tirto.id - Akhir September lalu, sejumlah pakar hukum menghadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Salah satu materi pembicaraannya adalah keberatan mereka terkait rencana pemerintah yang akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012.
PP Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan ini secara tegas mengatur soal pengetatan pemberian remisi bagi terpidana khusus, seperti narkoba, terorisme, dan korupsi. Aturan tersebut secara umum tercantum dalam Pasal 34 ayat (2) dan (3), serta persyaratan khusus yang diatur Pasal 34A ayat (1).
Berdasarkan regulasi ini, terpidana khusus baru bisa dapat remisi, jika bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya atau menjadi justice collabolator. Selain itu, bagi terpidana korupsi juga telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai ketentuan putusan pengadilan.
Namun, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly menilai, PP No. 99/2012 tersebut perlu direvisi karena bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pembuatan PP di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono itu juga dinilai tidak melalui syarat prosedur formal, karena tidak melibatkan para pakar terlebih dahulu.
Rencana Yasonna tersebut mengundang polemik publik. Sejumlah aktivis antikorupsi, lembaga swadaya masyarakat, hingga akademisi menolak ide tersebut. Misalnya, Dewi Anggraeni Puspitasari membuat petisi "Tolak Kebijakan Obral Remisi untuk Koruptor" di laman www.change.org. Hingga sore, 10 Oktober 2016, petisi ini mendapat 11.225 pendukung.
“Pada peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-71, Gayus Tambunan mendapat hadiah berupa remisi atau pemotongan masa pidana sebanyak 6 bulan, sedangkan Nazaruddin dapat remisi sebanyak 5 bulan. Belum lagi dalam satu tahun para terpidana kasus korupsi [koruptor] bisa mendapat lebih dari satu kali remisi. Terbayang bukan, jika syarat pemberian remisi kepada koruptor lebih diperlonggar?” tulis Dewi dalam petisinya.
Melihat masifnya penolakan publik, Presiden Joko Widodo tak tinggal diam. Ia mengundang sejumlah pakar hukum, di antaranya Yenti Ganarsih, Mahfud MD, Todung Mulya Lubis, Yunus Hussein, Refly Harun, Saldi Isra, Al Araf, Chandra Hamzah dan Nursyahbani Katjasungkana ke Istana Merdeka, Jakarta Pusat, pada 22 September lalu.
Dalam forum itu, Presiden Jokowi membahas persoalan hukum di tanah air, termasuk soal remisi koruptor. “Saya belum tahu isinya tapi sudah saya jawab, saya kembalikan, gitu saja. Karena saya baca di koran hanya secara selintas saja,” kata Presiden Jokowi.
Jokowi dan Yasonna Tak Sepaham
Pernyataan Jokowi pada pertemuan tersebut tegas menolak revisi PP No. 99 tahun 2016, khususnya soal ketentuan dalam Pasal 34A ayat (1) yang mensyaratkan terpidana korupsi baru bisa dapat remisi apabila menjadi justice collabolator.
Komitmen Presiden Jokowi tentu membuat aktivis antikorupsi dan pakar hukum yang diundang ke Istana bernapas lega. Namun, pernyataan Jokowi justru direspons berbeda oleh Menkumham Yasonna Laoly.
Yasonna masih tetap dengan pendiriannya, ingin merevisi PP No. 99 tahun 2012. Dalam rancangan revisi PP tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan itu terdapat salah satu syarat yang akan dihilangkan, yakni ketentuan mengenai justice collaborator.
Menkumham beralasan, rencana penghapusan ketentuan tentang justice collabolator telah sesuai dengan sistem peradilan Indonesia, di mana justice collabolator seharusnya ditempatkan dalam proses peradilan, bukan dalam PP. Ia juga berdalih, rencana tersebut bukan ditujukan untuk meringankan hukuman narapidana kasus korupsi, namun dilakukan untuk memperbaiki sistem peradilan.
“Yang membuat PP 99/2012 ini tidak mengerti soal peradilan. Kalau JC [justice collabolator] ditaruh di PP, maka akan berbeda dengan sistem peradilan kita,” ujarnya seperti dikutip Antara.
Kalau pun Presiden Jokowi dipastikan menolak rencana revisi PP ini, namun Yasonna pantang menyerah. Menurut Yasonna, masih ada jalan tengah dari rencana revisi PP No. 99 tahun 2012 ini, yaitu persyaratan justice collabolator tidak diberikan kepada semua pelaku kejahatan luar biasa. Melainkan, persyaratan justice collabolator bisa saja dihapus bagi terpidana narkoba dan terorisme, sedangkan bagi terpidana korupsi tetap.
Sikap Yasonna yang terkesan “ngotot” dalam revisi PP No. 99/2012 ini menyiratkan kesan seakan-akan posisinya sebagai Menteri Hukum dan HAM setara dengan posisi Presiden Jokowi. Padahal, ia adalah pembantu Presiden yang seharusnya kebijakan dan sikapnya tidak bertentangan dengan kehendak Presiden sebagai pemimpin negara.
Perbedaan sikap antara Yasonna dan Presiden Jokowi ini tidak hanya terjadi pada rentang waktu September-Oktober ini, tetapi sudah terlihat pada Maret 2015 saat wacana revisi PP No. 99 tahun 2012 baru mencuat ke publik. Saat itu, Yasonna menegaskan akan merevisi PP yang mengatur soal pengetatan remisi bagi koruptor tersebut.
“Filosofi kita adalah membina terpidana koruptor. Ini adalah hak narapidana dalam konteks human rights. Manusia sejahat apapun punya hak. Dihukum, tetapi tetap hak fundamentalnya ada,” kata Yasonna, seperti dilansir laman setkab.go.id, pada 13 Maret 2015 silam.
Menurut Yasonna, menghukum berat koruptor bisa dilakukan dengan memberatkan hukumannya. Namun, hak-haknya sebagai narapidana seperti mendapatkan remisi harus tetap dipenuhi. Jadi, seorang terpidana korupsi bisa mendapatkan remisi tidak harus menjadi justice collaborator.
Saat itu, Presiden Jokowi juga menentang wacana yang dilontarkan Yasonna. Seperti dikutip dari laman setkab.go.id, Presiden Jokowi menegaskan perang terhadap korupsi, termasuk memberikan persyaratan yang ketat bagi koruptor untuk mendapatkan remisi. Ia optimistis hal tersebut bisa dilakukan, meskipun pada praktiknya konsolidasi antarpenegak hukum tidak mudah.
Pria asal Surakarta, Jawa Tengah ini juga menolak bahwa pemerintahan yang dipimpinnya mewacanakan revisi PP No. 99 tahun 2012. Presiden menilai, pemberian remisi bagi koruptor itu merupakan wacana dari Kementerian Hukum dan HAM, bukan ide dirinya sebagai kepala negara. “Kalau dari saya nggak usah aja dikasih remisi,” tegasnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sejumlah aktivis antikorupsi juga menolak rencana tersebut. Akibat mendapat penolakan keras dari publik, rencana revisi PP No. 99 tahun 2012 pada tahun 2015 lalu, akhirnya kandas.
Akankah keinginan Yasonna merevisi PP No. 99 tahun 2012 tetap akan berlanjut meskipun tidak direstui Presiden? Jika Yasonna tetap memaksakan kehendaknya, maka tak berlebihan jika publik menilai seakan-akan posisinya sebagai menkumham setara dengan Presiden, padahal ia adalah pembantunya.
Masyarakat hanya bisa berharap Presiden Jokowi berkomitmen dengan janjinya saat menjamu para pakar hukum di Istana Merdeka, Jakarta.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti