tirto.id - Pengeluaran negara untuk kebutuhan militer dan pertahanan mencapai tingkat tertinggi sejak Perang Dingin berakhir, demikian terang Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), lembaga think tank yang berfokus pada isu pertahanan global.
Dalam laporan tahunan yang dirilis Senin (29/4) lalu, SIPRI menyebutkan keseluruhan anggaran belanja untuk pos militer di ranah global pada 2018 mencapai $1,82 triliun, atau naik sekitar 2,6 persen dari tahun sebelumnya.
Sumbangan pengeluaran terbesar datang dari dua negara adidaya, AS dan Cina. Pemerintah Abang Sam, di bawah kepemimpinan Donald Trump, menghabiskan sekitar $649 miliar. Angka ini menjadikan AS negara dengan pengeluaran militer terbesar di dunia. Cina menempati urutan kedua dengan total pengeluaran sebesar $250 miliar.
Negara lain yang masuk daftar 10 besar, mengutip pemberitaan Al Jazeera, yaitu Arab Saudi, India, Perancis, Rusia, Inggris, Jerman, Jepang, serta Korea Selatan.
Bagaimana Tahun Lalu?
Hasil laporan SIPRI tahun ini tak berbeda jauh dengan tahun sebelumnya. Pada 2017, total pengeluaran negara di dunia untuk pos pertahanan dan militer menyentuh angka $1,74 triliun, meningkat 1,1 persen dari 2016. Total pengeluaran pada tahun tersebut mewakili 2,2 persen Produk Domestik Bruto (PDB) global.
“Peningkatan pengeluaran militer dunia dalam beberapa tahun terakhir sebagian besar disebabkan oleh pertumbuhan substansial dalam pengeluaran negara-negara di Asia, Oseania, dan Timur Tengah, seperti Cina, India, hingga Arab Saudi,” kata peneliti SIPRI, Nan Tian.
Beberapa catatan yang berhasil dihimpun SIPRI antara lain kenaikan pengeluaran Cina di bidang militer, meneruskan tren yang telah berlangsung lebih dari dua dekade, menjadi $228 miliar (sebesar 5,6 persen). Kenaikan angka tersebut salah satunya disebabkan oleh ketegangan di kawasan regional.
Pengeluaran militer Rusia mengalami penurunan sekitar 20 persen menjadi $66,3 miliar dari 2016. Ini penurunan pertama sejak 1998. Kondisi perekonomian dalam negeri yang tengah tidak stabil sejak 2014 disinyalir menjadi penyebab utamanya.
Di kawasan Timur Tengah, Arab Saudi menjadi negara dengan belanja militer tertinggi, yakni sebesar $69,4 miliar. Konflik bersenjata dengan milisi Houthi di Yaman, terang SIPRI, merupakan faktor pendorong naiknya anggaran pengeluaran Saudi di bidang militer━terlepas dari turunnya harga minyak global.
AS tetap berada di posisi puncak klasemen dengan total pengeluaran sebanyak $610 miliar. Pengeluaran militer AS tidak berbeda dibanding tahun 2016.
“Kecenderungan penurunan belanja militer AS yang dimulai pada 2010 telah berakhir,” ungkap Direktur Program SIPRI, Aude Fleurant. “Pengeluaran [AS] pada 2018 akan meningkat secara signifikan guna mendukung peningkatan personel militer, modernisasi senjata, serta program nuklir.”
Mengapa Negara Meningkatkan Pengeluaran untuk Militer?
Anggaran pertahanan merupakan suatu bentuk kewajiban bagi setiap negara. Penyediaan anggaran pertahanan berkorelasi dengan tujuan memastikan keamanan negara. Yang harus diperhatikan adalah bahwa anggaran pertahanan harus tetap menyesuaikan sumber daya yang ada. Perencanaan dan pengeluaran untuk pos pertahanan yang kelewat ambisius bisa jadi malah menyebabkan kolapsnya perekonomian nasional.
Banyak yang berpendapat bahwa pengeluaran untuk pos pertahanan hanya dapat memberi manfaat bila ada ancaman nyata terhadap negara. Paradoks lainnya, semakin tinggi kemampuan negara mengelola anggaran pertahanannya, semakin kecil pula kemungkinan agresi oleh negara lain.
Paul Collier dalam “War and Military Expenditure in Developing Countries and Their Consequences for Development” yang dipublikasikan The Economics of Peace and Security Journal (2006, PDF), menyebutkan terdapat beberapa faktor yang mendorong negara meningkatkan anggaran militernya: perang, perlombaan senjata, hingga pemberontakan di dalam negeri. Dari berbagai faktor yang dijelaskan, perang secara aktif menjadi pemicu utama kenaikan pengeluaran untuk pos pertahanan.
Meski begitu, Collier juga mencatat pengeluaran militer dalam skala yang besar pada dasarnya memberikan konsekuensi buruk bagi kenyamanan regional. Setiap kali satu negara meningkatkan pengeluaran militernya, kemungkinan besar bakal memicu riak di seluruh wilayah yang bersangkutan. Negara-negara di kawasan yang sama diprediksi akan merespons peningkatan anggaran secara serius sehingga dapat memunculkan potensi masalah yang lebih buruk lainnya seperti, misalnya, perlombaan senjata.
“Tren kenaikan belanja militer seharusnya membuat kita prihatin secara serius,” jelas petinggi SIPRI, Jan Eliasson. “Ini dapat merusak pencarian solusi dalam untuk konflik di seluruh dunia.”
Pusaran Rivalitas
Laporan SIPRI juga dapat dibaca sebagai pertanda kian sengitnya persaingan AS dan Cina memperebutkan pengaruh di tatanan global. Dalam dua tahun berturut-turut, kedua negara superpower ini duduk di peringkat satu dan dua.
Sejak 2018 silam, AS memutuskan untuk menaikan anggaran pertahanan hingga $700 miliar━dan naik menjadi $716 miliar di tahun berikutnya. Berdasarkan undang-undang yang ditandatangani Trump, gelontoran dana tersebut sedianya bakal dialokasikan untuk pelatihan militer, sistem pertahanan rudal yang lebih canggih, serta program pengembangan nuklir.
Motivasi utama pemerintahan Trump ketika menaikan anggaran bukanlah konflik di Timur Tengah, melainkan eksistensi Cina. Sejauh ini, Washington menganggap manuver militer Cina kian berbahaya sebab sudah mengusik kepentingan AS dan negara sekutu di wilayah Pulau Senkakus, Diayous, Taiwan, hingga Laut Cina Selatan.
Langkah AS nyatanya tak bikin Cina keder. Mengutip Bloomberg, pemerintah Xi Jinping memutuskan untuk meningkatkan anggaran pos pertahanan sebesar 7,5 persen pada 2019. Selain ditujukan untuk memenuhi ambisi Xi dalam membangun kekuatan militer kelas dunia, kenaikan anggaran ini juga dipakai untuk mengikis pengaruh militer AS di darat, laut, maupun udara.
Dalam laporan berjudul “What Does China Really Spends On Its Military” disebutkan bahwa anggaran pertahanan itu akan digunakan untuk pelatihan personel hingga perbaikan senjata.
Apa yang terjadi antara AS dan Cina, mengutip tulisan Collier, sebetulnya merupakan hal yang lumrah dalam percaturan geopolitik. Dalam makalahnya, Collier menulis bahwa sampai pada taraf tertentu tingkat pengeluaran militer akan dipengaruhi oleh tingkat pengeluaran negara lain dalam bidang pertahanan. Artinya, anggaran pertahanan yang dirumuskan AS akan mempengaruhi keputusan Cina dan sebaliknya.
Ini tidak bisa dilepaskan dari argumen bahwa bagi sebagian besar negara, ancaman yang dirasa paling serius tetaplah datang dari pihak eksternal, atau dapat ditafsirkan sebagai “negara lain.”
Hampir tiga dekade setelah runtuhnya Tembok Berlin, dunia kembali menyaksikan ketegangan antara dua kubu yang sama-sama berupaya merebut pengaruh di tatanan global.
Bagi AS, Cina merupakan rival. Sejak berkuasa, Trump dan jajaran petinggi terasnya konsisten mengeluarkan retorika dan narasi yang menyebut Cina sebagai pencuri kekayaan intelektual, perusak budaya, hingga pelanggar HAM. Tak cuma sebatas kata-kata, pemerintahan Trump juga menempuh aksi nyata untuk meredam pengaruh Cina.
Pada saat yang sama, Cina menganggap AS menghambat keinginan pemerintahan Xi Jinping untuk merealisasikan visi “China Dream”━sebuah slogan yang memuat cita-cita menjadi negara adidaya. Bagi Cina, AS tak ubahnya negara yang hipokrit.
Potensi persaingan kedua negara dipastikan akan terus tinggi. Setelah perang dagang dan saling boikot produk teknologi, sekarang persaingan kembali mencapai tahapan berikutnya: adu kekuatan militer.
Editor: Windu Jusuf