Menuju konten utama

Riwayat Pelabuhan Jepara yang Perannya Surut oleh Intervensi VOC

Jepara sejak masa kuno telah terkenal sebagai kota pelabuhan. Sebelum surut, sempat berjaya kala dipimpin Ratu Kalinyamat.

Riwayat Pelabuhan Jepara yang Perannya Surut oleh Intervensi VOC
Header Mozaik Pelabuhan Jepara. tirto.id/Quita

tirto.id - Jepara seringnya dikaitkan dengan sosok Kartini. Lainnya mengaitkannya dengan hasil kerajinan ukir kayu yang juga masyhur sejak era Kolonial. Tidak salah, tapi Jepara sebenarnya telah muncul di panggung sejarah jauh sebelum itu.

Jepara merupakan kota maritim yang sejarahnya merentang sejak zaman Kuno. Pada masa Kerajaan Demak, Jepara merupakan sebuah pelabuhan niaga dan militer besar. Bahkan pada masa Hindu-Buddha sebelumnya, Jepara diduga merupakan bagian dari Kerajaan Kalingga yang namanya masyhur hingga Tiongkok.

Lantas, bagaimana mulanya Jepara berkembang? Juga, seperti apa tinggalan-tinggalan arkeologis yang menegaskan eksistensi sejarahnya?

Jepara diperkirakan sudah eksis sejak zaman Kuno, tapi tarikh pasti kapan ia berdiri masih sukar dipastikan.

Tim Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dalam Citra Kabupaten Jepara dalam Arsip (2017) menyebut daerah yang sekarang di kenal sebagai Jepara dulunya merupakan bagian dari Kerajaan Kalingga. Kerajaan bercorak Hindu ini diperkirakan eksis sejak abad ke-7 hingga abad ke-10.

Kalingga—atau dalam kronik Tiongkok disebut Ho-ling—pernah diperintah oleh seorang raja perempuan bernama Ratu Shima. Di masa itu, Jepara merupakan sebuah kota pelabuhan yang cukup ramai. Kapal-kapal niaga asing berdatangan dari India, Arab, Tiongkok, dan Kamboja.

“Jepara menjadi kota pelabuhan yang sangat ramai di bidang pelayaran, perniagaan, perdagangan, dan menjadi salah satu pintu gerbang masuknya berbagai pengaruh asing,” tulis Tim ANRI.

Asal-usul Nama dan Posisinya

Petunjuk-petunjuk lain terkait asal-usul nama Jepara dan posisinya sebagai kota maritim bisa pula dikais dari cerita-cerita tutur yang kemungkinan berkembang sejak sebelum kedatangan Islam di Nusantara.

Seturut penelusuran Agustinus Supriyono yang tertuang dalam “Tinjuan Historis Jepara Sebagai Kerajaan Maritim dan Kota Pelabuhan” (2013, PDF), nama Jepara yang semula adalah Ujung Para.

Supriyono mengutip keterangan dari C. Lekkerkerker dalam “Javaansche geographies namen als spiegel van de omgeving en de denkwijze van het volk” (1932) yang menyebut bahwa penyebutan Ujung Para mengalami perubahan seiring masa berganti. Dari Ujung Para, ia berubah jadi Ujung Mara, lalu Jumpara, hingga akhirnya kita mengenal Jepara atau Japara.

Kata “Ujung” sendiri memang berasosiasi dengan lokasi yang dekat dengan laut atau pesisir. Sementara itu, kata “Para” disebut punya dua akar etimologi. Pertama, ia berasal dari kata bahasa Jawa para yang bisa diartikan “menunjukkan arah”. Maka nama Ujung Para seturut versi pertama ini memang menunjuk pada suatu daerah yang letaknya dekat laut.

Versi lain mengatakan nama Para adalah kependekan dari kata Jawa pepara yang berarti “berdagang ke sana ke mari”. Kata ini memberi indikasi bahwa Jepara dulunya merupakan bandar dagang.

Kemungkinan pengertian ini tepat karena sesuai dengan letaknya, daerah Jepara pada mulanya memang terletak di daerah semenanjung. Keberadaannya sebagai kota pelabuhan dan akhirnya menjadi tempat persinggahan para pedagang dari berbagai penjuru tentu karena letaknya yang strategis dan mudah dijangkau,” tulis Supriyono.

Cerita-cerita tutur tentang Jepara juga kian menegaskan posisinya kemaritimannya di masa Kuno. H.J. De Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud dalam Kerajaan-kerajaan Islam pertama di Jawa Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1985), misalnya, mendokumentasikan folklor tentang Raja Sandang Garba dan Dandang Gendis.

Cerita rakyat itu menyebutkan bahwa Ujung Mara dan Juwana (sekarang masuk wilayah Kabupaten Pati) dahulu kala merupakan daerah kekuasaan Sandang Garba. Dia dijuluki sebagai Rajanya Kaum Pedagang. Di suatu masa, Raja Sandang Garba dikalahkan oleh adiknya yang bungsu, Dandang Gendis si “Raja Kaum Agamawan”, yang memerintah di Kuripan dan Jenggala.

Kemenangan Dandan Gendis itu diraih atas bantuan orang-orang dari Tiongkok. Setelah kemenangan Dandang Gendis, Sandang Garba mangkat dan dimakamkan di Tayu. Sementara itu, sebagian penduduk Ujung Mara dikisahkan hijrah ke Tuban dan hidup di bawah kekuasaan Tisna Yuda.

Cerita Sandang Garba-Dandang Gendis ini secara tersirat mengabarkan tentang pasang-surut Jepara di masa lalu. Ada pula kesan bahwa di zaman ketika kota ini masih disebut Ujung Mara, ia telah punya reputasi sebagai pelabuhan yang setara dengan Tuban dan Kuripan di delta Sungai Brantas.

Infografik Mozaik Pelabuhan Jepara

Infografik Mozaik Pelabuhan Jepara. tirto.id/Quita

Di Panggung Sejarah

Jepara meroket citranya sebagai kota pelabuhan penting di era Kerajaan-kerajaan Islam. Jika kita buka manuskrip Suma Oriental karya penjelajah abad ke-15 Tome Pires, terdapat keterangan bahwa Jepara cukup masyhur sebagai kota pelabuhan di paruh akhir abad ke-15.

Tome Pires menyebut Jepara—ketika itu merupakan pantai barat Pulau Muria yang terpisah dari Pulau Jawa—diatur oleh penguasa bernama Arya Timur. Kota ini dilukiskan dikelilingi benteng bambu dengan pantai yang terlindung pulau-pulau kecil. Karenanya, Jepara juga disebut sebagai salah satu pelabuhan terbaik di Nusantara.

Maka dinamika sejarah dan budaya di Jepara tidak bisa dilepas dari aktivitas kepelabuhan dan pelayaran. Selain sebagai pelabuhan dagang, Jepara pada masa Prakolonial juga merupakan salah satu pangkalan angkatan laut Kesultanan Demak.

Di masa itu, penguasa Jepara yang masyhur adalah Ratu Kalinyamat. Dia juga merupakan salah satu panglima perang Kesultanan Demak, khususnya sebagai panglima armada laut. Di masanyalah Jepara mencapai puncak kejayaan.

Sebagai penguasa, Ratu Kalinyamat membangun sarana dan prasarana kota pelabuhan yang membuat posisinya semakin strategis. Infrastruktur penting itu bertahan hingga kemudian dimanfaatkan oleh VOC Belanda di masa kemudian.

Di sepanjang kurun abad ke-16 hingga abad ke-18, Jepara terus mengalami tranformasi di bawah pengaruh kekuasaan yang berbeda-beda. Namun, peran intinya sebagai kota pelabuhan tak pernah bergeser. Hanya kecenderungan perubahan sosial sosial yang tak terhindarkan.

Djoko Dwiyanto dalam tesisnya Kota Pelabuhan Jepara pada Awal Abad XVIII (2004) menyebut perubahan sosial itu adalah niscaya di kota yang amat dinamis. Di masa lalu, golongan penguasa atau priyayi memegang posisi dan peran sangat penting di kota ini. Namun, posisi itu perlahan kian tergerus oleh munculnya golongan sosial baru, yakni para saudagar.

Para saudagar itu lambat laun memperbesar modal dan perannya. Dengan itu, mereka pun menjadi priyayi-priyayi baru yang juga memiliki kekuatan politik di kota pelabuhan kuno ini.

Pada akhirnya, Jepara pun tak kuasa membendung intervensi yang datang dari Kompeni Belanda. Politik Belanda kemudian turut menyebabkan runtuhnya peran kota-kota pelabuhan di pesisir utara Pulau Jawa, tak terkecuali Jepara.

Masa surut Jepara mulai tampak jela setelah disepakatinya Pejanjian Ponorogo antara Mataram dan VOC pada 1743. Sejak itu, Jepara—berikut juga pesisir lain, yakni Surabaya, Rembang, Blambangan, dan pesisir barat Madura—terserap dalam daulat kolonialisme Belanda.

Baca juga artikel terkait MARITIM atau tulisan lainnya dari Ary Sulistyo

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Ary Sulistyo
Penulis: Ary Sulistyo
Editor: Fadrik Aziz Firdausi