Menuju konten utama

Ruth "Badass" Ginsburg, Perempuan Garang di Pengadilan AS

Membaca kisah hidup dan daya tarungnya, mestinya Ruth Bader Ginsburg terlahir dengan nama Ruth Badass Ginsburg.

Ruth
Ruth Bader Ginsburg. REUTERS/Mario Anzuoni

tirto.id - Hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat ini punya posisi spesial dalam sejarah Amerika. Ruth adalah hakim MA perempuan kedua setelah Sandra Day O’Connor, yang menduduki kursi yang sama pada 1981. Amerika Serikat yang berdiri pada 1776 itu ternyata baru bisa menerima hakim agung perempuan setelah 205 tahun.

Bagaimana dengan presiden? Dibandingkan dengan negeri-negeri yang jauh tertinggal ekonominya seperti Pakistan, AS belum pernah dipimpin presiden perempuan. Sementara, Pakistan sudah dua kali dipimpin perdana menteri perempuan, yakni Benazir Bhutto (1988-1990, 1993-1996).

Demi para perempuan negerinya, Ruth memang keras kepala. Ia pernah tanpa tedeng aling-aling menggugat konstitusi Paman Sam. Dalam tulisannya berjudul “Remarks on Women Becoming Part of the Constitution” (1988, PDF) yang terbit di Law & Inequality: A Journal of Theory and Practice, Ruth menggambarkan bagaimana konstitusi AS ditulis oleh dan dengan perspektif lelaki kulit putih. Walhasil, perempuan berada di posisi termarginalkan, dipaksa tunduk di rumah, melakoni pekerjaan domestiknya, dan yang terburuk: diharuskan mengubur mimpi-mimpinya.

Namun, kondisi itu perlahan berubah. Ruth mengakui, semakin ke sini, perempuan Amerika mulai bisa memperoleh hak-haknya; berpartisipasi dalam politik, memperoleh upah setara, hingga mampu berkarier setinggi mungkin.

Tentu semua keuntungan itu ditempuh melalui proses yang panjang dan berliku. Tapi bagi Ruth, semua tak ada yang mustahil.

Karena Diremehkan

Lahir di New York pada 15 Maret 1933, Ruth tumbuh di lingkungan kelas pekerja. Keluarganya bukan golongan kaya. Tapi, ibunya selalu menekankan bahwa “perempuan harus bisa independen, berpendidikan tinggi, dan mandiri.” Pada 1954, Ruth lulus dari Cornell University setelah belajar ilmu pemerintahan.

Dua tahun berselang, Ruth memutuskan untuk melanjutkan studi di Harvard Law School. Namun, ia masuk jurusan hukum bukan karena ingin memperjuangkan kesetaraan perempuan melainkan lantaran faktor pribadi yang terkesan egois: ia percaya bisa jadi pengacara yang lebih baik dari pengacara lainnya.

Kendati datang tanpa membawa agenda perjuangan hak-hak sipil, perlakuan yang diterima Ruth sebagai perempuan selama kuliah di Harvard rupanya mengasah kepekaannya. Contohnya: ia dan teman-teman perempuan lainnya sering dicecar dengan pertanyaan oleh dekan tentang motivasi mereka sekolah hukum, yang menurut sang dosen adalah “lahan pendidikan para pria.”

Meski tak nyaman dengan stereotip semacam itu, Ruth jalan terus. Ia berhasil lulus dari Harvard dengan nilai memuaskan dan kembali melanjutkan studinya ke Columbia Law School.

Lulus dari Columbia, ia ditawari Albert Sachs, seorang profesor di Harvard Law School, untuk jadi juru tulis Hakim Agung Felix Frankfurter. Di sinilah Ruth kembali mendapat perlakuan tak mengenakkan hanya karena ia perempuan. Frankfurter menolak rekomendasi Sachs dan memintanya mencari juru tulis laki-laki, bukan perempuan.

Memasuki tahun 1960an, Ruth bergabung dengan Rutgers Law School sebagai pengajar. Lagi-lagi ia mendapati fakta bahwa perempuan tetap dimarginalkan; gajinya ternyata lebih rendah daripada rekan-rekan prianya. Kali ini, Ruth murka dan mulai mengkampanyekan kesetaraan upah antara pekerja perempuan dan laki-laki di Rutgers.

Jadi perempuan di masa-masa itu memanglah bukan hal yang mudah. CNN melaporkan, pada medio 1960an, perempuan kerap terpinggirkan karena perlakuan yang mereka terima di tengah bermasyarakat. Misalnya, perempuan tak bisa mendapatkan fasilitas kartu kredit dari bank dengan mudah. Untuk memperoleh kartu kredit, perempuan harus kawin dulu. Saat sudah kawin pun, perempuan harus dapat izin sang suami untuk bisa membuat kartu kredit.

Perempuan juga tak bisa duduk di sidang pengadilan sebagai juri. Pengadilan beranggapan bahwa perempuan semestinya di rumah saja. Mereka dipandang “terlalu rapuh” untuk mendengar rincian kejahatan yang dipaparkan dalam sidang.

Tak ketinggalan, perempuan pada masa itu juga tak bebas mengakses pil KB. Di beberapa negara bagian, pil KB hanya bisa diakses oleh perempuan yang menikah. Perempuan yang mengkonsumsi pil KB dikecam karena masyarakat menganggap perbuatan tersebut tidak bermoral.

Baik di ranah pekerjaan maupun pendidikan, posisi perempuan sama-sama mengenaskan. Di bidang pendidikan, perempuan tak bisa bebas masuk kampus-kampus ternama AS (Ivy League). Yale dan Pricenton tidak menerima mahasiswi sampai 1969, Harvard sampai 1977.

Sementara di tempat kerja, kondisinya tak lebih baik.

Suatu ketika, jurnalis cum aktivis Gloria Steinem menyamar jadi model Playboy. Ia hendak mengekspos bagaimana perempuan diterima di lingkungan kerja. Yang lantas disaksikan Steinem: perempuan dibayar rendah, tenaga mereka dieksploitasi, dan tak jarang dilecehkan para pria.

Situasi diskriminatif itu akhirnya mendorong para perempuan AS turun ke jalan dan bersuara lebih keras.

Pada 1966, feminis Betty Friedan beserta kawan-kawannya mendirikan Organisasi Nasional untuk Perempuan (NOW). Tujuannya bermacam-macam, mulai dari kesetaraan bagi perempuan hingga mendesak pemerintah mencabut larangan aborsi yang saat itu ilegal di semua negara bagian. Agar didengar pemerintah, para perempuan melakukan demonstrasi dan mogok kerja.

Dinamika tersebut tak luput dari pengamatan Ruth. Berangkat dari pengalaman buruknya baik semasa kuliah maupun ketika bekerja sebagai dosen, Ruth memutuskan ambil bagian untuk memperjuangkan hak perempuan dengan bergabung bersama American Civil Liberities Union (ACLU), LSM yang bergiat di bidang advokasi hukum, cabang New Jersey.

Berlawan di Pengadilan

Walaupun UU Hak Sipil sudah disahkan jadi hukum pada 1964, nyatanya perempuan masih mengalami diskriminasi di tempat kerja. ACLU sering menerima berbagai macam laporan, misalnya soal keharusan sekretaris sekolah meninggalkan pekerjaannya setelah ia hamil, asuransi kesehatan keluarga di pabrik hanya ditujukan bagi pekerja pria, sampai murid perempuan yang seringkali menerima perlakuan tak adil di sekolah.

Pada 1971, Ruth menggarap kasus pertamanya, Reed v. Reed. Pangkal kasus ini ialah sebuah undang-undang di Idaho yang menetapkan bahwa pria lebih berhak mengurus properti perkebunan dibanding perempuan. Alkisah, suami-istri Cecil dan Sally Reed punya anak angkat yang baru saja meninggal. Pengadilan menunjuk Cecil Reed sebagai pengurus tanah sang putra angkat. Keputusan tersebut ditentang Sally Reed yang menganggapnya tidak adil.

Kasus Reed berakhir memuaskan. Mahkamah Agung menetapkan bahwa undang-undang di Idaho mengenai tata kelola properti tidak sah secara konstitusional sebab mengandung diskriminasi gender. Sejak keberhasilan itu, pada 1972, ACLU membuat Women’s Right Project yang didedikasikan untuk litigasi hak-hak perempuan di bawah komando Ruth.

WRP berjaya di bawah kepemimpinan Ruth. Pada kasus Frontiero v. Richardson (1973), advokasi Ruth berhasil meyakinkan majelis hakim bahwa diskriminasi gender harus dihapuskan sebagaimana diskriminasi ras. Kasus Frontiero v. Richardson ini bermula ketika pemohon, seorang letnan perempuan Angkatan Udara, Sharron Frontiero, meminta tunjangan untuk suaminya. Tapi, dalam aturan yang berlaku, tunjangan hanya diberikan untuk istri dari seorang pria yang bekerja. Jika yang prajuritnya perempuan, maka ia (atau suami) tak berhak dapat tunjangan.

Infografik Ruth bader ginburg

Seperti yang ditulis ACLU dalam “Tribute: The Legacy of Ruth Bader Ginsburg and WRP Staff,” advokasi Ruth membuahkan hasil yang memuaskan. Berkat perjuangannya, perempuan diperbolehkan membawa anaknya yang baru saja lahir ke kantor, bekerja di atas kapal Angkatan Laut (Beeman v. Middendorf, 1977). Berkat Ruth pula perempuan yang tengah hamil berhak atas tunjangan manakala mereka tak bekerja (Turner v. Dept of Employment Security, 1975).

Tapi, sederet kesuksesan di atas turut diiringi kegagalan. Pada 1976, ketika kasus General Electric Co v. Gilbert bergulir, Mahkamah Agung menolak pernyataan Ruth dan kawan-kawan yang menyebutkan bahwa diskriminasi kehamilan di tempat kerja sama dengan diskriminasi gender (General Electric menolak memberikan tunjangan untuk kecacatan yang timbul dari kehamilan). Mahkamah Agung menilai konteks diskriminasi tidak tepat. Menurut Mahkamah Agung, yang sebetulnya terjadi adalah pembedaan perlakuan atas perempuan hamil dan yang tidak hamil.

Ruth tak menyerah. Ia dan sejumlah kawannya menempuh cara-cara di luar pengadilan, misalnya membentuk Koalisi untuk Mengakhiri Diskriminasi Terhadap Pekerja Hamil, menulis di kolom New York Times, mendesak para legislator, hingga melobi Kongres. Hasilnya? Sesuai amandemen UU Diskriminasi Kehamilan 1978, diskriminasi kehamilan di tempat kerja disahkan sebagai diskriminasi gender yang melanggar hukum.

Kiprah Ruth di ACLU berakhir pada 1980 ketika ia ditunjuk jadi Hakim Pengadilan Banding Amerika Serikat untuk Distrik Sirkuit Columbia atas rekomendasi Presiden Jimmy Carter. Selama bekerja di ACLU, Ruth telah mengadvokasi enam kasus—lima di antaranya memang. Satu dekade setelahnya, pada Agustus 1993, Ruth dinominasikan Bill Clinton—yang waktu itu jadi presiden—sebagai Hakim Mahkamah Agung. Senat menyetujui pencalonan itu dengan suara 96-3.

“Dalam hidup, saya berharap melihat tiga, empat, dan mungkin lebih banyak perempuan di bangku Pengadilan Tinggi. Perempuan tak ditempa oleh cetakan yang sama, tapi oleh watak yang berbeda,” katanya di hadapan Senat.

Wendy Webster Williams dari Georgetown University Law Center dalam “Ruth Bader Ginsburg’s Equal Protection Clause: 1970-80” (2013, PDF) mengatakan Ruth adalah pengacara pertama yang bersikukuh di hadapan Mahkamah Agung AS bahwa sama halnya dengan klasifikasi ras, klasifikasi jenis kelamin harus dijadikan subjek standar peninjauan tertinggi (high standard review). Artinya pengadilan harus menghormati keputusan soal jenis kelamin yang sedang ditinjau meski sudah ada keputusan lain dalam tinjauan serupa.

Kini Ruth berusia 90 tahun. Ia menjadi pembicara dari satu kampus ke kampus lainnya. Aktivitas Ruth ini membuatnya, tulis New York Times, mirip Bob Dylan yang terus mengadakan tur meski usianya sudah tua. Ia tuangkan pikiran-pikirannya lewat tulisan dan film dokumenter. Semua dilakukan untuk menyebarluaskan gagasan tentang pentingnya kesetaraan. Kehadirannya bahkan dirayakan di internet dengan meme "R.G.B. Notorious" atau yang paling dahsyat:

"Without Ruth We Can't Spell Truth."

Baca juga artikel terkait PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Hukum
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf