tirto.id - Kasus dugaan pemerkosaan tiga anak oleh ayah kandungnya di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, masih diperbincangkan publik.
Bermula dari artikel ‘Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan’, pada 6 Oktober 2021, yang diterbitkan oleh Project Multatuli, hingga saat kini kasus tersebut masih jadi bahasan.
Klarifikasi dan pelabelan hoaks oleh Humas Polres Luwu Timur, perang tagar di media sosial, hingga penerjunan Tim Asistensi Polri pun dilakukan guna membuat jernih perkara yang terjadi dua tahun silam.
Asosiasi LBH APIK Indonesia menilai minimnya perspektif keberpihakan pada korban dalam proses penanganan kasus-kasus kekerasan seksual, telah menghambat terpenuhinya hak atas perlindungan dan keadilan bagi korban. Terlebih, korban adalah anak yang jelas harus dilindungi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.
Adanya relasi kuasa antara terduga pelaku yang merupakan ayah kandung dengan anaknya semestinya menjadi perhatian serius.
“Dalam kasus Luwu Timur, baik P2TP2A Luwu Timur maupun dalam proses penyidikan oleh kepolisian sangat tidak tepat melakukan generalisasi mengenai korban yang tidak trauma atau tidak ada rasa takut, digunakan sebagai pijakan bahwa kekerasan seksual tidak terjadi,” kata Ratna Batara Munti, Koordinator Advokasi Kebijakan Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia, Rabu (12/20/2021).
Korban adalah anak yang belum tentu dapat menunjukkan ekspresinya kepada orang lain mengenai kekerasan yang dialami, serta belum tentu paham apa yang dilakukan oleh bapaknya adalah bentuk kekerasan seksual. Bisa jadi hal itu membuat korban tidak melawan atau takut terhadap terduga pelaku.
Proses konfrontasi dengan mempertemukan korban dengan terduga pelaku saat pertama kali pelapor meminta perlindungan kepada P2TP2A Luwu Timur, merupakan pelanggaran terhadap perlindungan anak.
Ratna menyatakan proses penanganan kasus juga telah mengabaikan kerahasiaan anak sebagai korban karena identitasnya disebar kepada masyarakat.
Anak sebagai korban berhak atas masa depan yang bebas dari trauma kekerasan seksual yang dialaminya, sesuai dengan mandat Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Penyebaran identitas korban merupakan pelanggaran hak anak yang fatal dan korban rentan mengalami stigma serta trauma berulang.
Selain korban, saksi juga disebut memiliki gangguan jiwa atau memelihara kebencian terhadap terduga pelaku.
Pemenuhan hak anak untuk memperoleh dukungan dalam tumbuh kembang, salah satunya adalah dukungan pemulihan psikologis. Namun pemenuhan hak ini masih sulit diperoleh korban karena minimnya layanan yang tersedia di daerah kejadian.
“Pemerintah Kabupaten Luwu Timur perlu segera menyusun kebijakan yang memuat anggaran dan program untuk layanan pemulihan psikologis korban,” terang Ratna.
Asosiasi LBH APIK Indonesia juga mendesak polisi segera kembali membuka kasus ini tanpa perlu menunggu alat bukti baru. Mestinya bukti yang telah ada perlu didalami untuk melanjutkan perkara.
Apalagi ada dua bukti yang belum ditindaklanjuti polisi yaitu hasil Visum et Repertum Psikiatrikum korban yang menceritakan peristiwa kekerasan seksual-diagnosis dokter Puskesmas Malili juga menyatakan terdapat kerusakan pada bagian anus dan vagina korban dan surat keterangan psikolog.
“Kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh ayah kepada anak-anaknya juga merupakan tindak pidana yang termuat dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang KDRT,” terang Ratna.
Pasal 8 undang-undang itu menyatakan pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga merupakan tindak pidana. Sementara, Pasal 46 menyebutkan pelaku dapat dipidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp36 juta.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Zakki Amali