tirto.id - Dirjen Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan, Isa Rachmawata menyatakan pemerintah bakal tetap menagih utang Minarak Lapindo Jaya yang telah jatuh tempo pada 10 Juli lalu.
Isa mengatakan hal tersebut lantaran tanah dan aset Lapindo yang dijaminkan belum bisa dieksekusi oleh pemerintah. Hingga saat ini, pemerintah melalui Pusat Penanggulangan Lumpur Lapindo (PPLS) baru melakukan penilaian terhadap sebagian kecil lahan yang dijaminkan tersebut.
"Jaminan di daerah terdampak, yang dihitung sertifikatnya, baru 44 hektar. Itu di sertifikasi yang dihitung ulang nilainya itu sudah diserahkan ke PPLS," kata Isa di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta pada Jumat (12/9/2019).
Padahal, berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terdapat ratusan hektar tanah yang dijaminkan oleh Minarak Lapindo Jaya dalam perjanjian pemberian talangan pemerintah. Nilai total aset tersebut, sesuai klaim Minarak Lapindo Jaya, mencapai Rp2,79 triliun.
Karena pemerintah baru menghitung nilai lahan seluas 44 hektar, sampai saat ini belum diketahui apakah jaminan itu setara dengan jumlah utang beserta bunga dan dendanya.
"Bagian dari perhatian kita, kalau [pengukuran] ini akan berlangsung lama tentu ini akan membuat biayanya [utang) nambah terus. Jadi kami sudah meminta kepada Minarak dan PPLS kita harus lebih gencar dan giat lagi melakukan proses sertifikasi," ujar Isa.
Menurut Isa, posisi utang Lapindo masih sama seperti yang tercatat di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Kementerian PUPR tahun 2018, yakni Rp773,38 miliar.
Jumlah itu, kata Isa, belum termasuk bunga utang periode 2015-2018, yang nilainya mencapai Rp126,83 miliar. Selain itu, juga ada denda atas keterlambatan pengembalian pinjaman dengan nilai sebesar Rp699,13 miliar.
Dengan demikian, sesuai penjelasan Isa, nilai uang yang wajib dibayarkan Grup Bakrie kepada pemerintah hingga akhir 2018, totalnya mencapai Rp1,564 triliun.
Sementara sejak berhutang pada tahun 2015, Grup Bakrie tercatat baru menyetorkan pembayaran ke negara senilai Rp5 miliar.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Addi M Idhom