Menuju konten utama

Sebarkan Identitas Ibu Korban, Polres Luwu Timur Bisa Dipolisikan

Polisi di Polres Luwu Timur terancam pidana setelah menyebarkan identitas ibu korban perkosaan. 

Sebarkan Identitas Ibu Korban, Polres Luwu Timur Bisa Dipolisikan
Ilustrasi Kekerasan Seksual. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Akun Instagram @humasrelutim mengklarifikasi pemberitaan ‘Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan’, yang ditayangkan oleh Project Multatuli. Pada penjelasan itu polisi menuliskan gamblang nama pelapor, padahal dalam berita ‘Lydia’ adalah nama samaran yang digunakan oleh penulis.

Pernyataan yang viral di media sosial menjadi polemik karena warganet menganggap kepolisian tak memahami hukum dan tak berempati terhadap pelapor sebagai ibu korban. Direktur LBH Makassar Muhammad Haedir menyatakan pihaknya sebagai kuasa hukum pelapor bisa saja mengadukan perkara penulisan tersebut.

“Tentu saja (bisa melaporkan akun Instagram Humas Polres Luwu Timur) tapi saat ini kami fokus dalam perkara pokok. Tapi ini menjadi catatan yang akan kami gunakan untuk melaporkan beberapa tindakan yang dilakukan oleh Polres Luwu Timur,” ujar Haedir dalam konferensi pers daring, Selasa (12/10/2021).

“Tidak sekadar membuka identitas korban di media sosial (yang bisa dilaporkan), tapi beberapa kegiatan yang dilakukan setelah ini viral, misalnya (polisi) mendatangi korban,” sambung dia. Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto Bambang menyayangkan upaya klarifikasi itu bisa menjadikan polisi sebagai pelaku pelanggaran hukum dengan tidak melindungi identitas ibu korban.

Maka hal ini menjadi kasus tersendiri yang dapat diusut dan Humas Polres Luwu Timur harus diberi sanksi.

“Sanksi etik bagi anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran undang-undang. Polisi tidak harus bersikap defensif dalam menyelesaikan kasus yang sebenarnya sudah terjadi dua tahun lalu. Semakin defensif, akibatnya malah muncul asumsi bahwa kepolisian menjadi pelindung terlapor,” ujar Bambang kepada Tirto, Senin (11/10).

Upaya Aparat Meluruskan Citra

Berdasarkan temuan LBH Makassar, pihak Polres Luwu Timur dan P2TP2A Luwu Timur menyambangi Lydia tanpa pemberitahuan kepada dirinya cum tim kuasa hukum. Semua dilakukan usai artikel Project Multatuli yang dirilis pada 6 Oktober, menggugah publik.

Pada 7 Oktober, siang hari, tim penyidik Polres Luwu Timur dan petugas P2TP2A Luwu Timur mencoba menemui para anak korban dengan alasan mengecek kondisi para anak. Upaya tersebut dihalangi oleh pihak keluarga.

Kemudian pada 8 Oktober, malam hari, tim dari Polres Luwu Timur yang dipimpin Kapolres memakai seragam lengkap mendatangi kembali dan menemui ibu korban. Lydia saat itu tanpa ditemani kuasa hukum, diminta bicara dengan direkam keterangannya untuk “menjelaskan ke media supaya tidak ada kesimpangsiuran berita”. Kedatangan ini diikuti dengan beredarnya pemberitaan dan foto Lydia bersama Kapolres, yang disebut-sebut bahwa Lydia berjanji akan membawa bukti ke Polres Luwu Timur.

Lalu pada 9 Oktober, malam hari, tim dari Polres Luwu Timur mendatangi kediaman kerabat ibu korban untuk membahas soal ramainya “fakta yang tidak berimbang” dalam pemberitaan kepada keluarga besar korban.

Selanjutnya pada 10 Okt 2021, pukul 10 pagi, tiga orang dari P2TP2A Luwu Timur kembali mendatangi pihak korban dengan alasan untuk mengambil data. Namun, Lydia menolak kedatangan mereka dan menyuruh mereka pulang. Lydia sempat menegur salah satu dari orang yang datang karena mengambil gambar/video dirinya secara diam-diam.

“Kedatangan pihak tersebut lagi-lagi menyalahi prinsip perlindungan terhadap anak korban. Tindakan itu menunjukkan Polres Luwu Timur dan P2TP2A Luwu Timur, tidak memiliki perspektif perlindungan korban dalam menangani kasus anak,” ucap Kepala Divisi Perempuan, Anak dan Disabilitas LBH Makassar Rezky Pratiwi.

Aparat dari dua instansi itu seharusnya memahami bahwa kedatangan mereka beserta publikasi dan peliputan oleh media telah menyalahi prinsip perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, yakni hak atas kerahasiaan identitas.

Hal ini diatur dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Larangan membuka identitas anak korban juga ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Zakki Amali