Menuju konten utama

Drama Mobil Listrik Indonesia

Di saat permintaan mobil listrik di dunia kian menggila, pengembangan mobil listrik di dalam negeri masih jalan di tempat. Mimpi memiliki industri mobil listrik entah kapan bisa diwujudkan. Ricky adalah salah satu pemuda asal Indonesia yang paham tentang mobil listrik. Ia hidup selama 14 tahun di Jepang, dan sudah memiliki hak paten internasional atas mobil listrik di Jepang. namun prestasi di luar negri tidak selalu sejalan dengan di dalam negri

Drama Mobil Listrik Indonesia
Kejaksaan Agung menyita mobil listrik jenis bus dan minibus di dua pabrik perakitan terkait kasus dugaan korupsi pengadaan 16 mobil listrik di tiga perusahaan milik BUMN yakni PGN, BRI, dan Pertamina senilai Rp.32miliar. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

tirto.id - “Maafkan saya, bikin kegaduhan impian kosong belaka dengan mobil listrik. Ya sudahlah, jangan mencari kambing hitam lagi.” Kalimat itu dituliskan Ricky Elson pada laman Facebook-nya akhir tahun lalu.

Ricky adalah salah satu pemuda asal Indonesia yang paham tentang mobil listrik. Ia hidup selama 14 tahun di Jepang, dan sudah memiliki hak paten internasional atas mobil listrik di Jepang. Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN mengetahui ini. Saat masih menjabat menteri, ia bujuk Ricky habis-habisan agar mau pulang ke Indonesia dan mengembangkan mobil listrik dalam negeri.

Usai melewati proses bujuk-membujuk, tahun 2012, Ricky kembali ke Indonesia. Ia setuju dengan ajakan Dahlan. Saat itu Ricky tak digaji pemerintah, Dahlan menyerahkan seluruh gajinya sebagai menteri kepada Ricky.

Singkat cerita, hingga 2014, ada tiga mobil listrik yang dihasilkan Ricky. Mobil pertama bernama Tucuxi, itu ia kerjakan bersama Dasep Ahmadi, pendiri sekaligus pemimpin PT Sarimas Ahmadi Pratama. Mobil itu gagal. Remnya blong saat uji coba yang dilakukan langsung oleh Dahlan Iskan.

Tucuxi gagal, maka Ricky memulai pembuatan Selo dan Gendhis. Selo bergaya mobil sport, sedangkan Gendhis adalah jenis mobil MPV. Keduanya pernah dipamerkan pada ajang KTT APEC pada 2013 di Bali dan di ajang Indonesia International Motor Show 2014.

Namun, membuat Selo dan Gendhis diproduksi secara massal masih menjadi impian. Kedua mobil besutan Ricky itu tak kunjung mendapat tanda lulus uji emisi. Izin laik jalan yang diajukan ke Kementerian Riset dan Teknologi pun tidak menemukan titik terang. Seperti yang dituliskan Ricky pada laman Facebook-nya, mobil listrik masih menjadi impian kosong belaka. Dua kalimat yang menjadi status Facebook itu hanya pembuka, Ricky melanjutkannya begini:

Kalau Bapak Kepala BPPT yang berfatwa, tentu sudah dengan pertimbangan yang sangat matang. Saya percaya itu adalah hasil kajian mendalam dari ahli-ahli terunggul di Indonesia, yang berada di Institusi itu.

Ternyata saya hanya bermimpi selama ini melihat industri mobil listriknya Tesla, melihat industri mobil listrik nya Nissan, Mitsubishi. Melihat industri mobil hybrid-nya Toyota, Honda, itu hanya mimpi. Karena itu semua pasti tidak komersil.

Karena di negara maju sekalipun, mobil listrik 'belum komersial'. Amerika, Jepang dan negara-negara Eropa itu bukan negara maju, karena mereka mengkomersialkan mobil listrik. Atau saya selama ini hanya melihat fatamorgana?

Kalau begitu, untuk sementara saya di sini sajalah, pelihara kambing saja dulu. Menyiapkan kambing hitam.

Terima kasih fatwanya. Setelah dari Kemenristek, sekarang dari BPPT. Besok dari mana lagi saya dapat fatwa ya? Dan media, pintar sekali bikin saya jadi pemicu kegaduhan.

Aah, memang benar, lebih baik saya menyiapkan kambing saja.

Ini adalah tanggapan Ricky atas pernyataan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto yang mengatakan di negara maju sekalipun, mobil listrik belum laku dijual.

“Jadi begini, mobil listrik kenapa belum waktunya jadikan industri, hal ini karena di negara maju sekalipun mobil listrik belum komersial. Kalau dibikin industri, saya rasa enggak yakin bisa laku. Masalahnya kan juga kesulitan pada baterainya dan stasiun pengisian listriknya. Ini yang menjadi kendalanya. Tetapi, kalau riset saya setuju," kata Unggul kepada media September tahun lalu.

Pernyataan itu memang jelas tak mendasar. Pasalnya, di negara-negara maju, permintaan mobil listrik kian melaju. Tahun ini saja, Tesla sampai kebanjiran order. Jadi, pantas saja Ricky geram dan menuangkan kegeramannya lewat media sosial.

Itu hanyalah satu dari sekian banyak kekecewaan yang dituangkan Ricky dalam laman media sosialnya. Kini, Ricky tinggal di Desa Ciheras, Tasikmalaya. Ia tengah mengembangkan kincir angin sebagai pembangkit listrik. Kabar terakhir, Ricky telah dipinang negara tetangga, Malaysia, untuk mengembangkan mobil listrik di Negeri Jiran itu.

Ditahan KPK

Ricky bukanlah orang pertama yang digaet Dahlan Iskan untuk mengembangkan mobil listrik. Sebelum Ricky, Dahlan telah terlebih dahulu bekerja sama dengan Dasep Ahmadi, pendiri sekaligus pemimpin PT Sarimas Ahmadi Pratama.

Dahlan, yang didukung tiga BUMN, PT Pertamina, PT Perusahaan Gas Negara, dan PT Bank Rakyat Indonesia, mengucurkan dana sekitar Rp32 miliar kepada Dasep untuk menciptakan 16 prototipe mobil listrik. Sayangnya, kerja sama itu kini menjadi masalah. Mobil yang dipesan tak sesuai dengan perjanjian. Maret tahun ini, Dasep divonis melakukan tindak pidana korupsi dan dihukum tujuh tahun penjara.

Oleh majelis hakim, Dasep dianggap terbukti melakukan perbuatan memperkaya diri yang merugikan keuangan negara. Tak hanya dihukum penjara, Dasep juga dihukum membayar denda sebesar Rp200 juta subsider tiga bulan penjara.

Ia pun diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp17,1 miliar. Jika dalam waktu 30 hari setelah putusan, uang pengganti tidak dipenuhi, maka harta benda milik Dasep akan disita. Jika masih belum cukup juga, maka Dasep akan dikenai hukuman dua tahun penjara.

Dasep tak terima dengan putusan ini. Ia lantas mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Kini ia masih menunggu putusan hakim agung.

Janji Pengurangan Emisi

Indonesia seharusnya punya alasan kuat untuk terus berusaha menjadikan 'mimpi mobil listrik' menjadi nyata. Sebab, ada janji yang harus ditepati negeri ini. November tahun lalu, Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB bertajuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of The Parties ke-21 (COP21) digelar di Paris Prancis. Dalam pertemuan itu, Indonesia berjanji akan menurunkan kadar emisi 29 persen pada 2030.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan menilai janji itu akan sulit ditepati jika Indonesia tak segera mengembangkan kendaraan ramah lingkungan.

Menurutnya, peta jalan industri mobil nasional perlu dibuat, dan ini butuh masukan dari para pelaku industri. Dia menjanjikan Kemenperin siap untuk memfasilitasi pelaku industri komponen otomotif untuk mensinergikan hasil produksinya dengan industri mobil listrik jika ada niat dari pelaku industri untuk memproduksi secara massal.

Asosiasi Pengembang Kendaraan Listrik Bermerek Nasional (Apklibernas) membidik 10 persen dari pasar otomotif nasional jika mobil listrik berhasil diproduksi massal. "Mobil listrik ini jawaban terhadap polusi. Target kami cuma 10 persen dari pasar otomotif yang 1 juta itu," kata Chairman Apklibernas Sukotjo Herupramono.

Memproduksi mobil listrik, tentu bukan pekerjaan sederhana. Bahkan bagi negara maju sekalipun, ini masih menjadi tantangan. Dalam mengembangkan mobil listrik, Elon Musk, Bos Tesla, tak hanya fokus membuat mobil. Ia juga kerja keras untuk terus menambah jumlah charging station. Siapa yang mau pakai mobil listrik kalau dihadapkan kenyataan kesusahan mengisi daya?

Indonesia, jika serius ingin mengembangkan mobil listrik, juga harus serius membangun insfrastruktur. Charging station harus tersebar sebanyak mungkin. Seperti kata Dahlan Iskan, ini butuh waktu 20 tahun. Tetapi jika tidak dimulai sejak sekarang, 20 tahun ke depan mimpi mobil listrik hanya akan jadi mimpi. Tak mungkin jadi nyata.

Baca juga artikel terkait MOBIL LISTRIK atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Otomotif
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti