tirto.id - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang sempat menyentuh Rp15 ribu beberapa waktu lalu sempat memunculkan spekulasi apakah Indonesia akan kembali alami krisis moneter seperti 1998.
Ekonom dari Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN) Faishal Rahman, mengatakan bahwa ada faktor dalam dan luar yang menyebabkan depresiasi nilai tukar rupiah.
Faktor luar ialah The Fed yang menarik dolar AS kembali ke negaranya dengan menaikkan suku bunga acuan berkali-kali. Pemotongan pajak serta pemangkasan kebijakan lain yang diterapkan Trump juga jadi pengaruh tersendiri. Kemudian perang dagang antar AS dan Cina menyebabkan investor bimbang harus meletakkan dananya kemana.
Menguatnya pasar AS menyebabkan investor tertarik menanamkan modalnya ke negara tersebut sehingga nilai dolar semakin tinggi. Namun, Faishal berpendapat bahwa apa yang terjadi hari ini masih jauh jika dibandingkan dengan tahun 1998. “KEIN melihat Indonesia masih dalam posisi aman.”
Christianto Wibisono, pengamat ekonomi dan Founder Pusat Data Bisnis Indonesia sepakat dengan Faishal. Nilai tukar rupiah yang terdepresiasi sekarang berbeda jika dibanding tahun 1998. Semasa itu, krisis yang terjadi tidak hanya di sektor ekonomi tapi kompleks dan bersifat multidimensi. “Itu lebih banyak, tidak sama dengan sekarang.”
Menurutnya, masalah Indonesia saat ini karena mengalami defisit dalam tiga hal yakni defisit neraca perdagangan, defisit neraca pembayaran, dan defisit APBN. Langkah jangka panjang yang diterapkan pemerintah sudah cukup benar. Langkah yang dimaksud Christian tersebut ialah pembangunan infrastruktur.
Selain jangka panjang, langkah jangka pendek juga perlu diterapkan seperti mengatur kebijakan ekspor dan impor. “Meningkatkan ekspor itu harusnya pekerjaan yang dari dulu dilakukan, kalau sekarang ya tunggu waktu lagi.”
Lebih lanjut, Christian menjelaskan, saat ini kalau pemerintah mau pertumbuhan ekonomi mencapai 1 persen harus makin giat meningkatkan nilai ekspor. "Sebab kunci dari mata uang itu adalah kekuatan ekspor dan harus bisa surplus. Kalau tidak bisa ya tidak akan menguat."
Cina juga sama, dulu nilai satu dolar setara delapan Yuan namun karena kebijakan ekspor tinggi dan AS juga memaksa redevaluasi akhirnya sekarang jadi enam. Pihak Cina sebenarnya tetap ingin di angka delapan.
Itu adalah beberapa contoh negara yang bisa memanfaatkan nilai tukar mata uang negaranya yang lemah dengan melakukan ekspor besar. Namun masalah tersebut relatif, Indonesia saat ini butuh keseimbangan baru. Jika keseimbangan baru ini bisa dicapai, tenang. “Artinya begini, jika nilai rupiah tujuh belas ribu eksportir senang. Importir yang kelenger,” ujar Christian.
Intinya adalah mencari cara agar kedua belah pihak senang. Christian tak ingin terjadi seperti tahun 1950-an. Jadi saat itu ada perbedaan kurs untuk importir dan eksportir. "Tapi akhirnya malah jadi kacau, calo liar meluar, dolar gelap dan macam-macam kekacauan. Jadi tidak usahlah seperti itu. Kita fokuskan saja berapa nilai keseimbangannya, misal empat belas atau lima belas ribu.”
Christian mengatakan kebijakan ekspor yang lemah harus diperbaiki karena belum maksimal. “Masak negara kita cuma ekspor Rp180 miliar nilainya, kalah dengan Vietnam yang bisa Rp250 miliar.”
Oleh karena itu, Christian berpesan agar pemerintah membuat slogan ekspor atau mati, jelas. Kalau gak ekspor ya mati.
Christian berpesan agar masyarakat tidak terlalu mengkritik pemerintah yang sedang membangun infrastruktur. Pembangunan itu untuk menurunkan cost supaya Indonesia bisa berdaya saing dan bisa ekspor lebih banyak.
Ekspor Indonesia kalah karena tidak memiliki infrastruktur. Semua infrastruktur yang dibangun untuk mempermudah supaya mampu berdaya saing dengan negara luar. "Resep itu sudah tepat. Namun Indonesia selalu terlena, jika tidak ada urgensi ekspornya juga santai. Sekarang ada urgensi baru jadi buru-buru. Kita ini ahli di manajemen buru-buru itu,” ujar Christian.
Fritzgerald Stevan Purba, juga sependapat dengan Christian. Chief Investment Officer IndoSterling Capital ini juga menganggap Indonesia masih jauh dari kata krisis. Contoh krisis paling jelas ialah Argentina dan Venezuela, tapi karena Indonesia juga termasuk negara berkembang maka juga terkena dampak dari sisi mata uang.
Sekali lagi, kebijakan yang dibuat Trump tersebut yang menjadi salah satu penyebabnya. Saat ini semua bank sentral di dunia terlalu mementingkan kepentingan masing-masing. "Kalau ini terus berlanjut ya bisa saja Indonesia masuk krisis juga. Harapan kita ya meskipun jelek, ingin ada perlambatan di The Fed sehingga mereka mikir untuk menaikkan suku bunga. Akibatnya kita bisa stabil untuk beberapa waktu ke depan,” harap Stevan Purba.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri