tirto.id - Sepuluh tahun silam, Mindarta, 58 tahun, kaget mendapati banyak luka gores di tangan Ruli, anaknya. Berturut-turut pula ia mendapat panggilan dari sekolah akibat perilaku sang anak. Sang buah hati disebut sering mabuk-mabukan sepulang sekolah, tawuran, nongkrong di terminal, bahkan tak acuh saat gurunya menyampaikan pengajaran.
Ruli, menurut Min, mendapat narkoba pertama dari kakak kelasnya. Pembawaan yang supel membuat ia mudah bergaul lintas tingkat. Ia ingat betul, pihak sekolah—sebuah sekolah favorit di Surakarta—mengancam tak segan-segan mengeluarkannya jika Ruli tak berubah.
"Sebagai ibu cuma bisa nangis saja, bapak sama pakdenya yang marah besar,” Min bercerita. Keluarganya masih sangat guyub. Masalah satu orang berarti beban bagi seluruh keluarga besar.
Derita fisik dan psikologis tak terperi memang dirasakan para pecandu saat mereka tidak mengonsumsi narkoba setelah beberapa waktu. Sebagian pecandu berusaha mengurangi derita dengan mengisap darah dari sayatan yang dibuatnya. Mereka percaya, darah dari tubuhnya mengandung narkoba. Jika darah itu dihisap, mereka percaya gejala sakaunya bisa punah.
Pernah suatu ketika saat acara kumpul keluarga, Min bolak-balik kamar-dapur dengan gelisah. Anaknya penuh keringat dingin. “Sakau,” Min menjelaskan pada anggota keluarga lainnya.
Mendengarnya, kakak Min sebagai orang tertua dalam keluarga menyeret Ruli ke kolam, menyiramnya dengan air sampai basah kuyup, dan menghajar Ruli habis-habisan. Min hanya bisa diam.
Setelahnya, barulah sang anak ia peluk sambil tak henti air matanya berurai. Ia paham, tak seharusnya sang anak dapat perlakuan kejam. Ia juga sadar bahwa kekerasan hanya membuat anaknya semakin jauh dari keluarga. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa.
Kejadian selanjutnya bisa ditebak. Ruli putus sekolah meski sebelumnya ia masih bisa menempati peringkat kelima di kelas. Ia lalu memutuskan hidup berpindah-pindah dari rumah satu teman ke teman lain. Terakhir, ia menetap di Jakarta, menumpang di rumah adik ibunya.
Kota metropolitan ini, ironisnya, menjadi persinggahan terakhir sekaligus titik balik Ruli untuk menarik diri dari segala macam konsumsi narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
Paman dan ibunya dengan sabar merawat Ruli dan membuatnya berhenti dari kecanduan. Singkat cerita, Ruli pulang ke Solo, melanjutkan sekolah di tempat lain, lalu menamatkan kuliah di fakultas teknik sebuah universitas di Yogyakarta. Bahkan ia sempat aktif dalam tim evakuator Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP), dulu bernama Badan SAR Nasional.
“Yang saya pelajari, anak harus tetap didampingi, disayang agar tidak merasa makin terpuruk, dan diarahkan,” kata Min.
Ruli termasuk beruntung. Meski sang bapak hampir tidak pernah berkomunikasi secara hangat sejak ia kecil, ia masih punya ibu dan paman yang tetap merangkul saat yang lain memperlakukannya dengan buruk.
Namun, tak semua anak yang ketergantungan narkoba merasakan akhir cerita manis seperti Ruli. Penolakan menjadi hal yang jamak karena masyarakat masih antipati terhadap orang yang mengonsumsi narkoba. Kebanyakan orangtua marah saat tahu anaknya mengonsumsi zat adiktif, sementara sekolah lepas tangan dan memilih mengeluarkan siswanya.
Inilah yang terjadi pada Rahman, bukan nama sebenarnya. Remaja berusia 17 tahun ini pertama kali mencoba konsumsi narkotika saat ditawari temannya di komunitas motor.
Pada 2016, Rahman dimanfaatkan oleh seorang bandar yang beroperasi dari dalam sebuah lembaga permasyarakatan di Bandung sebagai kurir narkoba. Empat kali ia mengedarkan sabu, hingga awal tahun lalu ia ditangkap dan divonis 1,6 bulan penjara, setengah dari jumlah vonis bagi orang dewasa.
“Saya tak lagi anggap kamu anak. Keluar dari rumah,” begitu Asep Permana, kuasa hukum Rahman, menirukan reaksi orangtua si anak.
Siapa yang Salah?
Laman National Institute on Drug Abuse merangkum alasan anak tertarik menjajal narkoba. Ada beberapa faktor yang memengaruhi anak untuk mencoba, di antaranya adalah faktor adaptasi. Agar bisa diterima di lingkaran sosial, anak-anak harus menyesuaikan diri dan berperilaku serupa anggota kelompok lainnya. Alasan lain adalah untuk merasakan sensasi gembira atau menekan depresi.
“Selama saya melakukan pendampingan, ada yang mengatakan stres karena urusan keluarga atau masalah remaja,” Sitti Hikmawatty, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Kesehatan dan NAPZA mengelaborasi faktor depresi anak dan remaja.
Beberapa anak mengonsumsi obat-obatan stimulan. Mereka menganggap zat-zat itu dapat meningkatkan kinerja dan menambah daya kompetisi dengan anak lainnya. Terakhir, faktor keingintahuan. Anak sering termotivasi mencari pengalaman baru, terutama yang dianggap menantang.
Semua faktor tersebut dipicu oleh tingkat kematangan mental anak yang belum sempurna. Sitti mengatakan, anak dianggap belum memiliki kehendak atas dirinya sehingga penyelesaian kasus anak dengan narkoba pun mempertimbangkan faktor tersebut.
“Diupayakan dengan cara diversi,” katanya.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, sesuai isi Pasal 7 UU RI No. 11 Tahun 2012 tentang Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
“Penjara jauh lebih buruk dibanding narkoba. Anak justru bisa tukar menukar pengalaman di sana,” ujar Andi Akbar, Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) kepada Tirto.
Ketentuan dalam UU SPPA inilah yang kemudian dijadikan celah para bandar untuk mengeksploitasi anak. “Kita bisa bilang anak yang dijadikan kurir adalah korban humantrafficking karena mereka belum punya kapasitas menentukan dampak dari sikapnya.”
Berkomunikasilah dengan Anak Anda
Keluarga memegang peranan penting sebagai kontrol pertama anak terhadap narkoba. National Institute on Drug Abuse mencatat keluarga memberi dampak yang lebih besar pada anak, sementara hubungan dengan teman sebaya menjadi faktor risiko yang lebih signifikan untuk seorang remaja bermasalah dengan narkoba.
Pendidikan ideal tentang narkoba kepada anak adalah merangkul mereka secara hangat. Mirisnya, survei yang dilakukan oleh LAHA di tiga titik panas di Bandung yakni Cigugur, Mekarjaya, dan Kertamulia mengungkap fakta sebaliknya. Dalam sehari, komunikasi antar-orangtua dan anak maksimal hanya berlangsung selama 1 jam 15 menit, sementara tema yang dibicarakan paling banyak seputar kegiatan sekolah.
“Padahal, hasil survei juga menyebutkan, anak paling benci ketika ditanya kegiatan sekolah,” kata Andi.
Penelitian Susan T. Ennett, dkk pada 537 pasangan remaja dan orangtua di tahun 2004 menyebut bahwa anak-anak justru akan merokok dan mengonsumsi alkohol ketika dilarang oleh orangtuanya. Mereka cenderung akan menghindari kedua hal tersebut bila orangtua juga melakukan hal serupa. Intinya: jadilah panutan.
Jika anak kadung mengonsumsi narkoba, dampingilah mereka saat direhabilitasi. Fakta ilmiah mengungkapkan, amigdala, bagian otak yang berhubungan dengan emosi, menjadi bermasalah ketika anak ketagihan mengonsumsi narkoba. Faktor inilah yang mengakibatkan pasien seringkali kambuh atau kembali pada konsumsi narkoba secara berulang-ulang.
Bagaimana Negara Harus Berperan?
Perang melawan narkoba telah dikobarkan banyak negara di dunia termasuk Indonesia. Menurut BNN, saat ini rerata umur pertama kali menggunakan NAPZA adalah 16 tahun. Sabu menempati peringkat pertama narkoba yang paling banyak menjerat masyarakat menjadi terpidana.
Namun, apakah pemidanaan membuat konsumsi narkoba menurun?
Sayang, jawabannya justru sebaliknya. World Health Organization (WHO) melalui penelitian Louisa Degenhardt, dkk (2008) mengemukakan, negara-negara yang melarang keras penggunaan narkoba justru memiliki populasi pengguna NAPZA lebih tinggi dibanding negara yang membuat aturan pelegalan narkoba.
Contohnya adalah Portugal. Laman European Monitoring Centre for Drugs and Drugs Addiction (EMCDDA) menyebut pemakaian narkoba di tahun 2017 pada usia 16-34 tahun lebih kecil dibanding Inggris.
Negara yang kemudian mengekor kebijakan pelegalan narkoba adalah Kanada. Dikutip The Guardian, secara nasional, pada 17 Oktober lalu, sang Perdana Menteri, Justin Trudeau menyatakan keputusan melegalkan ganja diambil demi melindungi generasi muda Kanada.
Penjualan ganja akan diambil alih negara dengan harga murah namun melalui aturan ketat: tidak boleh dijual pada anak di bawah umur. Tujuannya adalah membatasi ganja dikonsumsi anak-anak dan beredar dari pasar gelap.
Kebijakan ini juga bertujuan menjaga pajak ganja tetap rendah, artinya menyingkirkan para bandar dalam sistem peredaran narkoba dan mengambil industri dari tangan kartel kriminal. Aturan tersebut menetapkan ganja harus dijual dalam paket standar, hanya dengan logo merek kecil dan konten THC dan CBD yang ditampilkan jelas.
Dari Portugal dan Kanada, kita dapat melihat cara lain dalam memerangi narkoba.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani