tirto.id - Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan merespon sinis film Sexy Killers, film dokumenter yang dirilis Watchdoc. Sambil membantah isi video berdurasi sekitar 1 jam 28 menit itu, Luhut menyebut film tersebut sebagai produk dari orang kurang kerjaan.
"Tidak benar itu. Kurang kerjaan itu," kata Luhut, Senin (22/4/2019).
Klaim tidak benar yang dilontarkan Luhut merujuk pada isi video Sexy Killers yang menceritakan Luhut punya bisnis pertambangan. Film ini diunggah di Youtube sejak 13 April 2019 dan sudah diputar 19.265.601 kali oleh para pengunjung Youtube.
Dalam film ini, Watchdoc menggunakan data hasil penelitian Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang mengungkap Luhut punya sebagian saham di PT Toba Bara Sejahtera.
PT Toba Bara Sejahtera adalah induk perusahaan dari PT Adimitra Baratama Nusantara, pemilik IUP di Sanga-sanga, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Perusahaan ini diduga menjadi penyebab kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambangnya (Sexy Killers menit ke 22:21).
Hasil penelitian Jatam juga mendapati PT Toba Bara Sejahtera punya empat anak perusahaan dan 50 tambang. Jika ditotal, perusahaan ini menguasai 15 ribu hektare.
Dandhy Dwi Laksono, sutradara Sexy Killers sekaligus pendiri Watchdoc, tak ambil pusing dengan sikap Luhut yang menyebut film bikinannya sebagai “kurang kerjaan.”
"Saya baru akan merespons kalau nanti Pak Luhut sudah mengomentari substansi filmnya,” kata Dandhy lewat pesan teks singkat kepada reporter Tirto, Selasa (23/4/2019).
Namun, Dandhy balik bertanya soal kapasitas Luhut saat mengomentari filmya itu. Ia bingung, apakah Luhut merespons Sexy Killers dalam kapasitasnya sebagai seorang Menko Maritim atau pebisnis.
"Beliau merespons sebagai pejabat publik yang membuat keputusan-keputusan di bidang energi, atau sebagai pemegang saham perusahaan energi dari hulu hingga hilir?" kata Dandhy.
Sikap Luhut yang berkomentar sinis itu juga ditanggapi Merah Johansyah selaku Koordinator Jatam. Bagi Merah, jawaban Luhut bukanlah jawaban seorang menteri, melainkan jawaban pengusaha yang punya pertambangan batu bara.
"Kami anggap [respons Luhut] sebagai reaksi sebagai seorang pengusaha batu bara yang panik," ujar Merah kepada reporter Tirto.
Jika Luhut bersikap sebagai seorang menteri, Merah menyebut, Luhut seharusnya memberikan komentar soal bagaimana mencari solusi atas masalah tambang, bukan berkomentar “tidak benar dan tidak jelas.”
Ia pun menantang Luhut membuktikan film bikinan Watchdoc dan data hasil penelitian Jatam memang salah. Jika data tersebut salah, klaim tidak benar dari Luhut dapat dibenarkan.
"Dia langsung reaksioner gitu, kan. Karena bukti film Sexy Killers tak bisa dibantah. Kalau berani, kami tantang dia datang dan bertemu dengan masyarakat yang menjadi korban tambangnya dia," ucap Merah.
Tak Layak Kembali Jadi Menteri?
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin juga menilai cara Luhut merespons film Sexy Killers kurang tepat. Menurut Ujang, Luhut yang notabene seorang menteri, sebaiknya merespons dengan bukti bukan dengan pernyataan.
"Agar publik tahu yang sesungguhnya. Publik perlu tahu apa yang terjadi dengan kasus penguasaan sumber daya alam yang dikuasai oleh para pejabat dalam film tersebut," kata Ujang kepada reporter Tirto, Rabu (24/4/2019).
Selain memberi bantahan dengan data, Ujang menyebut, Luhut bisa mengambil langkah hukum jika isi film tersebut memang tidak benar.
"Jika film tersebut mengandung unsur tidak benar atau fitnah. Luhut bisa lapor ke pihak yang berwenang," kata Ujang.
Ujang pun menyayangkan posisi Luhut jika informasi dalam film tersebut memang benar adanya. Ia menilai Luhut menjadi contoh wujud kepentingan politik dan bisnis yang duduk di jabatan strategis kementerian, padahal seorang menteri seharusnya tidak punya konflik kepentingan.
Saat disinggung apakah Luhut masih layak menjadi menteri dalam kabinet baru Jokowi--yang menjadi pemenang Pilpres 2019 berdasarkan hasil quick count--, Ujang tak mau berspekulasi. Ia mengembalikan kemungkinan dipakai tidaknya Luhut di kabinet adalah kewenangan presiden.
"Pengangkatan menteri atau mereshuffle merupakan hak prerogatif presiden," Kata Ujang.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Mufti Sholih