tirto.id - Lima belas tahun berlalu sejak semburan air, gas, minyak, dan lumpur muncul pertama kali di Sidoarjo akibat pengeboran minyak PT Lapindo Brantas. Kini bencana tersebut meraih rekor sebagai sumber metana terbesar di bumi, penyumbang efek gas rumah kaca, dan bencana hidrometeorologi di Indonesia.
Mari kita buka artikel ini dengan mencermati seberapa sering kabar banjir, kekeringan, longsor, dan kebakaran kiwari yang mampir atau bahkan menimpa kita? Kemudian bandingkan dengan satu atau dua dasawarsa lalu.
Dengan perbandingan sederhana ini barangkali kita semua sepakat bahwa telah terjadi peningkatan intensitas bencana, setidaknya di wilayah kecil tempat tinggal kita. Secara global, tingkat kejadian bencana memang meningkat drastis dalam waktu 20 tahun terakhir, dan negara miskin serta berkembang adalah wilayah paling terdampak fenomena ini.
Jika dibuat persentase, kira-kira sebanyak 76 persen bencana merupakan bencana hidrometeorologi. Dapat berupa kekeringan, banjir, badai, kebakaran hutan, el nino, la nina, atau longsor. Perubahan parameter seperti curah hujan, kelembapan, temperatur, dan angin akibat kerusakan lingkungan adalah faktor eskalasi bencana hidrometeorologi. Lalu apa kaitannya dengan semburan lumpur Lapindo?
Bencana Lapindo tak hanya mengeluarkan lumpur, air, dan minyak semata. Ada beragam gas berbahaya yang memicu percepatan efek rumah kaca. Istilah efek rumah kaca digunakan untuk menggambarkan mekanisme alami atmosfer untuk menjaga bumi tetap hangat.
Ketika suhu di muka bumi makin panas, cuaca jadi tak menentu, walhasil kerentanan alam dan bencana hidrometeorologi meningkat. Fenomena yang paling mudah dikenali adalah ketika periode musim kemarau jadi lebih panjang sementara hujan turun dengan intensitas tinggi dalam tempo singkat.
Buah dari kelalaian penambangan PT Lapindo Brantas milik keluarga Bakrie ini menghasilkan beragam gas pencetus efek rumah kaca seperti metana, karbondioksida, nitrogen dioksida, dll. Yang paling besar porsinya adalah metana, gas rumah kaca yang 28 kali lebih kuat daripada karbon dioksida dalam periode 100 tahun.
Emisi gas metan tinggi dari semburan Lapindo pasti membuat konsentrasi gas rumah kaca meningkat dan berimbas pada lonjakan suhu bumi, yang kemudian menyumbang pemburukan krisis iklim.
Mari melihat dalam cakupan kecil di wilayah Jawa Timur--sebelum akhirnya melihat efek globalnya. Bencana hidrologi cenderung mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir di wilayah ini. Catatan tersebut terungkap dari publikasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim.
“Di Jawa Timur secara kumulatif berdasarkan perhitungan dari catatan BNPB dari tahun 2013 sampai pada tahun 2019 telah terjadi 2676 bencana hidrometeorologi,” demikian tertulis pada situs resmi mereka.
Angin kencang dan banjir jadi bencana mayoritas yang terjadi di wilayah ini dengan rincian masing-masing 970 dan 743 kejadian. Kemudian menyusul longsor 514 kejadian, kebakaran hutan 361 kejadian, kekeringan 66 kejadian, dan gelombang pasang 22 kejadian.
Walhi mengolah data tahunan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim. Hasilnya kejadian bencana terus meningkat setiap tahun. Periode 2013-2014 tercatat 233 kejadian bencana, naik menjadi 297 pada 2015. Pada tahun berikutnya (2016) algoritma kasus melonjak ke angka 404, lalu 434 kasus di tahun 2017, 455 kejadian pada tahun 2018, dan melesat tajam pada 2019 dengan jumlah kasus mencapai 620 kejadian.
Ketika fenomena hidrometeorologi melonjak, otomatis cakupan wilayah dan intensitas bencana ikut bertambah, walhasil korban bencana semakin banyak kemudian meningkatkan kerentanan akan kemiskinan.
Bencana Metana Terbesar Di Dunia
Metana adalah gas yang terbentuk secara alami dari proses metanogenesis bakteri. Sekitar 30 persen metan di bumi dihasilkan dari fosil pertambangan seperti batubara dan minyak bumi. Jika merujuk pada radiokarbon di inti es era pra-industri, jumlah emisi metan geo global berkisar antara 100.000-5.400.000 ton per tahun.
Baru-baru ini sebuah studi terbitan jurnal scientific report pada 18 Februari 2021 menyebut bencana semburan Lapindo telah merubah peta jumlah metana secara global. Laporan tersebut bertajuk “Relevant Methane Emission to the Atmosphere From a Geological Gas Manifestation.”
“Lusi (merujuk pada akronim Lumpur Sidoarjo) memecahkan rekor sejarah gas metan tertinggi dari sebuah situs,” tulis peneliti, Adriano Mazzini dkk.
Jika dilihat dari proses kemunculannya, lumpur Lapindo tidak termasuk sumber metana alami seperti sistem panas bumi (hidrotermal) murni atau gunung berapi magmatik. Namun sistem tektonik dan hidrotermal milik bencana ini melepaskan gas-gas pembentuk efek rumah kaca seperti karbon dioksida sebanding dengan emisi gunung berapi.
Kata tim Mazzini yang telah melakukan pengamatan selama 10 tahun, total pelepasan gas metan Lapindo ke atmosfer mencapai 100 ribu ton per tahun. Pelepasan emisi gas metan Lapindo mencakup seluruh area situs seluas lebih dari tujuh kilometer persegi, termasuk pusat semburan dan rekahan.
“Perlu ada kajian ulang terhadap emisi metan global karena total keluaran gas metana Lusi setara nilai minimum emisi geo global,” kata Mazzini.
Pengamatan Mazzini menunjukkan perkiraan pelepasan gas paling besar terjadi antara tahun 2006-2011, serta dari akhir 2015 hingga akhir 2018. Di periode awal bencana Lapindo, laju aliran lumpur memang sedang tinggi-tingginya, yakni mencapai 180 ribu meter kubik.
Penelitian ini menggenapkan studi lokal yang dikeluarkan Universitas Brawijaya di tahun 2017 yang mengungkap pencemaran tinggi gas metan di udara. Tim peneliti mengukur konsentrasi metana sebagai parameter pencemar udara di tiga lokasi sekitar bencana.
Rata-rata konsentrasi metana di Desa Jatirejo mencapai 4.60 ppm, kemudian Desa Mindi sebanyak 2.40 ppm, dan Desa Siring Barat dengan konsentrasi metana paling besar, yakni 15.18 ppm. Kesimpulan deduktif penelitian ini menyebut konsentrasi metana di ketiga wilayah telah melewati baku mutu standar sehingga masuk dalam kategori berbahaya.
Bencana gas metana dari semburan lumpur Lapindo telah menyengsarakan puluhan ribu orang kecil, mengubah keseimbangan lingkungan, dan merugikan negara.
Editor: Irfan Teguh