tirto.id - Jaksa Agung ST Burhanuddin memerintahkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus untuk segera mengambil upaya strategis percepatan penuntasan penyelesaian dugaan perkara HAM berat masa kini dengan tetap memperhatikan ketentuan hukum yang berlaku.
“Perlu diambil terobosan progresif untuk membuka kebuntuan pola penanganan akibat perbedaan persepsi antara penyidik HAM dengan penyelidik komnas HAM, dan Jaksa Agung mengharapkan dalam waktu dekat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dapat mengambil langkah yang tepat dan terukur terkait beberapa dugaan pelanggaran HAM yang berat,” kata dia, Sabtu (20/11/2021).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menanggapi Jaksa Agung. Ia menilai pernyataan itu belum membawa kemajuan sama sekali. Hanya bicara, tidak ada tindakan nyata.
“Pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya, pemerkosaan dan kejahatan kriminal seksual lainnya, yang terjadi pada masa pemerintahan presiden terdahulu Suharto di antara tahun 1966 hingga pada awal masa reformasi tahun 1998 hingga mau memasuki tahun 2022, belum ditangani oleh negara,” ucap dia, Senin (22/11/2021).
Joko Widodo dalam kampanyenya berjanji untuk meningkatkan penghormatan terhadap HAM, termasuk untuk menangani semua pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui sistem peradilan guna mengakhiri impunitas.
Namun janji itu pun masih belum dipenuhi. Faktanya, meskipun ada desakan dari para korban, para mahasiswa, dan masyarakat sipil untuk mengadili para terduga pelaku, Presiden Joko Widodo cenderung tidak peduli.
Bahkan, lanjut Usman, tuntutan keadilan hukum di negara hukum berupa penuntutan pelaku di meja hijau belum juga terlihat sama sekali ada upaya Korps Adhyaksa. Jaksa Agung Sedari awal justru semakin memperlihatkan dependensi politiknya pada presiden dan DPR, bukan pada independensinya sebagai otoritas tertinggi hukum di bidang penyidikan dan penuntutan pelanggaran HAM berat.
“Sementara pemerintah malah mengumumkan bahwa pemerintah akan membentuk mekanisme non-yudisial untuk menyelesaikan semua pelanggaran HAM masa lalu. Cara ini mustahil akan penuhi rasa keadilan korban, bahkan cara yang membawa klaim keadilan restoratif ini terkesan malah menjadi cara pelaku berlindung dengan meminta pemerintah ‘mencuci piring kotor’ pelaku,” tutur Usman.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Nur Hidayah Perwitasari