Menuju konten utama

Respons AJI & LBH Makassar soal Pelaporan Ibu Korban Pemerkosaan

Narasumber dalam pemberitaan dilindungi UU Pers dan sengketa pers harus lewat Dewan Pers.

Respons AJI & LBH Makassar soal Pelaporan Ibu Korban Pemerkosaan
Pengunjung melihat foto jurnalistik karya anggota Pewarta Foto Indonesia (PFI) Malang yang dipajang saat peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Alun-alun Kota Malang, Jawa Timur, Kamis (3/5/2018). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

tirto.id - Aliansi Jurnalis Independen Makassar dan Lembaga Bantuan Hukum Makassar menanggapi pelaporan terhadap Lydia (bukan nama sebenarnya), narasumber yang memberikan pernyataan di media Project Multatuli. Ia merupakan ibu korban dugaan pemerkosaan.

S, bekas suami Lydia, melaporkannya dengan dugaan tindak pidana pencemaran nama baik melalui ITE, Sabtu (16/10/2021), ke Ditreskrimsus Polda Sulawesi Selatan. Dalam pengaduan tersebut, pelapor mengaku keberatan dengan pernyataan Lydia di artikel Project Multatuli dengan judul 'Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan.'

Ketua AJI Makassar Nurdin Amir menilai, upaya S tersebut merupakan ancaman kriminalisasi pada narasumber sebuah berita. Jika kriminalisasi narasumber terus-menerus terjadi, maka hal ini akan menimbulkan chilling effect.

Efek kriminalisasi tersebut berdampak terhadap hak masyarakat mendapatkan informasi. Sebab narasumber menjadi takut berbicara di media dan kemudian informasi publik menjadi terabaikan.

"Pelaporan (terhadap) narasumber Project Multatuli tidak tepat, dan menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers. Ketika narasumber dipidana, artinya membunuh pers itu sendiri. Pelaporan ini adalah serangan terhadap kebebasan pers dan demokrasi,” ujar Nurdin, Minggu (17/10/2021).

Menurut Nurdin UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur soal pers memang dihadirkan untuk melindungi kebebasan pers. Kebebasan pers merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28E.

Payung hukum pers yang dipakai untuk melindungi narasumber merupakan poin penting. Narasumber dan pers merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Kriminalisasi terhadap narasumber adalah serangan kepada pers dan terhadap kebebasan berpendapat.

“Kami mendesak penyidik Dit Reskrimsus Polda Sulsel tidak semestinya menerima laporan sengketa pemberitaan yang menjadi ranah Dewan Pers. Kasus ini tidak bisa dibiarkan, karena akan berdampak kepada narasumber lain untuk hati-hati atau membatasi bicara kepada media," terang Nurdin.

Sementara, Advokat Publik LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa menilai pelaporan narasumber ke polisi itu salah alamat karena yang dilaporkan adalah produk jurnalistik yang dilindungi UU Pers. Bila ada yang keberatan terhadap produk jurnalistik, maka harus menempuh langkah-langkah melalui permintaan hak jawab atau hak koreksi, atau penyelesaian lewat mekanisme di Dewan Pers.

Kepolisian yang menerima laporan harus mengarahkan pelapor untuk mengarahkan kepada Dewan Pers. Hal itu tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 02/DP/MoU/II/2017 Tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.

“Dalam nota kesepahaman antara pihak Kepolisian Republik Indonesia dan Dewan Pers di Pasal 4, menegaskan pihak kepolisian harus mengarahkan kasus yang dilaporkan ke polisi agar diselesaikan melalui Dewan Pers terlebih dahulu. Dalam UU Pers, narasumber justru harus dilindungi,” kata Azis.

Baca juga artikel terkait KEBEBASAN PERS atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Zakki Amali