tirto.id - Menjelang Pilpres 2019, petahana Joko Widodo (Jokowi) mulai menyatakan perlawanan terhadap serangan disinformasi ala propaganda Rusia yang diduga keras terjadi pada Pilpres AS 2016.
Hal tersebut ia nyatakan dalam pidatonya ketika menghadiri deklarasi dukungan yang dilakukan oleh Forum Alumni Jawa Timur di Surabaya pada Sabtu (2/2) lalu. Pada kesempatan itu, Jokowi mengajak para pendukungnya untuk memerangi apa yang ia sebut "propaganda Rusia" oleh pihak tertentu.
“Masalahnya adalah, ada tim sukses yang menyiapkan sebuah propaganda, yang namanya propaganda Rusia, yang setiap saat selalu mengeluarkan semburan fitnah, semburan dusta, semburan hoaks, ini yang harus segera diluruskan oleh bapak ibu sekalian sebagai intelektual,” sebut Jokowi, seperti dilaporkan oleh CNN Indonesia.
Tidak hanya pada acara tersebut, Jokowi kembali mendengungkan bahaya "propaganda Rusia" ini di hadapan sejumlah relawan Sedulur Kayu dan Mebel di Aula De Tjolomadoe, Karanganyar, Jawa Tengah, pada Minggu (3/2). Mantan walikota Solo itu kini menambahkan bahwa ada konsultan asing yang menggunakan teori propaganda Rusia.
Kendati konsisten tidak menyebutkan siapa pihak di balik upaya-upaya propaganda itu. Ucapan Jokowi ini sempat mendapat sanggahan dari Kedutaan Besar Rusia di Indonesia. Jokowi juga sempat mengklarifikasi maksud ucapannya itu.
"Iya ini kita tidak bicara mengenai negara, bukan negara Rusia, tapi terminologi dari artikel di RAND Corporation," dikutip dari Merdeka.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan bahwa "Propaganda Rusia’ yang disebut Jokowi adalah sindiran bagi lawan satu-satunya mantan gubernur DKI Jakarta di pilpres mendatang, yakni pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Hasto beralasan, pernyataan Jokowi itu karena pihaknya mengetahui bahwa Prabowo didukung oleh konsultan politik asing sejak pemilu 2009 silam.
Seperti yang dapat diterka, kubu Prabowo langsung tuduhan ini. Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Ferdinand Hutahaean menganggap apa yang Jokowi katakan tersebut hanyalah bentuk ketakutan pihak petahana dalam menghadapi Prabowo.
“Saya pikir tuduhan itu tidak berdasar fakta dan data yang akurat,” sebut Ferdinand. “Emang apa salahnya pakai konsultan asing? Kan boleh? Tidak dilarang. Itu kalau bicara aturan, apalagi ini memang tidak pakai. Jadi saya pikir TKN (Tim Kampanye Nasional Jokowi) sedang berupaya mencari kambing hitam agar tidak dimarahin oleh Jokowi.”
Simpang Siur Propaganda Rusia
Terlepas dari konteks pemilu dalam negeri, isu propaganda oleh Rusia (terutama via media sosial) yang pertama kali berhembus kencang sejak Pemilu Presiden AS tahun 2016 lalu itu hingga kini masih simpang siur. Belum ada bukti yang benar-benar sahih yang secara gamblang memperlihatkan kuatnya pengaruh Moskow dalam pemilu AS.
Pihak Rusia sendiri menyatakan tudingan tersebut sebagai rekayasa politik. Dalam pernyataan melalui akun resminya, Kedutaan Besar Rusia di Indonesia menyebutkan bahwa istilah propaganda Rusia ini “sama sekali tidak berdasarkan pada realitas”.
“Kami menggarisbawahi prinsip posisi Rusia tidak campur tangan atas urusan dalam negeri dan proses-proses elektoral di negara-negara asing, termasuk Indonesia yang merupakan sahabat dekat dan mitra penting kami,” tulis Kedutaan Besar Russia dalam akun Twitter resmi mereka.
Sejumlah laporan di media besar AS menyebutkan campur tangan Rusia dalam Pilpres 2016. Salah satunya laporan New York Times yang menyebutkan propaganda Rusia menyasar masyarakat kulit hitam AS selama Pilpres AS 2016.
New York Times mengutip studi dari New Knowledge berjudul “The Tactics & Tropes of the Internet Research Agency” yang menuliskan bahwa “Upaya IRA paling produktif di Facebook dan Instagram secara khusus menyasar komunitas kulit hitam Amerika dan tampaknya telah difokuskan pada [aktivitas] pengembangan audiens kulit hitam dan merekrut warga kulit hitam AS sebagai aset.”
IRA adalah akronim dari Internet Research Agency. Lembaga ini disinyalir sebagai aktor utama di balik operasi propaganda Moskow. Laporan New Knowledge sendiri adalah satu dari dua penelitian terkait IRA yang dipublikasikan oleh Komite Intelijen Senat AS.
Laporan yang sama juga menemukan indikasi upaya IRA menggembosi perolehan suara Partai Demokrat melalui berbagai medium di internet. Cara yang digunakan adalah dengan menghasut para pendukung Bernie Sanders dan warga kulit hitam untuk tidak memilih Hillary Clinton, alih-alih mencoblos kandidat Partai Hijau Jill Stein atau tidak memilih sama sekali.
Meski demikian, jurnalis The Nation Aaron Mate dalam laporannya menggarisbawahi satu pokok penting dari studi New Knowledge. Studi tersebut menyatakan “terlalu sempit” untuk mengevaluasi konten produksi IRA hanya berdasarkan asumsi bahwa operasi Moskow berpengaruh besar terhadap pergeseran suara di pemilu AS. Pasalnya, konten-konten yang politis secara eksplisit jumlahnya sangat sedikit.
“Sebanyak 11 persen dari total konten terkait langsung dengan pemilu dan 33 persen dari engagement terkait dengan pemilu,” tulis laporan New Knowledge (hal. 78).
Selain itu, pengeluaran dana terkait operasi propaganda Rusia ini juga sangat minim. Aaron Mate menuliskan bahwa hanya sekitar $46.000 digelontorkan untuk iklan-iklan Facebook yang berhubungan langsung dengan Rusia sebelum pemilu 2016.
Jumlah tersebut, lanjut Mate, hanya sekitar 0,05 persen dari total $81 juta biaya iklan Facebook yang dikeluarkan oleh Clinton dan Donald Trump.
Namun, jika konten yang eksplisit secara politis terbatas jumlahnya, bagaimana dengan propaganda bermuatan isu sosial?
New York Timesmelaporkan bahwa sejumlah konten dari IRA yang populer di ranah media sosial memang menyasar isu-isu sosial seperti masalah jaminan sosial bagi veteran perang yang dikontraskan dengan masalah pengungsi, isu orang Kristen vs non-Kristen, serta represi terhadap orang kulit hitam oleh polisi.
Laporan RAND Corporation bertajuk "The Russian 'Firehose of Falsehood' Propaganda Model" (PDF, 2016) menyebutkan penekanan model propaganda Rusia adalah menghasut, mengeksploitasi kebingungan, dan mendorong sasaran propaganda tanpa sadar bertindak sesuai keinginan si propagandis.
Metode "Firehose of Falsehood" memiliki dua karakteristik utama: disalurkan melalui beragam medium dan serta penyebaran konten yang sifatnya fiksi belaka atau setengah benar.
Pengaruh Moskow dalam Pilpres AS 2016 sendiri masih dikaji. Jika kesimpulannya propaganda Rusia di AS ternyata tidak memberikan dampak yang signifikan, apakah masyarakat Indonesia perlu khawatir dengan klaim mengenai propaganda Rusia via konsultan asing?
Kekhawatiran itu nampaknya berlebihan. Namun, dengan atau tanpa konsultan asing, ekspresi-ekspresi politis yang bersliweran di media sosial beberapa tahun belakangan dan menjelang Pilpres memang sangat mengeksploitasi sentimen ras dan keagamaan. Di luar pilpres, tingkat literasi digital Indonesia yang memprihatinkan jadi akar permasalahan yang patut segera diselesaikan.
Editor: Windu Jusuf