tirto.id - Di penghujung Maret 2016 lalu, Tesla memperkenalkan mobil listrik sedan terbarunya, Model 3. Di hadapan ratusan wartawan, investor, dan para pecinta mobil listrik, Elon Musk tampil memukau, menjelaskan apa dan seperti apa Model 3 itu.
Musk, sang CEO berhasil meyakinkan banyak orang. Dalam waktu 24 jam, Tesla menerima 150.000 pesanan. Padahal, Tesla belum memproduksi Model 3 sebanyak itu. Para pemesan harus bersabar menunggu hingga akhir tahun depan.
Sebulan berselang, permintaan akan Model 3 terus melonjak. Hingga April, tercatat 325.000 pesanan yang diterima Tesla. Angka ini bisa dikatakan fantastis, mengingat tahun lalu Tesla hanya berhasil menjual 50.658 unit kendaraan.
Memang, untuk sebuah mobil listrik, Model 3 bisa dikatakan cukup murah. Ia hanya dibanderol $35.000 atau sekitar Rp466 juta. Para pemesan hanya perlu membayar $1.000 di muka. Dibandingkan dengan pendahulunya, Model S, harga model terbaru ini hanya setengahnya. Model S dijual dengan harga sekitar $71.000.
Meski terbilang murah, Musk menyebut model terbaru ini bintang lima di setiap kategori. Model S mampu menempuh jarak 346 kilometer per satu kali pengisian daya. Ia juga dilengkapi dengan autopilot hardware.
Karena permintaan yang kian melonjak, Tesla menaikkan rencana produksinya lima kali lipat dan dua tahun lebih cepat dari target awal. Tadinya, perusahaan asal Amerika ini menargetkan produksi 500.000 per tahun mulai 2020. Namun, kuartal pertama tahun ini, Musk memukau para investor dengan janji akan memajukan target dua tahun lebih cepat, yakni 2018. Apakah Tesla mampu memenuhi janji itu?
“Menambah produksi lima kali lipat dalam dua tahun ke depan tentu sangat menantang dan butuh modal lebih besar. Tetapi ini adalah gol kami, dan kami akan kerja keras untuk membuatnya mungkin dicapai,” kata Musk dalam laporannya kepada para investor.
Musk tak main-main, untuk mewujudkan target itu, Tesla membangun Gigafactory di Nevada. Gigafactory ini akan menjadi pabrik pembuatan baterai. Memproduksi lebih banyak mobil berarti membutuhkan lebih banyak baterai. Ditambah kini Tesla memiliki lini usaha energi yang menjual baterai-beterai pengisi daya, penyimpan energi matahari bernama Powerwall.
Tentang Gigafactory
Pabrik yang menghabiskan investasi senilai $5 miliar atau sekitar Rp65 triliun itu luasnya 5,8 juta kaki persegi atau setara dengan 100 kali lapangan sepakbola. Desain lobinya sangat khas Tesla, jendela super besar, langit-langit yang tinggi, lantai putih mengkilap, dan kursi kulit hitam. Sebuah baterai Powerwall menggantung di dindingnya, tampak seperti sebuah karya seni moderen.
Gigafactory dirancang untuk mengurangi biaya baterai setidaknya sebesar 30 persen. Nama Gigafactory diambil dari kata Giga, yang berarti unit pengukuran yang mewakili miliaran. Satu GWh setara dengan mengkonsumsi atau 1 miliar watt selama satu jam. Seluruh atap pabrik dilapisi dengan panel surya yang akan menjadi sumber energi. Di pabrik ini, akan diproduksi 35 GWh sel baterai dan 50 GWh baterai kemasan per tahunnya. Angka itu bukanlah batas maksimal, Gigafactory mampu memproduksi lebih dari itu.
Baterai untuk Model 3 akan dibuat di pabrik raksasa ini dan kemudian dikirim dengan kereta api ke pabrik Tesla di Fremont, California. Sekitar 350 karyawan saat ini bekerja untuk Gigafactory. Pabrik pembuat baterai terbesar di dunia ini sudah memulai operasinya sejak 31 Maret lalu. Tak tanggung-tanggung, Tesla juga membeli tanah di sekitar lokasi pabrik untuk persiapan jika kelak ada potensi ekspansi.
Permintaan Mobil Listrik Meningkat
Tak hanya sedan mode terbaru Tesla yang pesanannya membludak. Kuartal pertama tahun ini, jumlah pemesanan Model S, pendahulunya, juga naik 45 persen dari tahun lalu. Pesanan paling banyak datang dari Amerika Utara dan Eropa. Saat ini, Model S masih memimpin pangsa pasar pasar mobil listrik jenis sedan di kedua wilayah itu.
Merespons peningkatan permintaan yang mencapai 83 persen pada akhir tahun lalu, Tesla tak hanya mempercepat produksinya, tetapi juga akan menambah lokasi jaringan penjualan di Amerika Utara, Eropa, dan Asia Pasifik. Jika saat ini total gerai penjualan Tesla hanya 215 di seluruh wilayah itu, sampai akhir 2017, jumlahnya akan dilipatgandakan menjadi 441 lokasi. Khusus tahun ini, Musk menjanjikan akan membuka lebih dari 70 lokasi penjualan dan service centre.
Tesla memulai produksi mobil listriknya dengan Tesla Roadster, sebuah mobil listrik tipe sport. Sepanjang 2008 hingga 2012, penjualan Roadster menyentuh angka 2.250 unit di 31 negara.
Musk bilang, ia mendapat banyak masukan atas Roadster. Banyak yang memintanya membuat mobil listrik yang lebih bisa digunakan sehari-hari. “Oke, kami akan bikin Model S,” kata Musk menanggapi masukan itu.
Model S adalah sedan dengan kapasitas lima orang. Ia mampu menempuh jarak 434 kilometer per sekali pengisian daya. Model S juga dilengkapi fitur autopilot. Dibandingkan pendahulunya, Model S lebih bisa diterima masyarakat luas.
Tahun 2009, Model S mulai diperkenalkan dan mulai dikirim ke para pemesan pada 2012. Hingga 2015, Penjualan Model S telah menembus target 100.000 unit.
Setelah Model S, Tesla sempat meluncurkan mobil jenis sport utility vehicle (SUV) dan diberi nama Model X. Mobil ini bisa mengangkut tujuh orang dan mampu menempuh jarak sekitar 413 kilometer per sekali pengisian daya.
Model X sedikit mendapat masalah. Banyak konsumen yang mengeluhkan pintu yang tak dapat terkunci. Hingga kuartal I tahun ini, Tesla hanya memproduksi 2.659 unit model X. Tetapi, gebrakan baru dimulai dengan membludaknya pesanan atas Model 3.
Dalam peluncuran Model 3 Maret lalu, Musk tampak sumringah. Ia yakin, misinya menciptakan transportasi ramah lingkungan di dunia akan terwujud, meski tidak dalam waktu dekat.
Di masa lalu, banyak orang yang meremehkan kualitas mobil listrik. Mobil listrik dianggap lamban dan jelek. Musk mencoba membantah itu. “Penghargaan-penghargaan yang diterima Tesla itu tidak penting, yang paling penting adalah kami ingin menunjukkan kepada dunia, bahwa mobil listrik bisa menjadi mobil terbaik,” ungkap Musk.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti