Menuju konten utama
Mozaik

Riwayat Palabuhanratu, dari Mitos sampai Tujuan Favorit Vakansi

Sejenak menengok ke belakang tentang Palabuhanratu, salah satu wilayah di Kabupaten Sukabumi yang kini masih pemulihan setelah dilanda banjir dan longsor.

Riwayat Palabuhanratu, dari Mitos sampai Tujuan Favorit Vakansi
Header Mozaik Pelabuhan Ratu. tirto.id/Tino

tirto.id - Jelang penghujung tahun 2024, tepatnya pada Rabu 4 Desember lalu, banjir menerjang beberapa wilayah di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Kabar ini menjadi perhatian khalayak setelah tersebarnya video di media sosial yang menampilkan banjir yang menghanyutkan beberapa mobil.

Tak hanya dilanda banjir, di beberapa titik di Sukabumi juga dilaporkan ada bencana lain berupa tanah longsor. Kabar itu dibenarkan oleh Pranata Humas Ahli Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Barat, Hadi Rahmat. Menurutnya, cuaca ekstrem yang melanda Sukabumi menjadi penyebab kedua bencana itu terjadi.

Hingga 7 Desember pagi, menurut BPBD Provinsi Jawa Barat, jumlah korban meninggal berjumlah 5 orang, sementara 7 orang lainnya hilang. Bencana ini membuat Pemkab Sukabumi segera menetapkan status tanggap darurat selama sepekan ke depan.

Salah satu kecamatan yang terdampak dalam bencana ini adalah Kecamatan Palabuhanratu yang merupakan ibu kota Kabupaten Sukabumi yang terkenal dengan wisata pantainya. Salah satu daya tarik dari pantai ini adalah ombaknya yang besar dan kuat, sehingga cocok sebagai tempat untuk surfing.

Sekilas Riwayat Palabuhanratu

Palabuhanratu sejak dulu sudah dikenal sebagai salah satu tempat wisata di Sukabumi. Nama Palabuhanratu konon muncul dari Nyai Ratu, yaitu Ratu Puun Purnamasari, seperti yang tertulis dalam dalam buku Sejarah Jawa Barat untuk Pariwisata II terbitan Dinas Pariwisata Daerah Provinsi Jawa Barat (1974).

Dalam buku itu ditulis bahwa menurut salah satu pantun, Ratu Puun Purnamasari adalah salah seorang putri Prabu Siliwangi. Suatu hari, sang putri bersama ayahnya melarikan diri menuju daerah Sukabumi bagian selatan karena dikejar oleh tentara Banteng pimpinan Jayaantea.

Singkat cerita, Jayaantea tewas dan Ratu Puun Purnamasari diangkat menjadi ratu oleh penduduk di Cimandiri. Sang ratu memiliki satu pelabuhan yang berada di sekitar Sungai Cimandiri yang kemudian berpindah di lokasi Palabuhanratu sekarang.

Kisah lain mengenai Palabuhanratu menurut Tatiek Kartikasari dan Dwi Agustina dalam buku Upacara Melabuh di Palabuhanratu (1999), berasal dari kisah Dewi Kadita, anak dari Prabu Siliwangi yang cantik jelita namun karena ilmu sihir dari para selir yang iri dengan kehidupannya, ia berubah menjadi buruk rupa.

Dewi Kadita dan ibunya lalu diusir dari istana dan berjalan tanpa arah hingga akhirnya tiba di tepian pantai. Di tepi pantai, Dewi Kadita tertidur dan bermimpi bahwa ia bisa sembuh dari guna-guna, namun ia harus terjun ke lautan.

Pantai Pelabuhan Ratu

Pantai Pelabuhan Ratu. FOTO/Wikicommon

Terbangun dari tidur, mimpi itu menjadi kenyataan. Ia sembuh dari guna-guna dan wajahnya kembali seperti sediakala. Sesuai dengan mimpi yang ia alami, Dewi Kadita harus tetap tinggal di pantai sehingga ia kemudian dikenal dengan sebutan Ratu Pantai Selatan atau Nyai Roro Kidul.

Lain lagi dengan orang-orang Belanda. Palabuhanratu oleh orang Belanda pada masa lalu disebut dengan Wijnkoopsbaai. Pieter Johannes Veth dalam Java, Geographisch, Ethnologisch, Historisch (1875), mengaitkan nama Wijnkoopsbaai dengan seorang opperkoopman yang bernama Jan Jacobsz.

Veth dalam bukunya juga menggambarkan Wijnkoopsbaai sebagai teluk dengan ombak yang besar dan pergunungan yang menjulang di bagian utara. Meski demikian, masih ada satu titik yang dapat digunakan sebagai tempat bersandarnya kapal, yakni di dekat aliran Sungai Cigangsa.

Palabuhanratu pada masa lalu menjadi saksi kedatangan kopi yang dibawa oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda VOC, Abraham van Riebeck. Peristiwa kedatangan kopi di Palabuhanratu terjadi tahun 1712.

Lasmiyati dalam tulisannya “Kopi di Priangan Abad XVIII-XIX” yang terbit di jurnal Patanjala, Vol. 7, No. 2, 2015, menyebut pada tahun 1712 Abraham van Riebeck tiba di Palabuhanratu seraya membawa benih kopi.

Ia kemudian mulai menanam biji kopi itu di Palabuhanratu dan hasilnya ternyata biji kopi itu dapat tumbuh dengan baik. Perkebunan kopi kemudian banyak ditemui di wilayah Priangan, apalagi setelah VOC memberlakukan Preangerstelsel yang membuat para petani di daerah Priangan diwajibkan untuk menanam kopi.

Berwisata di Wijnkoopsbaai

Sejak masa kolonial, Palabuhanratu menjadi salah satu tempat yang banyak dikunjungi para pelancong. Beberapa buku panduan wisata Hindia Belanda seperti Batavia, Buitenzorg en de Preanger. Gids voor Bezoekers en Toeristen (1891) menginformasikan sejumlah pantai yang bisa dikunjungi, salah satunya Wijnkoopsbaai atau Palabuhanratu.

Menurut Achmad Sunjayadi melalui tulisannya “Pariwisata Bahari di Hindia Belanda pada Akhir Abad ke-19” yang terbit dalam buku Meniti Ombak: Suntingan Kenangan untuk Profesor Susanto Zuhdi (2023), menyebut bahwa di Wijnkoopsbaai dan pantai lain di sekitar Sukabumi para pengunjung bisa menikmati keindahan pemandangan laut, gua-gua di sekitar pantai, dan menikmati kuliner laut.

Informasi lain mengenai wisata di Palabuhanratu dapat ditemui dalam Van Stockum’s Travellers Handbook for The Dutch East Indies yang ditulis oleh S.A. Reitsma (1930). Dalam buku ini disebutkan bahwa jika sedang berada di Sukabumi, tidak ada salahnya untuk mampir ke Wijnkoopsbaai.

JALAN BARU JALUR SELATAN JABAR

Pengendara kendaraan bermotor melintasi jalur baru Palabuhanratu-Ciletuh di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (9/5/2018). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

Menurutnya, menuju ke Wijnkoopsbaai akan lebih baik jika pengunjung menggunakan motor atau mobil. Selama perjalanan menuju ke Wijnkoopsbaai, mata para pengunjung akan dimanjakan dengan pemandangan indah berupa desa-desa yang subur dan asri, perkebunan teh, dan pemandangan ala pergunungan tropis.

Buku Van Stockum’s Travellers Handbook for The Dutch East Indies juga merekomendasikan para pengunjung untuk mampir ke sumber air panas di Cisolok, walaupun saat itu tak mudah dijangkau karena tak dapat dilewati kendaraan.

Para pengunjung harus berjalan kaki melewati jalan setapak selama satu jam dari tempat penitipan kendaraan. Pilihan lainnya adalah menyewa kuda atau memakai jasa angkut dengan tandu. Dua pilihan terakhir harus dibayar dengan biaya antara 0,50 gulden sampai 1,50 gulden.

Kisah Nelayan Penangkap Hiu

Berada di tepian pantai, membuat Palabuhanratu menjadi daerah yang masyarakatnya mengandalkan hasil laut. Setiap tahun warganya selalu menyelenggarakan Upacara Melabuh atau Upacara Labuh Saji. Upacara ini dilakukan sebagai bentuk syukur atas hasil laut yang diperoleh masyarakat.

Dalam buku Upacara Melabuh di Palabuhanratu (1999) disebutkan bahwa upacara ini dimulai saat Palabuhanratu berada di bawah kekuasaan Raja Danarasa. Saat itu tangkapan ikan di Palabuhanratu menurun, sang raja kemudian meminta petunjuk ke Yang Maha Kuasa, dan apabila tangkapan kembali banyak maka raja dan rakyat berjanji akan memberikan persembahan tiap tahun. Setelah itu, tangkapan ikan kembali melimpah.

Kisah mengenai nelayan di Palabuhanratu juga tidak luput dari catatan orang-orang Belanda. Manon Osseweijer dalam tulisannya “A Toothy Tale, a Short History of Shark Fisheries and Trade in Shark Products in Twentieth-Century Indonesia” yang terbit pada buku A World of Water: Rain, Rivers, and Seas in Southeast Asian History (2007), menulis salah satu kisah mengenai nelayan penangkap hiu di Winjkoopsbaai.

Dalam buku itu digambarkan kehidupan nelayan penangkap ikan hiu yang tiap malam, sekitar pukul setengah tujuh, sudah harus melaut dengan perahu kecil yang bisa ditempati oleh tiga nelayan.

Sebelum berburu hiu, para nelayan menangkap ikan layur untuk umpan. Pada pagi hari sekitar pukul 5, mereka mulai menuju ke tengah laut untuk menangkap hiu. Mereka menggunakan tali dengan panjang antara 144 m hingga 360 m.

Jika hiu terperangkap dalam jebakan tali yang dibuat para nelayan, maka nelayan akan membiarkan hiu itu terus bergerak hingga lelah, jika hiu sudah menyerah maka para nelayan akan menaikkan hiu itu ke kapalnya.

Baca juga artikel terkait PELABUHAN atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - News
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Irfan Teguh Pribadi