Menuju konten utama

Reposisi BNPB: Dinilai Rentan Tak Transparan dan Koordinasi Buruk

Rencana BNPB tidak lagi di bawah presiden, melainkan menkopolhukam menuai kritik.

Reposisi BNPB: Dinilai Rentan Tak Transparan dan Koordinasi Buruk
Presiden Joko Widodo menyaksikan Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho memperlihatkan dokumentasi pertemuan mereka di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (5/10/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc/18.

tirto.id - Presiden Joko Widodo berencana merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 8/2008 yang mengatur Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Nantinya, BNPB tidak lagi berada di bawah presiden, melainkan kementerian.

“Bisa nanti BNPB itu seperti SAR di bawah menko polhukam. Jadi tidak harus semuanya di bawah presiden,” kata Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko seperti dikutip Antara, Kamis (3/1/2019).

Moeldoko menyatakan, pertimbangan pengalihan pertanggungjawaban itu dilakukan atas dasar efektivitas koordinasi. Ia mengklaim pemerintah telah mengevaluasi kedudukan badan yang mengatasi mitigasi bencana itu.

Selain itu, kata Moeldoko, teknis kerja BNPB dapat diarahkan menteri koordinator pembangunan manusia dan kebudayaan (Menko PMK) pada saat proses rehabilitasi bencana.

Jika posisi BNPB berubah menjadi di bawah Kemenkopolhukam atau Kemenko PMK, maka secara otomatis Kepala BNPB bisa dijabat oleh Letnan Jenderal Doni Monardo yang merupakan anggota militer aktif--yang sebelumnya tak diperbolehkan.

Terkait polemik pengangkatan Letjen Doni Monardo sebagai Kepala BNPB, bisa dibaca di sini.

Dinilai Rentan Tidak Transparan

Namun reposisi BNPB itu, yang akan berimbas secara legal Kepala BNPB dapat diisi oleh anggota militer aktif, dikritik Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Misbah Hasan.

Misbah menilai BNPB akan rentan tak transparan dalam pengelolaan anggaran karena dipimpin oleh anggota TNI aktif.

“Saya khawatir, bila BNPB di bawah Kemenkopolhukam dan Kepala BNPB dijabat oleh TNI aktif, maka aspek transparansi anggarannya akan terganggu dan cenderung tertutup,” kata Misbah kepada reporter Tirto, Jumat (4/1/2019).

Misbah mengambil contoh Kemenkopolhukam sebagai salah satu lembaga yang selama ini minim transparansi anggaran.

“Kalau menilik website Kemenkopolhukam misalnya, di sana belum menyajikan anggaran APBN yang selama ini dikelolanya. Ada laporan pencapaian kinerja dan akuntabilitas anggaran, tetapi sudah out of date. Yang disajikan masih tahun anggaran 2014,” kata Misbah.

Padahal, kata Misbah, lembaga sekelas BNPB penting dalam melakukan transparansi anggaran, karena menyangkut bencana dan hajat hidup orang banyak.

Sebab, kata Misbah, salah satu persoalan utama penanggulangan bencana selama ini adalah kurangnya kepedulian pemerintah pusat dan daerah, termasuk DPR/DPRD, dalam mengalokasikan anggaran bencana.

“Rata-rata anggaran tanggap darurat bencana hanya Rp4 triliun per tahun atau 0,3 persen dari total APBN. Demikian juga alokasi anggaran untuk tanggap bencana di APBD, rata-rata hanya Rp2,6 triliun per tahun atau 0,25 persen dari total APBD seluruh Indonesia. Ini rata-rata anggaran untuk 2015-2018,” kata Misbah.

Tak hanya itu, Misbah menilai reposisi BNPB menjadi di bawah Kemenkopolhukam juga akan mengurangi peran BNPB itu sendiri yang vital dan akan mengacaukan koordinasi yang ada.

“Kalau BNPB di bawah Kemenkopolhukam, kedudukan dan peran BNPB ini otomatis tereduksi. Artinya, peran koordinasi dan komando diambil alih menko, bukan lagi Kepala BNPB. Gerak BNPB akan semakin lamban,” kata dia.

Karena itu, Misbah menilai BNPB akan lebih baik tetap menjadi Lembaga Non-Kementerian di bawah Presiden. Sebab, berdasarkan dalam UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, BNPB punya peran koordinasi dan komando penyelenggaraan penanggulangan bencana tingkat nasional.

Infografik CI Doni Monardo Calon kepala BNPB

Infografik CI Doni Monardo Calon kepala BNPB

Hal senada diungkapkan anggota DPR RI Komisi VIII dari Fraksi PKS Iskan Qolba Lubis. Ia menilai, harusnya posisi BNPB tetap di bawah presiden karena akan memudahkan koordinasi dan pelaporan mengenai bencana antara BNPB dan presiden, tanpa perlu birokrasi yang panjang dan rumit.

“Selama ini BNPB sudah bagus koordinasinya. Itulah bagusnya dan fungsnya di bawah presiden, biar langsung koordinasi. Biar enggak panjang birokrasi. Presiden yang akan komando itu semua,” kata Iskan.

Iskan mengatakan komando akan tetap efektif dan efisien bila BNPB langsung dikendalikan presiden, bukan menkopolhukam.

“Mentang-mentang jenderal atau perwira TNI, ya enggak bisa gitu juga. Kalau koordinasinya buruk gimana? Mending presiden langsung,” kata Iskan.

Politikus PKS ini menilai, reposisi tersebut juga akan berdampak ke segala peraturan dan hal administratif lainnya yang akan menghambat kerja.

“UU TNI harus diubah, karena harus ada BNPB di situ. Mau keluarkan Perpu atau Perpres lain juga enggak bagus terlalu banyak. Ada nomenklatur yang harus diubah, itu tak mudah. Juga ada pengubahan anggaran. Itu, kan, enggak bisa diubah setiap saat,” kata dia.

Sebaliknya, angota Komisi VIII DPR dari Fraksi Golkar, Ace Hasan Syadzily menilai, penempatan BNPB di bawah Kemenkopolhukam akan justru memudahkan koordinasi.

“Saya menilai kebijakan menempatkan BNPB di bawah koordinasi menkopolhukam semata-mata untuk efektivitas kerja BNPB dalam merespons kondisi bencana yang setiap saat dapat terjadi di Indonesia,” kata Ace.

“Saya kira semua harus taat dengan UU dan peraturan yang berlaku,” kata dia.

Baca juga artikel terkait BNPB atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz