tirto.id - DPR sudah mengirimkan perbaikan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) ke Sekretariat Negara, Jakarta. Politikus PDIP yang juga inisiator revisi, Masinton Pasaribu, mengatakan pengiriman dilakukan "tanggal 15 sore".
"Atas sepengetahuan Ketua DPR sudah dikirim surat perbaikan," katanya di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta pada Rabu (16/10/2019).
Terdapat salah ketik alias saltik alias tipo UU KPK versi revisi yang membuat pihak Istana mengembalikan naskah ke DPR. Dalam Pasal 29 huruf e, tertulis seseorang dapat diangkat jadi komisioner KPK jika ia salah satunya "berusia paling rendah 50 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65(enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan."
Semestinya bunyi naskah yang benar adalah"berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun dan paling tinggi 65(enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan."
"Terkait dengan usia capim KPK itu sesuai dengan DIM (Daftar Inventaris Masalah) pemerintah, usianya minimal 50 tahun," kata Masinton.
Ada satu orang komisioner terpilih yang tidak memenuhi syarat itu: Nurul Ghufron. Usianya baru 45 tahun (Nurul lahir pada 22 September 1974). Dengan begitu dia terancam tidak dilantik.
Namun Masinton mengatakan sebaliknya. "Tidak masalah," katanya, karena yang dipakai adalah "UU lama".
Masalahnya dalam UU lama syarat komisioner KPK sama, yaitu, "berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun pada proses pemilihan" Ini tertera dalam Pasal 60 ayat 3.
Hal serupa diungkapkan pakar hukum tata negara dari Sekolah Hukum Jentera Bivitri Susanti. Menurutnya pengangkatan Ghufron harus menggunakan UU KPK hasil revisi yang berlaku Kamis (17/10/2019) nanti.
"Karena nanti kan pengangkatan itu dengan keppres [Keputusan Presiden]. Keppres itu nanti di atasnya ada dasar hukumnya. Nah dasar hukumnya harus menggunakan undang-undang yang baru ini. Dengan sendirinya tak ada dasar bagi Ghufron untuk diangkat," kata Bivitri.
Jika presiden memaksa mengangkat Ghufton, maka keppres pengangkatan itu berpotensi besar akan digugat ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) dan gugur.
Hal itu juga dinilai akan jadi preseden buruk karena presiden melanggar sendiri undang-undang yang ia rancang. Untuk itu, tambah Bivitri, presiden semestinya menerbitkan Perppu KPK--desakan serupa dari koalisi masyarakat sipil.
"Alasan yang sangat kuat [untuk menerbitkan perppu]. Jadi sekalian dirapikan. Lagian buru-buru, sih, kemarin, jadi banyak yang ngaco," kata dia.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino