tirto.id - Fenomena sandwich generation semakin santer diperbincangkan di tengah masyarakat belakangan ini. Melansir laporan Tirto, istilah sandwich generation pertama kali diperkenalkan oleh profesor sekaligus direktur praktikum Universitas Kentucky, Lexington, Amerika Serikat (AS) Dorothy A. Miller pada 1981.
Lewat jurnal berjudul "The 'Sandwich' Generation: Adult Children of the Aging," Miller mendeskripsikan generasi sandwich sebagai generasi yang tak hanya harus menanggung hidup anak-anaknya, tetapi juga orang tua mereka. Dengan kata lain, generasi tersebut “terimpit” oleh generasi sebelum dan sesudahnya, seperti bentuk sandwich.
Secara statistik, proporsi generasi sandwich dapat dilihat dari rasio ketergantungan atau rasio beban tanggungan (dependency ratio), yakni perbandingan antara banyaknya penduduk usia non produktif dengan banyaknya penduduk usia produktif.
Dalam konteks Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan, di tahun 2025, akan ada sebanyak 67,90 juta orang yang masuk dalam kelompok usia produktif (15—64 tahun). Angka yang setara dengan 23,83 persen dari total penduduk itu nantinya bakal “bertanggung jawab” untuk memberi penghidupan yang layak bagi kelompok usia non produktif (0—14 tahun dan di atas 65 tahun).
Menukil data BPS, dependency ratio Indonesia pada tahun 2025 ditaksir bertengger di angka 47,2. Artinya, setiap 100 penduduk usia produktif bakal menanggung 47—48 orang usia non produktif. Kondisi itu diprediksi bakal berlanjut hingga tahun 2035, di mana dependency ratio diproyeksi mencapai 47,3.
Dengan angka-angka tersebut, terlihat bahwa orang-orang di usia produktif yang termasuk ke generasi sandwich cukup banyak. Hal ini senada dengan temuan surveiTirto, yang merekam bahwa lebih dari separuh 1.500 responden, yakni sebanyak 50,6 persen, mengidentifikasikan diri sebagai generasi sandwich. Di antara 759 orang itu, kebanyakan memberi sokongan finansial kepada anak dan orang tua mereka (47,04 persen).
Generasi sandwich di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, baik dari segi finansial maupun psikologis. Dari segi finansial, generasi sandwich harus menanggung biaya hidup untuk diri sendiri, anak-anak, dan kerabat atau orang tuanya. Beban finansial ini dapat menjadi sangat berat, terutama jika generasi sandwich memiliki penghasilan yang terbatas.
Untuk melihat bagaimana dampak menjadi generasi sandwich terhadap keuangan pribadi dan perencanaan keuangan jangka panjang, Tirto bekerja sama dengan Jakpat, penyedia layanan survei dengan lebih dari 1,3 juta pengguna yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, untuk meluncurkan sebuah survei untuk memotret kondisi generasi sandwich.
Metodologi
Jumlah responden: 1.500 orang
Waktu survei: 11 Oktober 2023
Wilayah riset: Indonesia, tersebar di 33 provinsi
Instrumen penelitian: Kuesioner daring dengan Jakpat sebagai penyedia platform
Jenis sampel: Non-probability sampling (semua responden adalah responden Jakpat dengan profil yang acak)
Margin of Error: Di bawah 3 persen
Profil Responden
Jenis kelamin responden terbagi rata antara perempuan dan laki-laki, masing-masing 50 persen. Sementara dari segi usia, kebanyakan partisipan survei ini berumur 20 – 25 tahun (31,67 persen), diikuti kelompok usia 30 – 35 tahun dan 26 – 29 tahun.
Sebagian besar dari mereka sudah bekerja (51,60 persen), baik di sektor F&B, retail, pemasaran, perbankan, maupun edukasi dan penelitian. Proporsi yang juga besar yakni kalangan mahasiswa dan pelajar (15,40 persen), lalu ada pula yang sedang tidak bekerja, persentasenya sama dengan wiraswasta, masing-masing sebesar 11,33 persen. Proporsi terkecil yakni responden yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga (10,33 persen).
Mayoritas responden merupakan lulusan SMA/sederajat dengan persentase sebesar 53 persen. Disusul responden yang memiliki latar pendidikan S1 sebesar 31,93 persen Diploma 3 (6,13 persen), SMP atau sederajat (1,07 persen), dan SD (1,07 persen). Kemudian sebanyak 0,80 persen dan 0,47 persen merupakan jebolan D1 dan D2.
Dari segi domisili, responden berasal dari seluruh daerah di Indonesia, meskipun kebanyakan berasal dari Pulau Jawa dengan persentasenya mencapai 80,53 persen. Dengan rincian Jawa Barat (27,60 persen), DKI Jakarta (17,87 persen), Jawa Timur (12,53 persen), Jawa Tengah (10,73 persen), Banten (7,47 persen) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (4,33 persen).
Mengekor di belakangnya responden dari luar Jawa, tersebar di Pulau Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Sisanya adalah responden yang berasal dari Bali dan Nusa Tenggara, serta yang paling sedikit berasal dari Maluku dan Papua.
Hampir Separuh Generasi Sandwich Kesulitan Mencapai Tujuan Finansial
Hasil survei menunjukkan, dengan kebanyakan responden generasi sandwich harus menyokong hidup anak sekaligus orangtua mereka, sebanyak 48,62 persen generasi sandwich mengaku sulit mencapai tujuan finansial pribadi. Dengan rincian, sebanyak 33,60 persen responden mengaku agak sulit dan 15,02 persen responden mengaku sangat sulit.
Sementara, sebanyak 15,68 responden mengaku tidak terlalu sulit dan hanya sebesar 5,67 persen responden yang mengaku tidak sulit sama sekali. Sisanya, 30,04 responden mengaku netral.
Adapun dengan gambaran kondisi finansial tersebut, survei ini mengungkap mayoritas generasi sandwich (73,13 persen) mengaku perlu mengubah gaya hidup untuk mengelola beban keuangan yang dihadapi.
Sementara, 12,91 persen menyatakan tidak terlalu perlu mengubah gaya hidup, disusul sebanyak 11,86 persen mengaku tidak yakin dan hanya 2,11 persen yang menyatakan tidak perlu sama sekali untuk mengubah gaya hidup.
Meski begitu, dengan gambaran tujuan finansial dan beban keuangan tersebut sebesar 51,12 persen responden merasa situasi keuangannya saat ini masih aman. Sementara, 20,03 responden merasa tidak yakin atas situasi keuangannya saat ini,18,58 persen merasa cukup tidak aman dan 10,28 persen merasa sangat tidak aman.
Punya Dana Darurat dan Investasi Tapi Masih Jauh Dari Target
Di tengah tuntutan memberi sokongan finansial kepada anak, orang tua dan saudara/kerabat terdekat, dana darurat menjadi salah satu hal yang penting untuk dipertimbangkan bagi generasi sandwich.
Mengutip pengertian pada laman DJKN Kementerian Keuangan, dana darurat sendiri merupakan dana yang sengaja dipersiapkan untuk disimpan sebagai bentuk antisipasi dan dapat digunakan ketika peristiwa atau keadaan darurat yang tidak diantisipasi atau tidak diharapkan terjadi. Misalnya seperti dana untuk berobat ketika sakit, perbaikan kendaraan/rumah hingga ketika kita kehilangan sumber penghasilan.
Kembali ke survei yang dilakukan Tirto dan Jakpat, hasil survei ini merekam bahwa sebagian besar generasi sandwich (47,69 persen) telah memiliki dana darurat atau tabungan meski masih jauh dari target. Sementara, hanya 12,38 persen yang mengaku sudah memiliki dana darurat dan dianggap telah mencukupi.
Selebihnya, sebesar 33,33 persen generasi sandwich mengaku tidak memiliki dana darurat tetapi sedang berusaha untuk mencoba menyisihkan. Dan, menariknya terdapat 6,59 persen generasi sandwich yang menyatakan tidak sanggup/tidak memungkinkan menyisihkan pendapatan untuk dana darurat/tabungan. Bisa dibilang bahwa sekitar 39,92 persen belum memiliki dana darurat.
Lebih lanjut, hasil survei juga mengungkap bahwa sebanyak (38,47 persen) generasi sandwich mengaku sudah mulai melakukan investasi dalam bentuk emas, reksa dana, saham, dan bentuk investasi lain tetapi masih jauh dari target. Tercatat, hanya sebesar 11,46 persen yang mengaku sudah memiliki investasi dan telah sesuai dengan target.
Sementara, sebagian besar generasi sandwich 50,06 persen mengaku belum melakukan investasi. Dengan rincian, 35,57 persen sedang berupaya untuk menyisihkan pendapatan untuk diinvestasikan dan 14,49 persen menyatakan tidak sanggup/tidak memungkinkan untuk melakukan investasi.
Tingginya angka generasi sandwich yang belum melakukan investasi tersebut senada dengan hasil survei Katadata Insight Center untuk Astra Life tahun 2021 yang melibatkan 1.828 responden berusia 25-45 tahun di seluruh Indonesia. Menurut survei tersebut, hampir 50 persen dari total respondennya merupakan generasi sandwich.
Lebih lanjut, survei tersebut mengungkap hanya 13,4 persen dari generasi sandwich yang memiliki kesiapan finansial dalam memenuhi kebutuhan pokok, menabung, dan berinvestasi di waktu yang bersamaan.
Sebagian Besar Generasi Sandwich Belum Memiliki Dana Pensiun dan Asuransi Jiwa
Dana pensiun merupakan dana yang akan digunakan untuk membiayai kehidupan saat nanti kita pensiun dan sudah tidak produktif bekerja menghasilkan uang. Terkait hal ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap mempersiapkan dana pensiun merupakan salah satu bentuk perencanaan keuangan yang baik untuk menghindari jebakan generasi sandwich bagi masyarakat di masa depan.
Namun, hasil survei yang dilakukan oleh Tirto dan Jakpat mengungkap bahwa sebagian besar generasi sandwich (54,02 persen) belum menyiapkan dana pensiun untuk masa depan.
Dengan rincian, sebanyak 38,21 persen mengaku belum menyiapkan tapi sedang berusaha menyisihkan pendapatan untuk data pensiun. Sementara itu, 15,81 persen merasa tidak sanggup menyisihkan pendapatan untuk data pensiun.
Selebihnya, 33,99 persen mengaku sudah mulai mempersiapkan dana pensiun namun belum sesuai target. Menariknya, hanya 11,99 persen generasi sandwich yang mengaku sudah memiliki dana pensiun dan telah sesuai target.
Masih tingginya generasi sandwich yang belum menyiapkan dana pensiun ini senada dengan hasil riset Indonesia Financial Group (IFG) Progress, pada 2020, yang mengungkap dari total angkatan kerja yang berjumlah 128,5 juta, baru 19,57 persen atau 25,16 juta pekerja yang menjadi peserta dana pensiun.
Selain dana pensiun, asuransi jiwa juga dianggap menjadi salah satu elemen penting dalam membantu menyokong kebutuhan finansial di masa depan sekaligus memutus rantai generasi sandwich di masa depan.
Temuan menarik dari survei ini juga merekam bahwa mayoritas generasi sandwich (76,02 persen) belum memiliki asuransi jiwa. Dengan rincian sebanyak 46,11 persen mengaku belum memiliki tetapi sudah mempelajari dan menghitung kecukupan dana untuk membeli polis asuransi.
Selanjutnya, 29,91 persen mengaku belum memiliki asuransi jiwa dan merasa tidak sanggup untuk membeli polis asuransi jiwa. Dan, hanya sebesar 23,98 persen generasi sandwich yang mengaku telah memiliki asuransi jiwa.
Merekap temuan dari survei ini, 39,92 persen responden generasi sandwich tidak memiliki dana darurat, sementara 50,06 persen belum bisa melakukan investasi, 54,02 persen belum memiliki dana pensiun dan 76,02 persen belum memiliki asuransi jiwa. Hal ini menunjukkan besarnya dampak menjadi generasi sandwich terhadap perencanaan keuangan jangka panjang bagi mereka yang masuk ke kategori generasi sandwich.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Periksa Data, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty