Menuju konten utama

RUU Miras dan Nasib Industri Pariwisata

RUU Minuman Keras akan segera digulirkan. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk membatasi peredaran minuman keras. Di saat yang sama, pemerintah masih bertumpu pada pendapatan cukai dan pariwisata.

RUU Miras dan Nasib Industri Pariwisata
Suasana cafe yang menjual minuman beralkohol di Kemang, Jakarta. [TIRTO/Andrey Gromico]

tirto.id - Bagi peminum bir, Agustus adalah bulan yang ditunggu-tunggu. Setiap hari Jumat di minggu pertama, dunia merayakan Hari Bir. Hari bersenang-senang ini dipacak pada 2007. Awalnya perayaan ini bersifat lokal, dari warga Santa Cruz, California, Amerika Serikat. Namun, sekarang ada puluhan negara yang merayakan hari serupa. Perayaan terhadap bir, salah satu minuman tertua dalam sejarah umat manusia, dilakukan di Jerman, Amerika Serikat, Vanuatu, Sri Lanka, Irlandia (tentu saja), Kanada, Nikaragua, bahkan di negara seperti Malaysia dan Arab Saudi. Kegiatannya beragam. Paling standar adalah mencoba bir jenis baru. Atau beberapa kafe dan bar mengadakan pesta bir dengan potongan harga.

Di banyak negara, bir memang tak hanya jadi minuman. Ia diperlakukan sebagai produk budaya adiluhung. Di negara-negara yang sudah maju pariwisatanya, bir dikemas menjadi bentuk pariwisata tersendiri. Beer tourism alias Pariwisata bir. Kegiatannya dibagi dua, yakni bir sebagai motivasi utama atau tempat yang jadi motivasi utama.

Jika kegiatan wisatanya menitikberatkan pada bir, maka kegiatan wisatanya adalah menelusuri tempat-tempat bersejarah bir di sebuah kota, beer tasting, atau makan siang dengan menu bir. Salah satu tur yang paling terkenal adalah Scottish Stockport Ale Trail, yang menjelajahi tiga rute yang berisikan enam hingga 8 pub. Ada pula Bier Tour durch Munchen, alias tur bir keliling Munich. Selain mencicipi bir lokal, para wisatawan juga akan diajak pergi ke tempat-tempat bersejarah. Menurut Badan Pariwisata Munich, ada sekitar 54 tur bir di kota itu.

Jika tempat yang jadi tujuan utama, maka biasanya wisatawan pergi ke festival bir (Oktoberfest adalah yang paling terkenal), pergi ke museum bir (di Jerman, Ceko, Amerika Serikat ada beberapa museum), hingga datang ke pabrik pembuatan bir. Jumlah wisatawannya juga lumayan. Di Inggris, setiap satu pabrik bisa kedatangan hingga 30.000 wisatawan tiap tahunnya. Misalkan di pabrik St. Austell yang terletak di Cornwall.

Hal yang sebaliknya terjadi di Indonesia. Bir dianggap sebagai salah satu minuman pembawa sial. Bir dituding sebagai penyebab degradasi moral bersama minuman alkohol lain. Pemerintah Indonesia sejak tahun lalu memperlakukan bir nyaris sama dengan Pemerintah Amerika ketika memberlakukan pelarangan minuman beralkohol di dekade 1920 hingga 1930.

Kala itu semua minuman alkohol di Amerika dilarang. Harapannya adalah tingkat kriminalitas menurun. Ternyata hasilnya adalah kebalikannya. Tingkat kriminalitas melonjak 24 persen. Pencurian dan perampokan naik 9 persen. Pembunuhan meningkat 12 persen. Semua itu juga menguras kocek kepolisian lebih banyak 11,4 persen.

Tak hanya itu. Peredaran alkohol ternyata masih ada di bawah tanah. Para orang yang punya kreativitas berlebihan membuat minuman beralkohol dengan cara dan resepnya sendiri. Tak ada standar kesehatan. Hasilnya, lebih dari 10.000 orang tewas gara-gara minuman oplosan di Amerika Serikat kala itu.

Dampak lain menimpa pemerintah: mereka kehilangan pendapatan dari cukai sebesar 3 miliar dolar. Menyadari kesalahan ini, akhirnya pemerintah AS mengakhiri masa pelarangan ini. Sekarang, bisnis bir di AS diperkirakan bernilai sekitar 106 miliar dolar dan mempekerjakan sekitar 424.000 orang.

Di Indonesia, lewat Peraturan Permendang Nomor 6, bir tidak boleh dijual di minimarket dan penjual kecil. Tampak sepele, mungkin. Sayangnya tidak. Ada sekitar 16.000 minimarket dan 55.000 toko kecil di Indonesia yang terdaftar. Selama ini mereka menjual bir. Ketika mereka dilarang menjual, dampak ekonominya langsung terasa.

Penjualan bir di Indonesia langsung turun 13 persen pada 2015. Dampak turunan, beberapa minimarket yang selama ini mengandalkan penjual bir, turut mengalami penurunan pendapatan. Di minimarket Seven Eleven, misalkan. Penjualan bir mempunyai kontribusi 8 hingga 12 persen bagi pendapatan minimarket ini. Tanpa penjualan bir, pendapatan Sevel menurun, dari Rp971 miliar pada 2014 jadi Rp886 miliar pada 2015. Itu belum menghitung penurunan pendapatan yang dialami toko-toko kecil.

Tak hanya itu, pendapatan dari cukai minuman keras juga terus tergerus. Pada 20 persen dari target yang ditetapkan tahun itu. Setahun berikutnya, 2015, penerimaan dari sektor itu anjlok hingga Rp1,7 triliun setelah keluarnya larangan menjual bir di minimarket.

Jika RUU ini akan disahkan, sektor lain yang akan terkena dampak adalah pariwisata. Menurut M. Meler dan Z. Cerovic dalam buku Food Marketing in the Function of Tourist Product Development, pengeluaran makanan dan minuman turis mencapai 1/3 dari total pengeluaran selama berlibur. Bagi sebagian besar wisatawan asing, bir adalah item pengeluaran rutin. Celakanya, sekarang pemerintah menarget kedatangan wisatawan mancanegara sebanyak-banyaknya.

Hingga Juni 2016, wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia kebanyakan berasal dari Singapura, Australia, dan Tiongkok. Dua nama terakhir adalah negara dengan tingkat konsumsi bir yang tinggi. Menurut data dari jurnal Beer Drinking Nations: The Determinants of Global Beer Consumption, peningkatan terbesar jumlah peminum bir justru terjadi di Tiongkok.

Setidaknya sejak 2003, Tiongkok adalah negara yang mengonsumsi 20 persen bir di dunia. Begitu pula dengan warga Australia yang sudah lama dikenal sebagai peminum bir, tertinggi di negara Non Eropa, mengalahkan Amerika Serikat.

Karena itu, kalau RUU ini disahkan dan bir serta minuman alkohol lain tidak boleh dijual, hal itu akan bentrok dengan keinginan pemerintah menargetkan kedatangan 20 juta wisman pada 2020. Apa daya, bir sudah jadi bagian tak terpisahkan dari pariwisata.

"Kalau RUU itu disahkan, bisnis kami akan hancur. Turis yang kebanyakan datang dari Eropa minum alkohol setiap saat. Jika mereka tidak bisa menemukan alkohol, hal itu akan membuat mereka tidak nyaman," ujar Hariyadi Sukamdani, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia seperti ditulis oleh The Jakarta Post.

Tinggal tunggu waktu saja. Kalau RUU ini disahkan –payahnya, atas nama moral—maka ini artinya pemerintah menghancurkan target yang dibuatnya sendiri.

Baca juga artikel terkait RUU MIRAS atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Hukum
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti