tirto.id - Nasib Indonesia masih tidak pasti jelang rilis pertumbuhan ekonomi semester I 2020 pada Agustus mendatang. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyampaikan pada kuartal II (Q2) 2020, lembaganya memprediksi pertumbuhan minus 6 hingga 4%, atau lebih buruk dari prediksi pemerintah yang berada di kisaran minus 5,1 sampai minus 3,5%.
Faisal bilang dengan kontraksi Q2 yang semakin dalam, semester I 2020 Indonesia tumbuh minus 0,5-minus 1,5%. Nilai ini juga lebih dalam dari prediksi pemerintah, yaitu minus 0,4-minus 1,1%.
Alasan kontraksi semakin dalam itu disebabkan oleh sedikitnya tiga faktor. Pertama, tren konsumsi rumah tangga yang menyumbang 58,14% porsi PDB Q1 2020 belum sepenuhnya membaik meski aktivitas ekonomi sudah dibuka sebagian pada pertengahan Juni 2020.
Indeks Penjualan Riil per Juni 2020 masih terkontraksi dengan angka minus 14,4%, relatif membaik dari Mei 2020 yang tumbuh minus 20,6%. Faisal bilang pencabutan PSBB memang membantu meredam kontraksi konsumsi, tetapi ia tak yakin nilainya akan bisa sebaik posisi sebelum ada pandemi.
Hal ini terlihat melambatnya pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Per Mei 2020, pertumbuhan DPK berdasar nominal tak lebih dari Rp100 juta anjlok menjadi 2% dari 4 bulan sebelumnya berkisar 5-6%. Padahal proporsi nominal simpangan <=Rp100 juta mendominasi 98,2% simpanan perbankan.
Angka ini menandakan pelemahan daya beli. Di sisi lain jadi sinyal terjadinya penurunan pendapatan dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Indikator kedua, pertumbuhan investasi Q2 2020 mengalami kontraksi. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat nilainya tumbuh minus 4,3% secara year on year (yoy) dan minus 8,9% dari Q1 2020.
Penurunan investasi ini dipastikan bisa lebih buruk lantaran perhitungan Pembentuk Modal Tetap Bruto (PMTB) dengan porsi 32,3% dari PDB memiliki hitungan lebih luas dari BKPM.
“Seringkali rilis BKPM tidak sejalan PMTB. Menengah atas, kecil itu tidak tercatat. Pandangan kami PMTB bisa lebih kontraktif dari angka BKPM,” ucap Faisal dihubungi, Kamis (23/7/2020).
Indikator ketiga, buruknya kinerja belanja pemerintah--yang menyumbang 8,8% dari PDB. Ia bilang langkah mengalihkan belanja barang dan modal untuk kebutuhan kesehatan dan bansos sudah benar meski implikasinya akan menekan sumbangsih belanja dalam PDB. Masalahnya, realisasi belanja dari realokasi anggaran itu cukup lamban sehingga efek pada sektor lainnya juga terhambat.
Ia mencontohkan pertumbuhan realisasi belanja bansos 2020 hanya 41% yoy. Angka ini kalah jauh dibanding 2019 yang realisasinya 56% yoy. Cara pemerintah menangani pandemi kalah serius dibanding saat menyongsong pemilu 2019.
Belanja biaya penanganan COVID-19 rata-rata per Juni 2020 masih di bawah 40%. Pagu perlindungan sosial misalnya hanya 35,6% dari total anggaran Rp203,9 triliun. Lainnya, UMKM 22,74 persen, insentif dunia usaha 10,14%, kesehatan 5,12% (8 Juli 2020), dan pembiayaan korporasi nol persen.
Bagaimana dengan semester II 2020?
Faisal mengatakan kontraksi masih terjadi di Q3 meski lebih tipis. Semester II 2020 juga sama. Ia bilang PMTB pada Q3 2020 dipastikan akan tumbuh minus bersamaan dengan ekspor-impor yang sudah minus sejak Q2 2020.
Faktor penentu lain bergantung dari penambahan kasus COVID-19. Ia berharap puncak penambahan kasus terjadi di Q3 2020. Sebab, jika puncaknya di Q4, maka akan ikut sulit diselamatkan sehingga berdampak pada semester 2 2020 dan pertumbuhan 2020 secara keseluruhan.
“Kalau kondisi parah, jumlah kasus masih akselerasi, kontraksi 2020 bisa lebih dalam sampai minus 3%,” ucap Faisal.
Prediksi buruknya semester II 2020 juga disampaikan Bank Indonesia. Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Juda Agung, Kamis (23/7/2020), mengatakan kontraksi Q2 akan berlanjut di Q3. “Pertumbuhan di Q3, perkiraan dari BI, ada kemungkinan masih negatif,” ucap Juda seperti dikutip dari Antara.
Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rizal Taufikurahman mengatakan pemerintah harus segera bertindak jika ingin serius menyelamatkan semester II 2020. Misalnya, dengan memperbaiki realisasi penyaluran anggaran COVID-19, mengubah bansos dari paket sembako menjadi uang tunai. Ia bilang hal ini dapat meningkatkan daya beli dan permintaan saat pemerintah menggenjot produksi.
Rizal juga menilai anggaran bagi insentif dunia usaha bisa dialihkan sedikitnya 5% untuk menambah belanja kesehatan 29-30%, perlindungan sosial 2%, dan UMKM. Menurutnya belanja yang terfokus pada korporasi tak akan berdampak bila kasus COVID-19 masih tinggi dan perbaikan permintaan terbengkalai.
“Semester II bisa membaik jika ada realokasi dari tidak efektif ke yang efektif. Kalau kondisi sekarang masih berlanjut semester II tak akan membaik. 2020 minus 1,3-minus 1,75% padahal dengan perbaikan bisa hanya minus 0,53% sampai positif 0,81 persen,” ucap Rizal saat dihubungi, Kamis (26/7/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz