tirto.id - Tak banyak yang bisa dilakukan pemerintah untuk menagih utang dana talangan ganti rugi lumpur Sidoarjo dari PT Minarak Lapindo Jaya. Hingga tenggat pembayaran lewat pada 10 Juli lalu, entitas cucu usaha Bakrie Grup itu baru membayar Rp5 miliar dari total utang sebesar Rp781.688.212.000.
Dirjen Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan, Isa Rachmawata mengatakan, pihaknya masih menggunakan upaya persuasif agar perusahaan tunjukkan Lapindo Brantas Inc,. itu melunasi kewajibannya.
Pemerintah, kata Isa, tak bisa mengeksekusi aset yang dijaminkan oleh Lapindo jika terjadi gagal bayar. Soalnya, pemerintah baru melakukan penilaian terhadap sebagian kecil aset (berupa lahan dan bangunan) yang dijaminkan Lapindo.
Berdasarkan keterangan Pusat Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (PPLS), jelasnya, baru sekitar 44 hektar lahan yang telah dilakukan apraisal (penaksiran/penghitungan ulang).
Padahal, berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terdapat ratusan hektar tanah yang dijaminkan oleh Minarak Lapindo Jaya dalam perjanjian pemberian talangan pemerintah. Nilai total aset tersebut, sesuai klaim Minarak Lapindo Jaya, mencapai Rp2.797.442.841.586.
"Apakah nanti nilainya cukup untuk menjadi jaminan utang mereka beserta bunga, dan denda. Kita belum tahu karena kita belum melakukan penilaian terhadap tanah yang sudah disertifikasi," ucapnya, Jumat (12/07/2019).
Sebenarnya, masalah kualitas aset yang dijaminkan Lapindo itu telah jadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak empat tahun lalu. Dalam LKPP 2015, auditor negara itu memberikan warning lantaran aset tersebut belum didukung surat pelepasan hak atas tanah dan bangunan--disamping belum dilakukannya apraisal oleh pemerintah.
Apalagi, proses yang perlu ditempuh Lapindo untuk mendapatkan hak atas tanah dan bangunan itu cukup panjang dan berbelit. Dalam petunjuk pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional tahun 2008, ada empat bagan alur proses yang perlu ditempuh untuk tiap tanah yang dibeli (ganti rugi) oleh Lapindo.
Masing-masing bagan tersebut mengatur mekanisme pelepasan tanah dan bangunan dari korban lumpur sesuai dengan alas hak-nya, mulai dari hak milik, Yayasan, HGB hingga tanah pemerintah daerah.
Kendati demikian, menurut Isa, pemerintah tetap mendorong Minarak Lapindo Jaya dan PPLS untuk mempercepat apraisal. Sebab, saat ini, kondisi kubangan lumpur Lapindo sudah mulai mengering dan proses pengukuran lahan yang telah ada sertifikatnya menjadi lebih mudah ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
"Bagian yang jadi perhatian kami, kalau ini akan berlangsung lama, tentu, kan, membuat biayanya (utangnya) nambah terus. Jadi kami sudah meminta kepada Minarak dan PPLS harus lebih gencar dan giat lagi melakukan proses sertifikasi dan apraisal," jelasnya.
Sita Aset Bukan Solusi
Pengamat Perkotaan Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mengkritisi pelunasan dana talangan dari pemerintah yang diberikan kepada Lapindo. Bila proses itu sampai mandek, dan pemerintah harus menyita aset jaminan, konsekuensinya adalah penambahan anggaran untuk perawatan aset.
''Kalau disita dan diambil negara, apa itu setimpal dan menguntungkan? Kalau enggak, kan, pemerintah rugi, dan harus jaga asetnya juga. Ini harus dihindari,'' kata Joga. Lantaran itu lah, menurut Joga pelunasan secara tunai adalah opsi yang terbaik untuk saat ini.
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Fahmi Radhy menilai skema dana talangan yang digelontorkan pada 2015 itu mengunci pemerintah. Pasalnya, tak mungkin pemerintah bisa mengeksekusi jaminan yang kini nilainya sudah jauh menyusut.
Sementara di sisi lain, keuangan Lapindo tak memungkinkan untuk melunasi pembayaran utang ke pemerintah yang sudah jatuh tempo.
Menurut Fahmi, Bakrie harusnya dapat memberikan personal guarantee seperti yang pernah dilakukan William Soeryadjaya saat binsis anaknya, Edward, bangkrut dan punya utang Rp1 triliun lebih. Bahkan, William saat itu menjual seluruh sahamnya di PT Astra Internasional untuk membayar kewajiban putranya itu paska keruntuhan Bank Summa.
"Memang tidak ada kewajiban bagi Aburizal Bakrie untuk membayar utang anak usahanya karena mungkin saham dia di Lapindo hanya beberapa persen dan tidak tahu berapa jumlahnya sekarang. Tapi ini soal kehormatan. Dan image dia sebagai pengusaha dilihat dari tanggungjawabnya," pungkas Fahmi.
Lapindo Klaim Punya Piutang ke Pemerintah
Melalui siaran pers pada 25 Juni 2019 lalu PT Minarak Lapindo Jaya tak membantah bahwa pihaknya masih belum dapat mencicil dana talangan itu secara rutin sejak tanggal 10 Juli 2015. Posisi utang untuk melunasi pembelian tanah dan bangunan warga terdampak luapan lumpur Sidoarjo itu, saat ini sebesar Rp773.382.049.559 belum termasuk denda serta bunga sebesar 4,8 persen per tahun.
Namun, PT Minarak Lapindo Jaya serta Lapindo Brantas, Inc. mengaku memiliki piutang kepada pemerintah sebesar USD138.238.310,32 (seratus tiga puluh delapan juta dua ratus tiga puluh delapan ribu tiga ratus sepuluh dan tiga puluh dua sen Dollar Amerika). Piutang itu merupakan dana talangan kepada pemerintah atas Penanggulangan Luapan Lumpur Sidoarjo yang dilakukan perusahaan pada kurun 29 Mei 2006 hingga 31 Juli 2007. Artinya, pemerintah masih memiliki utang kepada Lapindo sebesar Rp1,9 Triliun untuk penanggulangan luapan lumpur.
"Piutang kepada Pemerintah tersebut telah diketahui oleh BPKP pada saat melakukan Special Audit terhadap Pembukuan Lapindo Brantas, Inc. dan PT Minarak Lapindo Jaya pada bulan Juni tahun 2018," sebut Lapindo dalam keterangan resmi yang diterima Tirto, Selasa (25/6/2019).
Piutang kepada Pemerintah itu, sebut Lapindo, juga telah diverifikasi oleh SKK Migas sebagai biaya yang dapat diganti (cost recoverable) pada bulan September tahun 2018, sesuai dengan surat SKK Migas No SRT-0761/SKKMA0000/2018/S4 tanggal 10 September 2018. Piutang itu lah yang bakal digunakan Lapindo untuk melunasi utang-utangnya yang bakal jatuh tempo pada Juli mendatang. Pelunasan utang dengan skema "perjumpaan utang" tersebut telah disampaikan kepada pemerintah melalui surat Nomor 586/MGNT/ES/19 pada 12 Juni 2019.
"Kami sudah mengajukan permohonan kepada Pemerintah melalui Departemen Keuangan untuk dilakukan pembayaran utang dengan mekanisme Perjumpaan Utang, yaitu menjumpakan Piutang Kepada Pemerintah sebesar USD138,238,310.32 atau setara Rp1,9 Triliun dengan Pinjaman Dana Antisipasi Rp773.382.049.559," tulis Lapindo.