tirto.id - Rencana pemulangan pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Negara Bagian Rakhine akan benar-benar direalisasikan. Setidaknya demikian menurut Menteri Kesejahteraan Myanmar Myat Aye saat diwawancara NHK pada Rabu (31/1/2018). Ia ingin menunjukkan prosesnya berjalan dengan baik dan melunakkan kritik pedas dari komunitas internasional terkait penanganan situasi yang telah menjadi sorotan sejak dua tahun belakangan.
“Saya kira kami mampu untuk menyediakan lingkungan yang lebih aman di waktu-waktu mendatang. Keamanan di daerah akan diatur dan kebebasan bergerak akan lebih baik. Sekolah dan rumah sakit akan lebih mudah diakses. Kami akan menerapkan langkah-langkah ini sesuai hukum” klaimnya.
Pemulangan pengungsi Rohingya telah disepakati Bangladesh dan Myanmar pada 16 Januari 2018. Myanmar akan menerima 1.500 pengungsi tiap minggunya. Harapannya lebih dari 700.000 total pengungsi bisa kembali ke Negara Bagian Rakhine dalam jangka dua tahun proses repatriasi berjalan, demikian laporan BBC News.
Sekretaris kantor urusan luar negeri Bangladesh, Shahidul Haque, mengatakan pemerintahya ingin memulangkan pengungsi lebih cepat. Tawarannya adalah 15.000 per minggu. Namun pemerintah Myanmar mengatakan kuotanya 300 orang per hari, sehingga hitungannya 1.500 per minggu. “Tapi akan ada peninjauan dalam waktu tiga bulan dan jumlahnya akan meningkat,” imbuhnya.
Gelombang pertama repatriasi seharusnya berlangsung pada tanggal 22 Januari 2018. Namun, merujuk pernyataan seorang pejabat Bangladesh kepada Reuters, terjadi penundaan karena proses penyusunan dan verifikasi daftar orang yang akan dikirim tidak lengkap. Penundaannya bisa terjadi berbulan-bulan katanya.
Repatriasi kali ini bukan persoalan menyeberang perbatasan. Para pengungsi adalah orang-orang yang terpaksa keluar dari Negara Bagian Rakhine karena dipersekusi oleh militer Myanmar. Laporan berbagai media maupun lembaga pegiat HAM mencatat terjadi kasus pembunuhan, pemerkosaan, hingga pembakaran rumah. Sepanjang dua tahun belakangan ekskalasinya memuncak, namun diskriminasi secara sosial dan politik sudah dialami orang Rohingya sejak puluhan tahun silam.
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UGM Atin Prabandari menyebutkan beberapa hal pokok yang mesti diperhatikan. Pertama, sesuai dengan konvensi internasional tentang repatriasi, adalah kesukarelaan pengungsi Rohingya dalam mengikuti prosedur repatriasi. Tidak boleh terpaksa. Masalahnya, menurut sejumlah media, kesepakatan repatriasi hanya berlangsung di tataran elite. Di lapangan, warga Rohingya banyak yang masih menolak untuk kembali.
Dalam laporan Ben Doherty untuk Guardian, misalnya, pengungsi Rohingya belum lupa dengan pembakaran rumah satu desa oleh militer Myanmar. Ada yang bersaksi korban di dalam kobaran api juga meliputi anak-anak dan orang tua yang tak mampu melarikan diri. Orang-orang lain digorok lehernya, dibelah perutnya, lahan pertaniannya direbut, ujung-ujungnya melahirkan pertanyaan: pulang untuk apa? Kehidupan di Rakhine dipandang sudah habis pasca tragedi.
“Banyak pengungsi Rohingya yang enggan kembali karena pengalaman-pengalaman sebelumnya, mereka berkali-kali mengungsi dan kembali hanya untuk mendapatkan perlakuan yang sama dari pemerintah Myanmar,” kata Atin saat dihubungi Tirto, Rabu (31/1/2018).
Repatriasi pengungsi dari Bangladesh ke Myanmar di awal tahun ini bukanlah yang pertama. Menurut laporan ABC News yang bersumber dari kesaksian korban, repatriasi pertama terjadi pada tahun 1970-an. Seorang korban bernama Mustafa Khatun mengaku pulang hanya untuk dipersekusi kembali, mengungsi ke Bangladesh lagi, lalu direpatriasi pada tahun 1990-an. Lingkaran setan seakan tak pernah putus. Pada Agustus 2017 ia dipersekusi lagi dan mengungsi kembali ke Bangladesh.
Hal pokok kedua menurut Atin adalah persoalan terkait jaminan keamanan bagi para pengungsi selama perjalanan kembali hingga ketika mereka sudah menetap kembali. Mengutip Amnesty International, yakni “repatriasi yang bermartabat”. Atin kembali ke pangkal persoalan Rohingya, yakni orang-orangnya belum mendapat status warga negara Myanmar. Keselamatan diri, sebagai hak dasar, akhirnya sulit untuk dipenuhi.
Hak-hak dasar tersebut juga meliputi hak dipandang setara di mata hukum, hal tidak lagi didiskriminasi, serta hak mendapat penghidupan yang layak—termasuk lahan yang dirampas negara atau rumah yang dihancurkan secara membabi-buta. Suara-suara tersebut muncul sebagai aspirasi yang diharap-harapkan betul oleh para pengungsi, mengingat mereka sudah lelah menjadi korban persekusi atau jika harus menantang nyawa saat harus mengungsi.
Anak-anak Rohingya kerap digolongkan sebagai korban paling nelangsa. Trauma yang melekat, sesuai laporan AFP yang dikutip Kuwait Times, membuat mereka bertingkah anomali selama berada di kamp-kamp pengungsian. Beberapa ada yang menggambar rumah terbakar dan orang-orangan lidi yang digantung di atas pohon. Psikolog yang diterjunkan otoritas Bangladesh mengungkapkan traumanya bisa melekat lama, bahkan selamanya.
Sadiya (12) sudah menyaksikan pembantaian dan mayat-mayat yang bergelimpangan. Maka kesimpulan yang diambilnya sederhana saja: “jika kami pulang sekarang, mereka akan membunuh kami semua. Sepertinya kami tak akan pernah kembali. Aku tak mau pulang.”
UNICEF menyatakan trauma itu akan berlipat ganda jika anak-anak kembali ke Rakhine. Berbeda dengan orang dewasa, lanjut UNICEF, ketakutan anak-anak dikarenakan mereka tak bisa memprediksi apakah kekerasan yang sama akan terjadi lagi atau tidak. Saat sudah kembali ke rumahnya yang dulu pun, menurut psikolog kamp pengungsian, anak-anak itu butuh pendampingan mental. Harapan yang juga disampaikan Atin, merujuk pada prosedur ideal repatriasi.
“Tapi pendampingan psikologis itu juga sesuatu yang sangat mewah. Jangankan pendampingan psikologis. Jaminan keamanan dan perlindungan hak dasar saja belum tentu mereka terima. Saat ini yang paling mendesak ya status warga negara, keamanan, kebebasan bergerak, dan akses kepada pekerjaan. Pemerintah Myanmar juga perlu membebaskan orang-orang Rohingya yang ditahan serta mengadili para pelaku persekusi,” lanjut Atin.
Lembaga-lembaga pegiat HAM menyayangkan tak diikutsertakan dalam proses repatriasi. Padahal lembaga-lembaga itu bisa bertindak untuk memantau apakah proses repatriasi berjalan sesuai aturan atau masih saja menyiksa para pengungsi. Myanmar menolak campur tangan mereka sekaligus rutin mengusir jurnalis asing.
Amnesty International melalui rilis resminya mengkritik waktu repatriasi yang dinilai tak tepat. Masih terlalu dini bagi masyarakat Rohingya untuk menyembuhkan trauma. Lebih penting lagi, repatriasi dilakukan tanpa konsultasi dulu dengan para pengungsi.
Amnesty International menilai kepulangan itu sia-sia belaka jika pemerintah Myanmar masih menerapkan kebijakan apartheid (segregasi berdasarkan ras/etnis) di Rakhine. Perlu ada perubahan yang fundamental agar diskriminasi dan marjinalisasi tak terjadi lagi. Jika ini belum diwujudkan, Rohingya belum aman.
Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi atau UNHCR bersuara serupa. Selain itu mereka juga menyoroti kondisi buruk di kamp pengungsian Bangladesh terutama menjelang musim hujan di jelang pertengahan tahun 2018. Kondisinya dilematis. Kepulangan akan membawa resiko persekusi lanjutan. Namun jika bertahan, mereka harus dengan kondisi yang tak menentu. Dalam laporan dua pekan lalu beberapa orang pengungsi bahkan mulai membangun pengaman sendiri di kamp pengungsian.
Sebenarnya, menurut Atin, pulang ke Rakhine bukan satu-satunya solusi. Dalam urusan pengungsi, ada tiga jalan. Pertama, repatriasi sebagai solusi kembali ke negara asalnya. Kedua, integrasi dengan masyarakat di mana ia mengungsi alias membangun kehidupan baru. Ada laporan di mana beberapa pengungsi Rohingya memilih untuk bertahan atau menikah dan membangun keluarga di Bangladesh. Sementara yang ketiga adalah menetap di negara yang mau memberi suaka.
“Nah akan tetapi, sulitnya, saat ini negara-negara yang biasa menampung pencari suaka seperti Australia, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa sedang memperketat kebijakan imigrasinya. Beberapa juga ke Malaysia untuk kerja secara ilegal, namun sebenarnya tak difasilitasi pemerintah sebab Malaysia bukan negara tujuan suaka.”
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf