Menuju konten utama

Risiko dari Bakal Calon Kepala Daerah Berharta Minus

Ada anggapan bagi bakal calon kepala daerah yang memiliki harta minim bahkan minus berpotensi ditunggangi saat kampanye atau hingga nanti setelah berkuasa.

Risiko dari Bakal Calon Kepala Daerah Berharta Minus
Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) republik Indonesia. FOTO/Istimewa.

tirto.id - Keberadaan bakal calon kepala daerah pada Pilkada 2018 yang memiliki laporan harta kekayaan minim bahkan minus dikhawatirkan bisa memicu terjadinya konflik kepentingan saat sukses menjabat nanti.

Bakal calon pasangan kepala daerah yang kekayaannya berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) minim atau bahkan ada yang minus dianggap lebih sulit lepas dari kepentingan pemodal dan penyumbang dana, dibanding calon yang memiliki pendanaan sendiri dalam jumlah besar. Apakah benar demikian?

“Karena kalau hartanya minus, ada kecenderungan biaya kampanye dan pemenangan akan disumbang oleh pihak ketiga. Sumbangan dari pihak ketiga ini tentu akan sangat besar sekali sumbangannya,” kata Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadanil, kepada Tirto, Kamis (25/1/2018).

Namun, potensi terjadinya konflik kepentingan dapat dicegah sebelum masa kampanye Pilkada 2018 dimulai. Periode kampanye Pilkada serentak kali ini akan dimulai pada 15 Februari 2018 hingga 23 Juni 2018.

Fadli menambahkan pencegahan bisa dilakukan dengan mengoptimalkan audit laporan dana kampanye para bakal calon, khususnya untuk pasangan calon yang hartanya minim.

Sebelum kampanye dimulai, bakal calon di Pilkada memang diwajibkan untuk menyetor laporan awal dana kampanye ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Laporan itu kemudian akan diaudit, dan dibandingkan dengan laporan akhir penggunaan dana kampanye.

“Itu salah satu saja, meskipun kami sangat pesimistis terkait itu, karena selama ini laporan dana kampanye jadi syarat administrasi saja," ujarnya.

Langkah lain yang bisa dilakukan, dengan mengandalkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Lembaga itu diharap bisa memberi porsi khusus untuk mengawasi penggunaan dana kampanye para kandidat.

“Pengawas Pemilu mesti memberikan porsi khusus untuk mengawasi dana kampanye, sumbernya, apakah sesuai dengan aktivitas kampanye yang dilakukan,” kata Fadli.

Namun, para calon yang memiliki harta melimpah bukan berarti bebas dari celah potensi konflik kepentingan apalagi mereka menerima sumbangan untuk biaya politik. Hasil kajian KPK “Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada” menyebutkan bahwa pemberian sumbangan menciptakan potensi benturan kepentingan saat seorang kandidat menjabat nanti setelah menang Pemilu.

Hal tersebut terjadi karena mahalnya biaya kampanye yang harus ditanggung calon. Data Litbang Kemendagri terkait Pilkada serentak 2015, misalnya, mengkonfirmasi soal mahalnya biaya politik ini. Data yang dikutip dalam kajian KPK ini menunjukkan bahwa untuk menjadi walikota/bupati dibutuhkan biaya mencapai Rp20 hingga Rp30 miliar, sementara untuk menjadi gubernur berkisar Rp20 sampai Rp100 miliar.

Besaran biaya yang dibutuhkan tidak seimbang dengan kemampuan yang dimiliki oleh para calon kepala daerah. Berdasarkan laporan LHKPN, rata-rata harta kekayaan calon kepala daerah yang maju pada Pilkada 2015 hanya mencapai Rp6,7 miliar, bahkan terdapat 3 orang memiliki harta Rp0.

Adanya kesenjangan antara kemampuan keuangan para calon kepala daerah dan biaya yang harus dikeluarkan membuka peluang bakal calon untuk mencari dan menerima dana tambahan. Akibatnya, tak sedikit para kandidat yang maju dalam Pilkada tersebut mencari sumber dana di luar yang telah dilaporkan ke KPU, baik dalam bentuk Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) maupun Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK).

Temuan KPK dalam kajian tersebut menunjukkan bahwa tidak hanya calon yang memiliki harta minim atau bahkan minus yang berpotensi “masuk angin”, akan tetapi semua kandidat yang menerima sumbangan menciptakan potensi benturan kepentingan pada saat menjabat. Apalagi, sumbangan yang diterima tidak semua dilaporkan ke dalam LPSDK.

Data dari Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang dikutip KPK menyebutkan, ada empat sumber pengeluaran yang menyebabkan tingginya ongkos politik, yaitu: Pertama, biaya “perahu” pencalonan kepala daerah atau yang sering dikenal dengan mahar politik. Kedua, dana kampanye untuk politik pencitraan. Ketiga, ongkos konsultasi dan survei pemenangan. Keempat, praktik politik uang.

Bakal Calon Kepala Daerah Berharta Minus

Pada gelaran Pilkada 2018 ini, ada dua bakal calon kepala daerah yang memiliki harta minus. Catatan itu diketahui dari Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang wajib diberikan para bakal pasangan calon sebagai salah satu persyaratan di KPU.

Dua bakal kandidat yang hartanya minus adalah salah satu bakal kandidat Bupati Murung Jaya, Kalimantan Tengah. Pada LHKPN yang telah diberikan ke KPK, tercatat hanya memiliki kekayaan Rp-115,1 juta. Selain itu ada satu bakal calon wakil Bupati Manggarai Timur, NTT yang kekayaan berdasarkan LHKPN adalah Rp-94,7 juta.

Direktur Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN KPK, Cahya Hardianto Harefa berkata, pengumuman detail isi laporan harta kandidat di Pilkada akan disampaikan setelah KPU menetapkan pasangan calon kepala daerah di 171 daerah. Pengumuman bisa dilihat mulai 12 Februari mendatang.

Cahyo sempat berpesan agar pemilih di ratusan daerah penyelenggara Pilkada 2018 mempertimbangkan isi LHKPN para kandidat sebelum memastikan pilihannya. Pimpinan KPK juga disebut telah mengimbau masyarakat agar tidak memilih kandidat yang berbohong dalam mengisi LHKPN.

“Bagi para calonnya sendiri dengan lapor harta ini harapan kami adalah melaporkan hartanya dengan jujur,” kata Cahyo kepada wartawan di KPK, Jakarta, Rabu (24/1/2018).

Persoalan LHKPN yang minus memang bisa saja terjadi bila dikaitkan dengan seseorang dalam kondisi sedang berutang dalam jumlah besar melebihi dari aset miliknya.

Respons KPU dan Bawaslu

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, bakal kandidat memang tak dilarang memiliki utang atau harta yang minim. Larangan hanya berlaku jika bakal kandidat memiliki utang yang merugikan keuangan negara, atau dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri.

Pada penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU Pilkada disebutkan, maksud dari utang merugikan keuangan negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.

Komisioner KPU Wahyu Setiawan angkat bicara menanggapi fenomena adanya bakal kandidat Pilkada 2018 yang memiliki harta minim atau di bawah nol rupiah. Menurut dia, penyelenggara Pemilu tak berhak memeriksa detail dan kebenaran LHKPN para bakal kandidat.

"Karena semangatnya calon kepala daerah itu melakukan keterbukaan pada masyarakat melalui lembaga yang berwenang, KPK. Jadi bagi KPU sepanjang ada laporan itu kepada KPK, ya cukup. Kami tidak dalam posisi menilai itu benar atau tidak,” kata Wahyu di kantornya.

Wahyu menambahkan amanat UU Pilkada telah jelas mengizinkan bakal kandidat yang memiliki harta minim atau di bawah nol rupiah mendaftar ke KPU. KPU tak menyoal soal bakal kandidat yang memiliki harta minim.

“Misalnya saya calon, saya utang pribadi, utang bank atas nama pribadi, agunan atas nama pribadi, ini kan tidak ada kaitannya dengan merugikan keuangan negara," katanya.

Pada kesempatan terpisah, Komisioner Bawaslu Mochammad Afifuddin menegaskan lembaganya akan bekerja sama dengan KPK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melakukan investigasi terhadap dana milik kandidat Pilkada 2018. Kerja sama akan dibangun Bawaslu khususnya untuk mengawasi penggunaan dana selama masa kampanye oleh para kandidat.

"Kalau PPATK itu orientasinya tentu penelusuran rekening, yang KPK itu sementara untuk rumusan pencegahan," kata Afif di Kuningan, Jakarta.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Politik
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Abdul Aziz