tirto.id - Ridwan Kamil, kini bisa bernafas lega usai menyelesaikan tugasnya menjadi Gubernur Jawa Barat (Jabar) selama lima tahun, sejak periode 2018-2023. Selama menjabat, pria yang akrab disapa Kang Emil itu, berhasil menyabet ratusan penghargaan dan membawa perubahan bagi masyarakat Jabar.
"Alhamdulillah di zaman saya memimpin Allah memberikan jalan keluar, walaupun saya merasa lima tahun berakhir itu semua pemimpin Indonesia diuji oleh COVID-19," ucap Kang Emil dalam wawancara khusus bersama Tirto, di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Rabu (22/11/2023).
Sama seperti kepala daerah lainnya, Kang Emil merasa tidak puas jika hanya menyelesaikan waktu lima tahunnya sebagai Gubernur Jawa Barat. Pria kelahiran 4 Oktober itu ingin terus bergerak dan menentukan arah sikap politiknya di 2024.
"Saya masih ada pilihan untuk melanjutkan periode kedua di Jawa Barat dan di DKI Jakarta. Ada yang nawari menteri nanti kita bahas," ujar dia.
Kang Emil sendiri merupakan kader Partai Golkar. Bergabung sejak pertengahan Januari 2023 lalu, ia langsung didapuk sebagai Wakil Ketua Umum Golkar Bidang Penggalangan Pemilih dan Co-Chair Badan Pemenangan Pemilu Golkar.
Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, bahkan memberikan kepercayaan kepada Kang Emil untuk menjadi Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Prabowo-Gibran di Jabar.
Kepada Tirto, Kang Emil menceritakan bagaimana sikap politiknya hingga berlabuh ke Golkar. Ia juga menceritakan bagaimana strateginya memenangkan Prabowo-Gibran di Jawa Barat.
Berikut ini petikan wawancara Tirto, bersama dengan Ridwan Kamil:
Bagaimana perasaannya setelah menuntaskan masa jabatan Jabar 1? Lega atau masih ada yang mengganjal? Adakah yang belum tercapai?
Ya, alhamdulillah selesai tugas 5 September 2018 sampai 5 September 2023. Perasaan pertama yang muncul di hari terakhir itu adalah rasa lega, rasa syukur karena selamat mengakhiri jabatan tuntas. Jadi saya dikenal sebagai pemimpin yang selesai. Wali kota selesai dan gubernur selesai. Alhamdulillah.
Pencapaian-pencapaian juga banyak. Selama jadi gubernur kerja siang malam, Sabtu Minggu enggak ada libur dibayar oleh 555 penghargaan. Artinya, ada 555 perubahan. Before after, dari biasa menjadi luar biasa. Dari yang tidak ada menjadi ada dan semrawut menjadi lancar, manual [ke] digital. Itu bagi saya adalah pencapaian.
Dalam pencapaian itu, ada yang terasa terlihat, ada yang mungkin tidak kelihatan karena sifatnya kebijakan. Tapi pencapaian yang paling terasa secara fisik adalah tempat-tempat wisata di Jawa Barat makin ramai dan meningkat. Karena kita memperbaiki aksesnya.
Semua alun-alun di Jawa Barat juga kita perbaiki dan puncaknya secara infrastruktur lima tahun membangun Masjid Raya Al-Jabar paling megah dan alhamdulillah sekarang sudah selesai.
Pencapaian yang nonfisik tadi ada 500-an banyak sekali. Salah satunya desa digital kami juara di Asia Pasifik dan tentunya pencapaian ekonomi terbaik, investasi selalu tertinggi.
Alhamdulillah di zaman saya memimpin Allah memberikan jalan keluar, walaupun saya merasa lima tahun berakhir itu semua pemimpin Indonesia diuji oleh COVID-19. Jadi bayangkan dengan COVID-19 uang kita dirampok, banyak orang yang meninggal. Tetapi di akhir setelah COVID-19, Jawa Barat tetap berprestasi. Dengan COVID-19 aja ada 500-an perubahan apalagi kalau tidak ada COVID-19 kira-kira begitu lah.
Sisanya seperti kepala daerah lain saya masih ada pilihan untuk melanjutkan periode kedua di Jawa Barat, di Jakarta. Ada yang nawari menteri nanti kita bahas.
Kang Emil sering menyebutkan politik tahu diri dan politik akal sehat sebenarnya itu artinya apa? Dan bagaimana Kang Emil menjalankan itu selama menjadi Gubernur?
Pertama, politik itu kan sebuah cara menata hidup kita. Politik itu mulia karena dia mengatur bagaimana kita berpendidikan, mengatur kesehatan jadi semua orang harus peduli dengan politik.
Karena kalau tidak peduli politik, maka hidup kamu akan diatur sama orang-orang yang tidak bertanggung jawab, tidak berkompeten yang merugikan kamu. Jadi pemilu harus ikutan kalau tidak ikutan menyesal. Pendidikan kamu, keseharian kamu diatur oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Itu mengapa saya masuk ke dalam politik praktis. Karena saya dulu warga Bandung yang menyesal. Karena menyesal, antara ngedumel pakai jempol di Twitter dulu, maka saya buktikan kan di Bandung ada 400 perubahan.
Tahu diri itu artinya, kita itu harus menempatkan nilai politik itu pada nilai. Kalau kamu levelnya wali kota ngomongnya tentang kekotaan saja jangan terlalu melebihi di luar kewenangannya.
Saya masuk partai kan harus tahu diri. Saya tidak dalam posisi menentukan takdir saya sendiri. Di atas saya ada ketua umum, ada partai dengan aturannya.
Kalau politik akal sehat nurani menjadi dasar pengambilan keputusan. Bahwa dalam keputusan itu disukai tidak disukai itu risiko. Tetapi nurani jangan dilanggar.
Contoh ya, bulan November sibuk dengan upah buruh. Dihitung dengan ilmiah keluar angka X disampaikan kepada publik. Angka X itu diprotes oleh buruh terlalu kecil, oleh pengusaha terlalu besar. Oleh buruh saya didemo, oleh pengusaha saya digugat ke pengadilan.
Tapi saya bertahan dengan akal sehat saya bahwa angka yang hadir itu X misalkan begitu. Itulah keseharian saya mencoba berpolitik dengan nurani supaya saya tidak gelisah. Saya yakini keputusan itu benar walaupun tidak semua suka dengan keputusan. Dan tahu diri menempatkan saya menjadi orang yang proporsional bisa meniti politik tanpa banyak konflik.
Dulu bukannya sempat tidak didukung Golkar ya dalam pemilihan kepada daerah, tapi kok bisa sekarang merapat?
Saya ini kan independen selama 10 tahun. Pendukung partainya kan hampir semua beda-beda. Kemudian saya memutuskan, saya harus belajar politik secara paripurna. Kurang lengkap kalau berpolitik tanpa punya ilmu tentang namanya partai politik kira-kira begitu.
Itulah mengapa saya akhirnya masuk partai kan.
Kenapa kuning? Karena saya memilih partai tengah. Setelah saya riset yang paling tengah dan ideologinya membangun, berkarya, menghasilkan sesuatu itu, Golkar. Kan saya arsitek, jadi saya berpolitik kaya Bung Karno senang kalau kerja itu ada yang kelihatan, ada hasilnya tidak cuma maaf ya kebijakan yang terdengar.
Ditambah Golkar melakukan apa yang saya cita-citakan yaitu memberi manfaat tanpa nunggu Pemilu. Golkar kan bikin yellow klinik rumah sakit. Jadi Rumah Sakit Golkar itu namanya yellow klinik warna kuning gratis. Jan keren nggak harus nunggu lima tahunan.
Golkar juga melakukan pendidikan demokrasi namanya Golkar Institute. Untuk jadi mahasiswanya tidak perlu jadi kader, tapi untuk melatih anak-anak muda belajar berpolitik yang keren. Penasihatnya aja Profesor Mahbubani dari Singapura.
Jadi menurut saya ini sangat modern cocok menjadi partai yang beradaptasi dengan perubahan. Sudah di tengah mengabdi tanpa menunggu lima tahunan, mendidik demokrasi, maka saya memutuskan masuk kuning.
Sebenarnya saya masuk partai apapun dinamikanya pasti selalu ada. Setiap partai itu ada pemilik, ada faksi, ada dalam-drama, jadi ya kita belajar. Saya kan tidak pernah terbayang menjadi wali kota dan gubernur. Karena saya individu yang senang belajar, sehingga kalau sudah beradaptasi saya bisa berprestasi karena adaptasi.
Kang Emil dipersiapkan kembali untuk maju menjadi calon gubernur di Jabar oleh Golkar, apakah siap? Dan jika boleh memilih selain Jabar mau ke mana? Apakah ingin mencoba DKI Jakarta?
Pilihan sebenarnya tiga. Di Jawa Barat relatif kalau survei di era akhir jabatan kan kepuasan publik 90 persen yang pengen Gubernur lagi 70 persen. Itu pilihan utama lah ya.
[Kedua], di DKI juga kan surveinya sering nomor satu. Jadi ada pilihan itu. Ketiga, di koalisi Pak Prabowo juga ada tawaran jadi menteri ada kalau posisi Gubernur itu tidak jadi diambil.
Jadi kira-kira itu ya pilihan-pilihan. Semua pilihannya baik dan saya percaya semua indah pada waktunya.
Kang Emil, ditunjuk menjadi Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Prabowo-Gibran, bagaimana strategi mendongkrak suara di Jabar. Apalagi Jabar menjadi lumbung suara terbesar di Pemilu 2024?
Pertama, Jawa Barat itu penduduk dengan pemilih terbesar. Kedua, Jawa Barat itu pemenang Pemilu selalu ganti-ganti partainya.
Nah, Pak Prabowo itu 2019 menang 60 persenan lah ya. Tapi sekarang dinamikanya ada perubahan sana-sini. Kami meyakini tetap menang.
Kenapa? Karena suara Pak Prabowo ditambah dengan suara pendukung Jokowi. Jadi ada yang pindah dari Pak Prabowo, tapi suara simpatisan Pak Jokowi yang dulu berseberangan bertambah. Secara matematika itu bisa kita pertahankan.
Kedua, karena saya Gubernur Jawa Barat lima tahun tentunya ada rute-rute, ada hal-hal yang sudah saya kuasai selama lima tahun. Walaupun politik bukan matematik ya, artinya secara matematika bisa tapi di lapangan harus kita jaga.
Kita pengennya satu putaran. Kenapa? biar enggak capek rakyat kasihan. Kalau bisa satu putaran tapi kelihatannya bisa ya karena survei-survei terakhir Prabowo Gibran kan sudah di atas 40 persen. Jadi tinggal mencari ceruk 10 persennya dari mana. Itu sedang kita strategi kan insyaallah menang.
Targetnya berapa persen untuk di Jawa Barat?
Minimal di Jawa Barat itu untuk satu putaran se-nasional Jawa Barat menyumbang suara sama dengan 2019 yaitu 60 persen, lebih sedikit lebih bagus.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Maya Saputri