tirto.id - Bundestag Jerman ke-18 yang bekerja sejak 2013 silam hampir merampungkan masa pemerintahannya. Pemilu 2017 yang kembali memenangkan koalisi konservatif dari Partai CDU/CSU tak mengubah susunan Bundestag (parlemen rendah) secara drastis. Mereka masih jadi mayoritas bersama Partai Sosial Demokrat (SPD).
Kabar pentingnya justru datang dari produk undang-undang pengawasan baru yang berbentuk Remote Communication Interception Software (RCIS) dan pelan-pelan meluaskan kontroversi terkait privasi.
RCIS adalah malware atau perangkat lunak berbahaya yang sengaja ditanamkan otoritas Jerman di perangkat digital tersangka perbuatan kriminal, baik ponsel pintar, tablet, atau komputer. Saat malware—sebagian orang menyebutnya 'virus komputer'—sudah terpasang, otoritas penyelidik Jerman bisa mengawasi segala percakapan si pemilik perangkat yang terjadi di aplikasi online, misalnya WhatsApp. Otoritas setempat menyebut malware-nya dengan istilah “Trojan negara”.
Baca juga: Betapa Strategisnya Internet bagi Para Teroris
Seperti dilaporkan Open Democracy, aturan yang sebelumnya ada hanya membolehkan pengawasan rahasia ke perangkat digital milik tersangka kasus-kasus besar saja. Namun jika UU baru tersebut benar-benar disahkan, kewenangan otoritas penyidik meluas. Mereka bisa menggunakannya untuk kasus-kasus menengah seperti penipuan subsidi, penghindaran pajak, penipuan taruhan olahraga atau pemalsuan dokumen.
Pemerintah Jerman mengklaim bahwa penyidik hanya akan membaca komunikasi/pesan saat sedang berlangsung, serupa penyadapan komunikasi yang sedang berlangsung melalui telepon konvensional, sehingga mereka tak bisa mengakses pesan yang dikirim sebelumnya. Pemerintah, yang kini masih dikomandoi Angela Merkel, dengan demikian mengklaim UU baru tersebut tak melanggar hak atas perlindungan data warga sipil Jerman.
Namun, klaim itu tetap akan bermasalah di ranah teknis sebab malware tersebut akan tetap menangkap satu rangkaian pesan terkirim atau yang diterima. Klaim pemerintah tetap bermasalah bagi mereka yang menganggap pelanggaran hak atas komunikasi personal akan tetap terjadi meski pesan yang disadap yang sebagian/yang sedang berlangsung. Dengan kata lain, hak perlindungan data personal berlaku untuk keseluruhan proses komunikasi.
Baca juga: Cara Efektif Mengawasi Warga Negara: Beri Mereka Skor
Penggarapan UU pengawasan baru telah berlangsung sejak Juni 2016. Politisi yang menjadi mayoritas di Bundestag periode 2013-2017, yakni dari koalisi besar Partai CDU/CSU dan SPD, amat bernafsu untuk mengesahkannya. Michael Frieser, pakar kebijakan dalam negeri dari Partai CDU, menyatakan pada Deutsche Welle bahwa UU tersebut dibutuhkan untuk mencegah aksi terorisme dan kriminal yang kini dilakukan via online alih-alih lewat pertemuan di ruang-ruang nyata.
"Metode ini memfasilitasi penegakan hukum yang efisien dan mutakhir yang membuat kita semua aman."
Pendapat ini kemudian ditentang oleh pihak oposisi, minoritas di Bundestag. Anggota Bundestag dan perwakilan komite yudisial Partai Hijau Hans-Christian Strobele mengatakan bahwa ia dapat memahami alasan pencegahan terorisme di balik upaya pengesahan UU pengawasan komunikasi online. Namun, pihaknya meyakini bahwa UU tersebut bukanlah solusi yang tepat.
Baca juga: Komunikasi Teroris: Telegram Mati, Gim Online Pun Jadi
“Harus ada jaminan, misalnya, bahwa semua pembicaraan pribadi dan intim dikecualikan dari informasi yang penyidik dapatkan dari virus Trojan tersebut. Tapi (jaminan) ini belum terpenuhi (di dalam UU tersebut),” katanya.
Hal lain yang patut dikritisi adalah bagaimana UU pengawasan komunikasi online diperkenalkan di Bundestag. Isi peraturannya rupanya berlaku sebagai tambahan untuk undang-undang lain yang menyebutkan perihal perubahan kecil dalam pasal kriminalitas Jerman. UU tersebut, menurut Patrick Sensburg selaku anggota Bundestag dari komite peradilan untuk CDU, ditulis dalam kesepakatan koalisi CDU/CSU dan SPD sejak 2013 dan kerap muncul ke permukaan untuk didiskusikan koalisi.
Namun Sensburg setuju dengan pendapat oposisi bahwa keseluruhan prosesnya tampak terburu-buru. Menurut Ulrich Schellenberg, Presiden Asosiasi Pengacara Jerman, ada kesan bahwa potensi pelanggaran kebebasan sipil yang serius dalam UU tersebut diawali oleh proses yang cepat dan tanpa diskusi yang memadai. Lebih tegas lagi, Strobele mengatakan jika prosedurnya “tidak demokratis” dan koalisi berupaya mengesahkan UU tersebut lewat jalan belakang.
Pengorbanan Hak Atas Privasi Demi Keamanan Diri
Pada 2013 Edward Snowden membocorkan rincian program pengawasan serupa yang sedang digagas pemerintah Amerika Serikat. Pembocoran program rahasia ini membuat Snowden perlu mencari suaka ke luar negeri karena diburu oleh pemerintah AS. Snowden mengaku keputusan untuk membocorkan rencana tersebut didorong oleh kengerian bahwa di masa depan warga AS tak lagi memiliki privasi. Rencana tersebut, katanya, melanggar hak dasar warga sipil AS dan mengancam ranah personal individu.
Negara-negara Eropa saat itu memberikan respons yang cukup konstruktif. Rata-rata dari mereka menilai bahwa apa yang dilakukan Snowden bakal meningkatkan transparansi atas program pengawasan sebuah negara. Namun, segalanya berubah sejak ISIS muncul dan menyebarkan teror hingga ke Benua Biru, dari Kopenhagen hingga Paris. Alih-alih bersikukuh pada prinsip penghormatan privasi publik, pemerintah negara-negara Eropa justru makin terobsesi meniru sistem pengawasan ala pemerintah AS yang dibongkar Snowden.
Baca juga: Mata-mata Bernama NSA
Sebagaimana dicatat oleh New York Times, pada 2015 Perancis mengadopsi undang-undang yang kontroversial tentang pengawasan yang memungkinkan penyusupan tanpa izin dari pengadilan ke dalam kehidupan pribadi para tersangka terorisme atau kriminal. Otoritas Perancis juga bisa melacak siapa saja orang yang berkomunikasi dengan target pengawasan, mulai dari tempat tinggal, tempat kerja, bahkan orang-orang yang kebetulan berada di dekat mereka—meskipun tak saling kenal dan tak ada kaitannya sama sekali.
Pemerintah Inggris meningkatkan kewenangan pemerintah dalam hal pengintaian massal dan pengumpulan data publik. Austria mengatur undang-undang yang memungkinkan badan keamanan barunya dapat beroperasi dalam pengumpulan data komunikasi yang berlangsung di dalam negeri dalam jangka enam tahun ke depan.
Dua tahun silam pemerintah Belanda dilaporkan sedang mempertimbangkan undang-undang yang memungkinkan pengawasan berjejaring terhadap semua model telekomunikasi, termasuk juga pengumpulan metadata, deskripsi, dan intrusi yang tak pandang bulu alias menyeluruh ke warga sipil negara tersebut.
Baca juga: Propaganda Efektif ISIS di Jejaring Sosial
Sementara itu pemerintah Finlandia mempertimbangkan untuk mengubah konstitusi yang melemahkan perlindungan terhadap privasi warganya. Tujuannya untuk memudahkan proses adopsi undang-undang tentang pengawasan elektronik yang dilaksanakan oleh dinas intelijen dan militer.
Pemerintah-pemerintah tersebut berargumen bahwa untuk menjamin keselamatan warganya mereka mesti mengorbankan sejumlah hak dasar. Kebijakan ini barangkali tak terlalu mengejutkan jika diterapkan di AS, tapi di Eropa menganut tradisi perlindungan privasi yang kuat dan menjadi alasan demokrasi dijalankan dengan konsisten di benua tersebut.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf