional bergantung laboratium bekerja.
Epideimolog Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan kesalahan strategi tes Corona telah diingkatkan sejak awal pandemi.
"Apa yang disampaikan [Menkes] ini bukan hal yang aneh karena sudah diingatkan dari awal pandemi dan ini juga banyak diingatkan melalui media dan beberapa forum diskusi," kata Dicky kepada reporter Tirto, Jumat (22/1/2021).
Saat sudah diingatkan, pemerintah tidak segera merespons dan hanya menebar janji akan menaikkan tes. Tapi kenyataannya sampai sekarang tes masih di bawah standar dan keliru penerapannya.
Belum genap sebulan bertugas, Menkes Budi didesak untuk menunjukkan perbaikan strategi tes. Setelah mengkritik tes salah, Budi diharapkan mampu menangani pandemi dengan strategi mendasar yakni tes, pelacakan kontak dan perawatan.
Dicky juga menyebut, saran dari WHO kepada pemerintah Indonesia selama pandemi diabaikan. Misalnya terkait capaian tes di provinsi yang rendah dan tingginya rasio kasus. Sampai saat ini menurutnya perbaikan belum juga terlihat.
"Sejak awal Januari 2021 sampai sekarang positivity rate selalu di atas 20 persen. Artinya testing dan tracing kita semakin jauh dari yang disebut ideal baik secara pelaksanaanya, sasaran maupun kuantitasnya tidak memadai," kata Dicky.
Penulis: Zakki Amali
Editor: Rio Apinino