tirto.id - Anggota Dewan Pakar Partai Golkar, Ridwan Hisjam, mendorong Presiden Joko Widodo menjadi Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar setelah Airlangga Hartarto mundur dari kursi tertinggi partai pada Sabtu (10/8/2024) malam.
"Memang saya mendorong Pak Jokowi untuk bisa memimpin Partai Golkar karena Pak Jokowi itu bukan saja hanya lip service, dia mengatakan, dia melaksanakan doktrin Partai Golkar, tapi secara kenyataan Jokowi melaksanakan doktrin Partai Golkar," kata Ridwan saat dihubungi, Senin (12/8/2024).
Hal itu merespon nama pengganti Airlangga yang mundur dari kursi ketum partai pada Sabtu (10/8/2024) lalu. Permohonan mundur Airlangga belum bisa dinyatakan definitif karena masih menunggu keputusan pleno DPP Partai Golkar. Namun, spekulasi nama pengganti Airlangga dari kursi pucuk partai berlambang beringin itu pun menjadi perbincangan publik setelah Menko Perekonomian itu mundur.
Ia beralasan, nama kabinet Jokowi di periode pertama saat menjabat presiden merupakan doktrin Golkar. Sebagai catatan, kabinet Jokowi periode pertama ialah Kabinet Kerja. Bagi Ridwan, bekerja merupakan kewajiban semua kader Golkar.
"Itu dijalankan oleh Pak Jokowi. Jadi bukan hanya sekedar lip service dia jalankan," ucap Ridwan.
Ridwan mengatakan Jokowi merupakan kader Golkar dari golongan pengusaha. Pada zaman Orde Baru, Golkar merupakan gabungan tiga kelompok, yakni Kelompok A dari kalangan ABRI, Kelompok B dari kalangan birokrat, dan Kelompok G yaitu golongan pengusaha, tani, nelayan, guru, dan pegawai.
"Nah Pak Jokowi ini sejak 1997 zaman Orde Baru, dia golongan pengusaha yaitu sebagai Ketua Asosiasi Mebel Indonesia Solo Raya," kata Ridwan.
Akan tetapi, Ridwan menerangkan, Jokowi tak pernah secara formal duduk di kepengurusan Golkar.
Di sisi lain, Ridwan menepis spekulasi mundurnya Airlangga karena desakan Istana.
"Enggak ada hubungannya [desakan Istana], enggak ada kaitannya kalau dibilang bahwa mengundurkan diri karena diperintah Istana," kata Ridwan.
Ridwan mengatakan justru ada yang menyebut Airlangga mundur karena dalam rangka transisi di kabinet Presiden Jokowi menuju pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, presiden dan wakil presiden terpilih periode 2024-2029. Ia menilai Airlangga terlalu sibuk mengurusi kabinet, sehingga tidak bisa mengurus partai.
"Dari dulu pak Airlangga ngurusin partai, ya biasa-biasa saja itu, ya tetap jalan perekonomian dan malah ini sekarang sudah berkurang ngurusin partai itu dibandingkan dari mulai tahun lalu sampai saat pemilu," ucap Ridwan.
Oleh karena itu, Ridwan mengatakan justru tidak tepat anggapan mundurnya Airlangga bila dikaitkan dengan Istana Negara. Ia mengatakan dirinya juga pernah meminta mantan Menteri Perindustrian itu mundur dari kabinet, agar fokus mengurusi Golkar.
"Saya sampaikan pak Airlangga harus pilih salah satu jadi ketua umum atau jadi menko. Waktu itu saya menyarankan supaya Pak Airlangga mengundurkan diri malah menko pada saat itu," tutur Ridwan.
Dalam kesempatan sama, Ridwan mengaku tak kaget dengan pengunduran diri Airlangga. Ia sudah menyampaikan kritik kepada Airlangga karena tidak menjalankan paradigma Partai Golkar sejak dua tahun lalu. Ia menerangkan, Golkar memiliki 5 paradigma. Pertama, Golkar harus menjadi partai yang demokratis; kedua, partai yang terbuka; ketiga, harus menjadi partai yang modern dikelola manajemennya secara modern; keempat, harus mendengarkan aspirasi dari Bawah; serta menjadi partai yang mandiri.
"Ini tidak dilaksanakan dengan baik oleh ketua umum saat itu," tutur Riwan.
Airlangga dinilai abai dalam paradigma partai karena tidak menjalankan keputusan Munas Partai Golkar tahun 2019. Adapun keputusan Munas Golkar tahun 2019 ialah menjadikan Airlangga sebagai calon presiden. Namun, Golkar justru mengusung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan capres dan cawapres.
"Itu yang menjadi masalah saat itu, saya tidak mempermasalahkan Gibran sebagai calon, itu sah-sah saja, karena aspirasi juga cukup kuat dan elektabilitasnya tinggi kan? Tapi proses konstitusionalnya harus dijalankan yaitu bikin Munas 2023," kata Ridwan.
Munas itu, kata dia, untuk mengubah pencalonan Airlangga kepada Gibran. "Tapi ini tidak dilaksanakan," kata Ridwan.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Andrian Pratama Taher